Bagian Dua Puluh

18.7K 2.4K 91
                                    

BAGIAN DUA PULUH, SEPATU MERAH

*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*
*.*

Tindakan manis Labelina ini spontan membuat pria itu melontarkan sebuah pertanyaan gamblang, "Boleh aku menjadi ayahmu?"

"Dyuk jadi yayah Lala?"

"Ya. Kau mau?"

Si Kecil berpiyama lembut mengerjap bingung menjawab tawaran Gestan. Alih-alih mengiyakan, ia justru balik bertanya dengan muka polosnya yang bulat dan menggemaskan.

"Kenapa butan Lala yang jadi yayahnya Etan?"

Hening sesaat. Gestan melepas perlekatan Lala dari dadanya sebelum menaruh tatapan intens di kedua bulan biru si Kecil.

Bagaimana caraku menjawab ini?

Paras tampan pria itu tak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda frustasi meski ia lagi-lagi mendapat 'serangan mematikan'.

"Kau ingin jadi ayahku?" tanya Duke, menggiring pemahaman Lala perlahan-lahan.

"Ung."

"Kenapa?"

"Lala mau melawat Dyuk."

Oh, rupanya yang waktu itu.

Sudah pasti Lala salah paham jika seseorang memberinya penjelasan ambigu. Margrave berbulu itu harusnya bertanggung jawab atas kesalahpahaman anak ini.

"Aku senang kau ingin jadi ayahku, tapi sayangnya tidak bisa."

"Kenapa?"

"Karena hanya laki-laki dewasa yang bisa menjadi Ayah."

"Lala, 'kan, cudah dewaca. Lala bica habiskan wotel."

Entah sadar atau tidak, secara tidak langsung bocah itu telah menyindir Duke yang enggan berdamai dengan sayuran tersebut.

"Selain pintar menjatuhkan harga diri, rupanya kau pandai memanfaatkan kelemahan orang lain, ya?" sanjung Duke, lebih merasa bangga ketimbang kesal. Aneh, bukan?

Lala asal mengiyakan. "Ung."

Duke sentil pelan jidat berponi Lala sampai mata biru itu mengerjap. "Pokoknya, hanya aku yang bisa menjadi ayahmu."

Tangan gemuk Lala mendarat di bekas sentilan Duke meski tidak terasa perih sama sekali. Bibir manyunnya menjadi pertanda ia masih menginginkan gelar 'ayah' disematkan padanya.

"Kenapa halus laki-laki yang jadi yayah?"

Seringai Gestan muncul di kala sebuah gagasan bagus tiba-tiba terlintas di otaknya. "Kau tahu apa yang kau dapat kalau bersedia mengakuiku sebagai ayah?" pancingnya, menaikkan sebelah alis.

"Dapat apa?"

"Uangku adalah uangmu," singkat Gestan. Jarinya menunjuk diri dan Lala secara bergantian. Dia yakin cukup dengan ini Lala akan berubah pikiran. 

Dan, benar saja. Manik biru itu membulat seketika.

"Be-nal-kah?!" seru Lala dengan pekanan tak percaya di setiap suku katanya.

"Asal kau memanggilku ayah."

"Cungguh?"

"Sungguh."

"Ya-yah?"

"Betul."

"Yayah."

"Hm."

"Yayah!"

"Ya, ini Ayah."

Lala meloncat girang di atas kasur. Harta karunnya telah terlupakan karena sudah ada Duke sang dompet berjalan yang sedang terkekeh pelan!

"Hehe, Yayah," ringis Lala, memanggil sebutan baru pria itu berulang kali dengan dua gigi kelinci mungil menampakkan diri. 

*****

Flashback on.

Pemuda itu berselanjar di tempat paling teduh. Menyangga bawah tengkuknya dengan tekukan lengan sembari tenggelam dalam ketenangan sepoi-sepoi angin.

Hari yang cerah untuk kabur dari Dores dan segunung pekerjaan. Pohon besar di dekat gerbang nan jauh dari mata-mata pelayan pun menjadi sasaran Duke Muda bersantai dalam diam. 

Sudah beberapa hari ini Gestan menghabiskan waktu di kastil, melanjutkan kelas kepengurusan wilayah yang dulu sempat tertunda.

Atmosfer jernih kastil masih sama seperti sembilan tahun lalu, bak dunia lain yang tak lekang oleh waktu.

Infrastuktur yang bertahan kukuh meski tersentuh tangan-tangan asing, nuansa petang di setiap sudut tempatnya, perabotan tua namun tetap meninggalkan kesan megah, bahkan cita rasa makanan pun membawanya kembali bernostalgia.

Benar, sama sekali tidak ada ada yang berubah sejak ia pergi.

Kecuali ...,

Tampak dari kejauhan, seseorang berlari kecil ke arah gerbang seperti beradu dengan waktu. Wajah meronanya yang sedikit berkeringat tampak sumringah walau penampilannya agak menyulitkan.

Dalam balutan gaun satin biru di bawah lutut itu, sesekali tangan rampingnya menangkup bagian rok dan topi, mencegah mereka berkibar dari tekanan udara. 

Mata abu milik pemuda itu secara naluriah mengikuti titik minatnya sekarang. Yang kini berbincang akrab dengan dua penjaga gerbang.

Ya, gadis itulah satu-satunya eksistensi yang bermetamorfosis dengan sempurna di mata Gestan. Harazelle yang dulu menyerupai kuncup bunga, akhirnya telah mekar bak aster merah jambu yang merupakan lambang suci dan keceriaan.

Pipi berisinya dulu telah menjadi sedikit tirus. Garis oval wajahnya mulai terlihat layaknya wanita. Ia juga kerap tersenyum tanpa menunjukkan gigi, sikap anggun yang jelas tidak pernah dia lakukan sembilan tahun lalu.

Siapa sangka pengganggu kecil itu telah menjelma menjadi gadis yang sebentar lagi akan menginjak usia dewasa?

Gestan memicingkan mata ketika atensinya mendapati ranum bibir Harazelle tersamarkan oleh warna delima. Mengapa dia sampai memoles wajah hanya untuk bertemu teman?

Selepas dua penjaga itu mengangguk, mereka dengan ramah memberi akses untuk Harazelle keluar.

Dia selalu tampak bersemangat tiap kali pergi ke kota. Siapa sebenarnya yang dia jumpai selama ini? Pasti perempuan, 'kan? Tidak mungkin-,

Gestan spontan terhenyak dari sikap rebahannya. Sekarang bukan saatnya aku bersantai. Calon pemimpin harus rajin melakukan inspeksi di wilayah kota. Benar, 'kan?

Kebetulan juga ia sedang tidak menggunakan baju mencolok. Kaus ketat kerah tinggi tanpa lengan dengan paduan pelindung dada kiri ini cukup mengelabui mata masyarakat.

Mereka akan mengenalinya sebagai ksatria biasa, bukan Duke Aslett masa depan.

Dirasa telah mencapai jarak aman dari Hara, Gestan menyusul keluar. Tak lupa ia meminjam secara paksa jubah seragam milik salah satu penjaga.

Gestan sadar banyak orang seringkali menatapnya berlebihan tiap kali ia memakai baju latihan. Jadi lebih baik menutupinya daripada menimbulkan perhatian yang tidak penting.

Kota di sekitar kastil terbilang aman bagi bangsawan. Petugas keamanan berpatroli selama 24 jam penuh mengelilingi kawasan tersebut. Makanya, Hara diperbolehkan berkeliling sendiri tanpa pengawalan.

Diikutinya langkah antusias gadis itu tanpa mempersempit jarak. Beruntung tinggi badan Gestan melebihi rata-rata, sehingga ia tak kesulitan mengekori topi floppy berpita putih yang membaur diantara lalu lalang.

Rupanya sifat ramah Hara masih melekat erat dalam dirinya. Dia sapa setiap penjual yang ia lewati seolah mereka adalah teman lama.

Tidak heran, sejak kecil Harazelle memang begitu. Centil dan pemalu disaat bersamaan. Namun, ketika sudah kenal, dia akan membayangi orang itu seperti hantu.

Be My Father?Where stories live. Discover now