1. Sebening Embun

493 95 2
                                    

Baca cepat di KARYAKARSA Aqiladyna

https://karyakarsa.com/Aqiladyna/sebening-embun-part-5

18.4.2024

Jendela kayu baru saja dibuka seorang perempuan berusia 21-tahun memiliki rambut hitam panjang yang dikucirnya menjadi dua bagian, parasnya begitu ayu menawan khas perempuan asli pribumi, berkulit kuning langsat dengan mata yang berbinar dan bibir...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jendela kayu baru saja dibuka seorang perempuan berusia 21-tahun memiliki rambut hitam panjang yang dikucirnya menjadi dua bagian, parasnya begitu ayu menawan khas perempuan asli pribumi, berkulit kuning langsat dengan mata yang berbinar dan bibir tipisnya berwarna merah muda tanpa polesan apapun membentuk senyuman manis sembari memperhatikan pemandangan alam desa dari balik jendela kamarnya. Desa yang sudah lama menjadi tempatnya berpijak dan tinggal terasa begitu sejuk di pagi hari karena alamnya masih terjaga dengan asri. Di kejauhan bisa dilihatnya gunung-gunung yang menjulang tinggi dan aktivitas masyarakat yang hilir mudik. Desa yang dilimpahkan dengan sumber daya alam yang luar biasa tanpa kekurangan satu pun. ladang dan perkebunan yang tumbuh subur setiap saat diadakan panen berlimpah semakin mensejahterakan rakyatnya. Semua tidak lepas dari tanggungjawab Juragan Prabu Kusmawardhana sebagai kepala desa yang sangat bijak dan arif memimpin desa ini sekian lamanya hingga masyarakat menaruh hormat penuh kebaikan dan tauladan pada beliau sebagai pemimpin.

Tatapan perempuan itu mengarah pada embun pagi yang menetes jatuh dari daun talas yang tumbuh subur di halaman luas rumah itu. Embun yang mengingatkan arti namanya sendiri 'Sebening Embun' nama yang diberikan biyungnya tapi nyatanya kehadirannya ndhak pernah diinginkan. Wajah yang berseri perlahan pudar ketika mengingat masa kelam hingga ia harus berakhir di sini. Meski berulang kali mencoba melupakan nyatanya sulit baginya, Embun hanya bisa menutup rasa traumatik itu dengan senyuman di balik wajahnya yang selalu ceria.

Embun tersentak menemukan mentari sudah sepenuhnya keluar dari peraduan, lantas ia pun bergegas beranjak menyibak tirai pintu kamarnya menyusuri lorong panjang bagian dari rumah itu menuju sebuah bilik kamar.
Langkahnya tertahan di depan tirai pintu kamar seraya memberi salam hormatnya pada penghuni bilik kamar tersebut.

"Ngapunten Ndoro ayu, boleh saya masuk ke dalam?"
"Masuklah Embun." Terdengar suara lembut menyahut dari dalam. Embun pun menyibak tirainya menatap pada seorang perempuan berusia 22-tahun duduk di depan cermin rias mengenakan kebaya berwarna kuning dengan jariknya masih membiarkan rambutnya tergerai panjang.
"Aku menunggumu sedari tadi."

"Ngapunten Ndoro, saya kira Ndoro masih tidur hingga saya baru sekarang menghampiri." Embun mendekat mengambil sisir dari atas meja mulai merapikan helaian rambut hitam panjang yang terasa lembut di tangannya.
Perempuan yang dilayani Embun bernama Ndoro Nuria Danastri—putri semata wayang Juragan Prabu Kusumawardhana dari istri pertama yang sudah wafat beberapa tahun silam. Meski Juragan Prabu memiliki banyak selir ndhak ada seorang pun dari selirnya melahirkan keturunan dari beliau.

"Pagi ini aku bangun lebih awal, aku ingin memasuki hutan, kata abdi dalem di dalam hutan terdapat kembang kantil yang aromanya sangat wangi. Aku ingin memetiknya langsung dan menanamnya di kebun."
Memang sudah sering Ndoro Nuria memasuki hutan dengan dikawal beberapa abdi dalem hanya untuk berburu beberapa tanaman untuk ditanam kembali di kebun belakang rumah. Embun sering kali ikut mengiringi Ndoro Nuria atas permintaan beliau.

"Seperti biasa kamu akan ikut."

"Inggih Ndoro, tapi Ndoro harus sarapan dulu baru kita berangkat."

"Ya, temani aku sarapan bersama," kata Ndoro Nuria tersenyum manis usai Embun selesai menyanggul rambutnya.
Ndoro Nuria memilih sarapan di bilik kamarnya berdua dengan Embun, kadang Embun merasa tidak enak hati dengan abdi pelayan lainnya karena dirinya dianggap terlalu dispesialkan sang Ndoro. Kedekatan antara Embun dan Ndoro Nuria sering menjadi buah bibir di kalangan abdi pelayan yang merasa iri hati tidak diperlakukan sama. Padahal di rumah ini abdi dalem dan pelayan setara mendapatkan haknya tanpa dibedakan, hanya saja mungkin Ndoro Nuria lebih banyak mempercayakan waktunya dilayani oleh Embun.

Selesai sarapan Embun merapikan meja, membawa piring dan gelas kotor ke bilik dapur.

"Aku akan menunggumu di pelataran depan," kata Ndoro Nuria.

"Inggih Ndoro, saya akan segera menghampiri." Embun izin undur diri, melangkah menuju dapur. Namun, ketika sampai di area itu tubuhnya didorong dari belakang hingga terjerembab, bahkan piring dan gelas digenggaman terhempas jatuh dan pecah berserakan ke lantai.

Embun meringis kesakitan, ia berusaha bangkit menoleh pada dua orang perempuan berkacak pinggang menatap tajam padanya.

"Sampai kapan kamu terus mengambil perhatian Ndoro Nuria toh?" desis salah satu perempuan itu mendekati Embun dan menjabak kepangan rambutnya hingga wajahnya mendongak dan meringis.

"Agghh... sakit..."

"Berhentilah bersikap lugu, kami sudah muak melihat keberadaanmu di sini, budak!" Kepala Embun didorong kuat, wajahnya hanya tertunduk tanpa perlawanan sedikit pun membiarkan ketidakadilan ini terus terulang setiap harinya di antara sesama abdi pelayan yang mempelakukannya semena-mena.

Dua orang perempuan itu pun melenggang pergi dengan tawa kepuasan setelah melampiaskan kemarahan pada Embun.

Manik mata Embun berkaca-kaca. Memungut pecahan piring dan gelas yang berserakan di lantai.
Entah sampai kapan Embun menerima perlakuan kasar ini, andai ia mengadukan perbuatan mereka pada Juragan Prabu dan Ndoro Nuria sudah pasti mereka akan diberi hukumuan berat. Namun, sikap demikian ndhak Embun ambil karena dari sebagian mereka hidupnya bergantung dengan Juragan Prabu seperti hal dirinya. Tanpa keluarga—sebatang kara, tanpa masa depan.
Embun menyeka air matanya usai membereskan kekacaukan terjadi, lantas ia pun menghampiri Ndoro Nuria yang telah berada di dalam kereta.

"Masuklah Embun."

Embun pun masuk ke dalam kereta yang menjadi pusat perhatian abdi pelayan yang mematai dari kejauhan.
Kereta mulai berjalan dipacu seorang abdi dalem. Ndoro Nuria memperhatikan wajah Embun yang pucat.
"Kamu habis menangis?" tanya Ndoro Nuria dibalas gelengan Embun.

"Tadi kelilipan Ndoro," dusta Embun tersenyum hingga Ndoro Nuria pun tidak menaruh curiga. Suasana kembali hangat banyak hal diceritakan Ndoro Nuria sementara Embun menjadi pendengar yang baik.

Kereta kuda telah memasuki hutan, dan berhenti di lahan tanaman kembang kantil tumbuh. Ndoro Nuria dan Embun keluar dari dalam kereta. Nampak jelas wajah Ndoro Nuria berseri menatap indahnya kembang-kembang itu bermekaran terhampar di depan matanya. Ndoro Nuria memerintahkan abdi dalem dan Embun memetik kembang kantil itu yang segera dilaksanakan.
Ternyata tanaman kembang itu tumbuh subur di lahan yang begitu luas hingga Embun begitu keasikan memetiknya. Embun semakin dalam melangkah memasuki kawasan lahan hingga tidak menyadari posisinya telah jauh dari Ndoro Nuria dan abdi dalem.

Barulah tanaman kembang kantil yang telah memenuhi isi bakul dipanggulnya menyadarkan Embun, wajahnya pias yang kehilangan arah jalan pulang. Embun segera berlari kecil menerobos tanaman kembang-kembang itu yang malah membawanya semakin jauh hingga melalui ilalang-ilang yang tinggi. Tubuhnya terjerembab ke tanah lembab ketika kakinya tersandung bebatuan. Embun terpaku menatap sebuah danau berair jernih terpampang di depan matanya. Namun, tunggu—bukan danau itu menjadi objek perhatiannya melainkan seseorang lelaki berbahu lebar dengan pahatan tubuh sempurna baru keluar dari air danau. Wajah Embun memerah dan panas ketika lelaki itu hanya mengenakan celana hitam panjang yang basah melangkah menghampirinya—menampakan wajah yang tegas tanpa kekurangan sedikit pun, begitu bagus rupawan bahkan warna manik matanya begitu berbeda dari lelaki pribumi pada umumnya hingga Embun mengira ia sedang melihat dewa di hadapannya.

"Sungguh ndhak tahu malu," suara lelaki itu serak sebelum Embun menyahut, perempuan itu malah tidak sadarkan diri tepat ketika lelaki itu merengkuhnya berdiri.

Tbc

Sebening EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang