11

4.7K 1.1K 349
                                    

Di sini apdetnya berkala, ya. Kalo rajin komen, bisa 2 kali seminggu. Kalo malas, ya, dua kali sebulan.

***

11 Kasmaran Paling Depan

Kinara dan Mayang pulang kembali ke Jakarta dengan menumpang mobil travel yang kebetulan akan berangkat ke ibu kota sekitar pukul satu siang. Mereka berdua sempat menikmati makan siang bersama sebelum akhirnya suara klakson membuat keempat anak beranak itu mesti terpisah 

Yang paling sedih tentu Kafka. Tapi, dia menghadapinya bagai seorang pahlawan kecil yang berusaha menahan tangis sewaktu sang ibu pada akhirnya memasuki mobil. Kafka melambai dengan penuh semangat dan ikut mengejar mobil tanpa henti walau Kinara menyuruhnya stop. Sesekali, Kafka menyeka matanya dan terus melambai. Dia juga berpesan kepada Kinara agar tidak melupakannya sama sekali.

“Cepat balik, Buk. Jangan lama-lama.”

“Telepon Kafka, ya, nanti.”

“Kirim foto Ibuk yang banyak.”

Kafka mengucapkan semua itu tanpa berhenti berlari, sedangkan laju mobil mulai kencang usai mencapai tikungan kampung. Tinggal Kinara mesti memperingatkan anak laki-lakinya tersebut untuk memperhatikan langkah, “Jangan lari, Nak. Nanti Ibuk balik lagi. Jangan lari-lari lagi, Kafka. Temani Eyang.” 

Sampai di situ, Kafka baru berhenti dan Kinara terpaksa menoleh ke arah kaca belakang mobil dan memperhatikan kalau bocah yang beberapa bulan lagi akan berusia delapan tahun itu menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sudah pasti dia menangis karena dua hari kehadiran ibunya di kampung amatlah tidak cukup. 

Mayang sendiri memperhatikan Kinara mengusap-usap sudup mata dengan ujung telunjuk. Sesekali dia pura-pura batuk supaya Mayang tidak tahu kalau dia sebenarnya sedang menahan diri untuk tidak menangis. 

Tapi, Mayang sendiri merasa masa bodoh dengan hal itu. Dia bukan tidak memperingatkan saudarinya tentang Kafka yang butuh ibu kandungnya daripada kakek yang walaupun tidak putus memberikan kasih sayang kepada cucunya, tetap saja, membuat sebuah lubang kosong menganga di hati bocah malang tersebut. 

“Dia sudah nggak punya bapak, sekarang mesti ditinggal ibunya. Sekarang iya, Kafka masih jadi anak penurut karena dia masih kecil, nggak punya pilihan. Tapi, potong telinga gue kalau salah bicara, anak yang kehilangan kasih sayang orang tua meski sebenarnya mereka berdua masih ada di dunia bakal tumbuh jadi anak pembangkang, nggak nurut. Lo tahu kenapa? Karena dia berpikir, sekuat dan sehebat apa pun dia berusaha jadi anak berbakti, orang tuanya nggak pernah ada buat dia.”

Mayang mendiamkan Kinara sejak pagi. Dia memperhatikan Kafka yang seolah berharap bisa diajak. Tapi, melakukan hal tersebut seperti sebuah dilema karena hal tersebut berarti mereka bertiga meninggalkan bapak sendirian. 

Padahal, sejak awal, pria itu sudah menyiapkan semua andaikata Kinara dan Mayang memilih tinggal. Pekarangan belakang rumah nenek amat luas. Sudah ada kolam ikan, beberapa kandang ayam yang setiap kandangnya diisi dua puluh ayam betina petelur dan juga ada kandang ayam untuk dipotong. Belum lagi beberapa petak untuk menanam sayur yang bisa mereka manfaatkan untuk hidup sehari-hari. 

Menurut Mayang, mereka tidak bakal kesusahan jika kembali. Tapi, Kinara masih berkeras pulang ke Jakarta dan itu memicu kemarahan sang adik.

“Dengar, Ay.” Kinara bicara, tepat beberapa menit sebelum mereka berangkat meninggalkan semarang. Kafka telah menunggu di depan kamar Kinara. Wajahnya menatap sang ibu penuh harap, namun, tidak ada satu patah kata pun keluar dari bibirnya.

“Nggak semudah itu. Gue mesti mengundurkan diri. Surat-surat administrasi kita mesti dicabut, belum lagi Ibu.” 

Mendengar ibu mereka disebutkan, Mayang menghela napas sebelum dia bicara, “Ibuk. Ibuk. lo tahu? Kalian berdua sama. Sama -sama penjilat bokong Dierja!”

Kasmaran Paling DepanWhere stories live. Discover now