4. Gamara

590 43 6
                                    

"Iam into you, Kanaya." kata Gamara.

"Kak Gama gila!" Seloroh Naya dengan tatapan menukik tajam. Rasanya sulit di percaya. Gadis itu menatap tak percaya pada sosok pria yang berdiri tegas di hadapannya.

Mendadak buku kuduk Naya meremang. Otaknya seolah masih mencerna apa yang baru saja Gama katakan. Perlahan ia menggeleng kepalanya pelan, seolah menolak secara isyarat.

"Sejak umur kamu 2 tahun, pertama kita ketemu. Aku suka kamu Kanaya, kamu milikku." ujarnya tegas dengan wajah seriusnya. Gama memperkikis jarak keduanya, ia mencekal pergelangan tangan gadisnya. Sedikit memberontak karena masih belum bisa percaya akan kejujuran ini.

"Kita jalanin seperti biasa, apa adanya kamu. Tapi aku minta jangan menjauh dari aku, kita akan tetap seperti biasanya. Kamu boleh anggap aku kakak kamu, tapi kamu perlu tahu kalau Gama sayang sebagai lawan jenis, bukan adik." Kata Gamara menjelaskan.

Ini benar-benar diluar dugaan. Jauh dari perkiraan Kanaya. "Kak Gama udah gila, ya? Naya masih belum bisa percaya sama apa yang kakak bilang." setelah mengatakan itu ia segera pergi meninggalkan Gama sendiri.

Pria itu sengaja tidak mencegah kepergian Naya. Ia ingin memberi gadis itu waktu untuk berpikir. Pasti Naya masih syok. Atas kejujuran yang ia katakan.

"Nggak ada yang lebih penting dari perasaan ku. Aku ingin kamu seutuhnya Naya." kata Gamara melihat punggung mungil yang mulai menghilang di telan jarak.

Takk

Abian meletakkan segelas kopi di meja kerjanya. Ekor matanya melirik sosok jangkung yang wajahnya sebelas duabelas dengannya.

"Tumben ke ruang kerja Papa? Ada sesuatu?" tanya Abian pria itu mengkode melalui jari telunjuknya untuk duduk kursi  yang terhalang meja kerja.

"Gama ingin Naya." katanya tegas tanpa pikir dua kali. Untuk apa berbelit-belit. Kening Abian mengernyit diikuti tawa meremehkan. Gama mendengus mendengarnya.

"Ingin? Kamu pikir Naya barang? Naya tidak dijual, Papa nggak bisa beli." ucap Abian berpura-pura sok bodoh hal menyenangkan untuk memancing emosi Gama yang notabenya seperti dirinya dulu.

"Apa ada yang sedang pura-pura lupa?" sindir Gama setelahnya, menatap penuh Abian. Mendapat tatapan seperti itu tak membuat Abian takut. Ia pun menyusul anaknya untuk duduk terhalang sebuah meja.

"Kenapa harus, dia?" Tangan besar itu mengepal erat saat pertanyaan itu baru saja keluar. Rasanya sakit sekali. Tidak rela jika menyinggung perihal seseorang yang spesial dihatinya.

"Apa maksud Papa!" desisnya tajam tanpa menaikkan nada bicara. Alisnya menukik tak suka, dengan tubuh yang condong ke depan.

Pria yang hampir menginjak 40 tahunan itu mengambil nafas pelan. Ia menyenderkan kepala di punggung kursi. "Masalah hati memang tidak bisa dianggap sepele. Maaf, bukan maksud Papa tidak menyukainya, hanya saja kenapa harus Naya?"

Brak

"Pa!" sentak Gama. Pria itu tidak suka jika Abian berkata seperti itu. Gama merasa seolah meraka tidak pantas bersama. Gama tidak menyukainya. Karena Gama hanya ingin Naya. Apapun itu semua tentang Naya.

Gama berdiri membuat kursinya berderit. "Papa harus tepatin janji." peringatnya.

Abian menatap Gama yang mulai melangkah pergi,"Naya menganggapmu sebagai kakak, bukan lebih. Cintamu bertepuk sebelah tangan, Gam."

Sontak langkah kaki itu terhenti, tangannya mengepal erat. "Peduli setan! Naya is mine!"

"Selama ini Gama sudah menuruti kemauan Papa, semua itu nggak gratis. Gama mau imbalannya, dan itu harus Naya."

Gamara's Where stories live. Discover now