𖧷 20. Kado Tak Bertuan 𖧷

9.8K 988 35
                                    

Vote, please...

♡♥︎

Ada yang bilang, motoran bisa meluruhkan beban pikiran. Dan iya, kali ini gue setuju. Angin pagi yang dengan baiknya menyela, seakan ikut bikin otak dan hati gue jadi adem. Gue bisa mikir lebih tenang, kalem, dan menghempas segala bentuk keegoisan.

Sepanjang jalan tadi gue ber-mushasabah tentang perilaku gue yang memang tak sepantasnya. Gue sadar, gue gak seharusnya bersikap kasar seperti anak tak terdidik begitu.

Gue menyesal. Gue terlalu childish.

Adalah wajar kalau bang Jendra membawa pulang orang lain ─siapapun itu─ tanpa konfirmasi dulu ke gue. Lah, emang gue siapa? Gue pun cuma orang numpang. Suka-suka dia lah mau bawa siapa. Apalagi kalau itu pacarnya. Hak dia. Gue gak sepantasnya mempertanyakan itu.

Adalah wajar juga kalau kak Indira merasa kurang srek sarapan sama nasi goreng. Dia lama tinggal di luar negeri, nasi terlalu berat untuk budaya mereka. Lagian, dia memang tamu yang mungkin sungkan untuk melakukan sendiri. Toh  mamak juga nawarin mau buatin kan? Seharusnya gue gak kurang ajar.

Kak Indira baru aja datang, wajar aja sih kalau dia mau ke grocery buat membeli segala keperluannya. Lagian, di rumah gak ada kendaraan lain. Normal kalau pikiran dia mau nebeng. Tapi gue malah gak sabaran.

Setelah dipikir lagi dengan tenang, sebenarnya gak ada perihal menyebalkan yang harus banget bikin gue tersinggung. Gue aja yang angkuh. Gue yang egois. Gue menyesal.

***Disini Aksa belum sadar kalau mood-nya berantakan karena gak di kiss Jendra. Sesepele itu perkara sebenarnya.***

Sampai kelas, ada kejutan mencengangkan lagi yang harus gue terima. Kek baru adem sama yang tadi, ini ada lagi. Hhmmm...

Gimana kagak? Begitu gue datang, gue mendapati meja gue dipenuhi sama barang-barang tak bertuan yang gak jelas asal-usulnya. Hooh lho, numpuk di meja dan banyak banget.

Awalnya gue kira sampah, tapi ternyata berisi dan terbungkus rapi. Semacam kado gitu. Wajar kan kalau gue kira ini tuh kado buat gue atas keberhasilan gue kapan hari nyabet medali, tapi ternyata itu pun keliru.

Beberapa kado ada bertuliskan: buat kak Jendra, kak Jendra ❤, dan semacam itu.

Demi apa buat kak Jendra. Kenapa dititipin gue?

Cuma ada sedikit teman yang ada di kelas, lainnya mungkin keluar lagi setelah naruh tas. Biasanya mereka di koridor. Dari sedikit itu, gue tanyain gak ada yang mau ngaku. Kan ngeselin.

Satu-satunya yang bisa gue harapin, cuma Dhini. Dan kebetulan, oknumnya sudah datang. Dia histeris begitu nongol dan lihat gue.

"Aksaaaaaa, lu udah sembuh? Sakit apa? Bisa-bisanya lu gak mau ditengokin! Lu kenapa gak bales chat gue?" cecarnya super heboh.

Gue gak mau bahas itu. Langsung gue alihin ke hal yang lebih penting.

"Lu tau ini apaan? Siapa yang kirim?" tunjuk gue ke tumpukan hadiah yang sebisa mungkin gak gue sentuh.

Dhini malah balik bertanya, "Apaan nih? Dari fans-lu?"

"Dih, bukan! Udah di sini pas gue baru dateng. Kemarin udah ada?"

Dhini menggeleng, "Gue baru lihat ini."

"Ini semua buat bang Jendra. Kenapa gitu sama abang gue?"

"Loh, iya?" si bocah sama bingungnya kek gue, dia langsung ngecek HP-nya. Gue yakin dia akan mencari tau soal ini dengan mudah lewat grup yang katanya selalu mengulas gosip terkini di sekolah.

RAKSA (End) Where stories live. Discover now