𖧷 14. Bro With Benefit 𖧷

12K 1.1K 39
                                    



Vote, selalu.

♡♥︎

Gue meratap, jalan sempoyongan bawa guling dipelukan, niat hijrah ke kamar bang Jendra.

Kalian pernah mimpi yang berasa nyata banget sampai nangis sesenggukan? Nah, gue barusan ngalamin itu. Mimpiin ibu.

Hati manusia bisa secepat itu swing-nya. Tadi siang gue kebanyakan ketawa, dan sekarang kebalikannya.

Seseorang yang gue pikir bisa menenangkan gue, cuma bang Jendra. Dan pas gue masuk kamarnya, dia lagi duduk senderan di kepala ranjang beserta laptopnya yang menyala diatas bantal, bahkan dia pakai kacamata. Lelaki itu agaknya masih kerja, padahal ini udah tengah malem.

"Kenapa Sa?" sambutnya setelah sadar keberadaan gue. Telat, karena dia pake TWS.

"Bang, kangen ibuu..." rengek gue gak tau diri, padahal gue udah tau dia lagi sibuk.

Bang Jendra senyum, dia langsung menutup laptopnya, ditaruh di atas nakas. "Sini... " tangannya direntangkan. Maksudnya, biar gue nyusul dia naik ke ranjangnya.

Gue beringsut lari ke pelukannya. Cari posisi nyaman di dekapan si abang yang penenang ini.

"Mimpi buruk?" tanyanya sambil mengusap, bahkan nyiumin pucuk kepala gue. "Mau call ibu?"

Gue gelengin kepala. Menolak.

Hubungan gue sama nyokap emang udah baik, karena mamak yang jadi penengah, tapi bukan berarti ibu sepenuhnya setuju dengan keputusan gue yang menolak mengurus pabrik suaminya itu. Sampai sekarang gue masih 'dihukum' karena hal itu.

"Besok kita call ibu ya? Bareng mamak juga." tenang bang Jendra lagi. Gue iyain aja sambil merem di pelukannya. Wangi ...

"Abang sibuk? Kenapa belum bobok?"

"Ngecek kerjaan doang kok." dia melepas kacamatanya, menurunkan badannya biar bisa rebahan lurus bareng gue. "Bobok lagi gih. Abang jagain."

Gue belum tertarik merem lagi. "Cerita-cerita dulu yuk!" gue pengen didongengin.

"Tentang apa?"

"Tentang Abang, deh."

"Abang? Kenapa?"

"Kenapa baik sama gue, sama mamak juga?"

Agaknya pertanyaan gue sedikit berat nan tiba-tiba, karena setelah mendengar itu, bang Jendra langsung diam. Kek merenung gitu. Terus, dia mendangakkan kepala gue sedikit dan kasih kiss di kening. Jangan baper! gue udah B aja. Dia emang tipe yang demen touching begini.

"Bukan gue yang baik. Gue yang harusnya terimakasih sama mamak, juga sama anak manis ini." kena cubit lagi pipiku yang tak seberapa  gemoy ini.

"Abang kok bisa sedeket itu sama mamak? Mamak gak galak?" gue berani bertanya lagi.

Menghela nafas, auranya udah beda, mendadak serius. "Gue ini anak pungutnya mamak, Sa. Mamak udah jagain gue dari sejak mommy meninggal. Kalau gak ada mamak, mungkin gue gede di panti asuhan, atau mungkin di bawah jembatan." terangnya terkesan pilu.

"Kok gitu? Setauku, mamak kerja di keluarga abang."

"Bukan. Mamak dulu kerja di tetangga depan rumah. Setelah mommy meninggal, abang gak punya siapa-siapa lagi. Semua yang kerja bareng keluarga kita, mengundurkan diri. Kebaikan hati mamak yang bersedia jagain abang kecil. Bahkan keluarga besar abang aja, jijik sama abang. Daddy depresi, minggat sampe sekarang entah kabarnya. "

RAKSA (End) Where stories live. Discover now