17. Rumah Aeris

4.7K 1K 800
                                    

Apa kabar?

Seperti biasa absen dulu sini

****

Reiji adalah laki-laki pertama yang Aeris ajak ke rumahnya, bahkan untuk menemui orang tuanya. Perasaan takut tentu hadir menyelimuti hatinya. Aeris takut kalau orang tuanya akan berbicara macam-macam dengan Reiji. Terkadang, Aeris juga lelah dengan sikap posesif orang tuanya yang selalu membuatnya tidak bebas untuk mengeksplor dunianya sendiri. Bahkan untuk hal sederhana seperti diantar pulang oleh laki-laki pun Aeris harus siap untuk disidang seperti kemarin.

Ruang tamu Aeris yang biasanya nyaman kini menjadi tempat yang ingin sekali Aeris hindari. Suhu ruangan juga mendadak terasa sangat dingin. Aeris hanya bisa menautkan tangannya sambik berharap tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi setelah ini.

"Siapa nama kamu, Nak?" Ambini buka suara. Bukan suara dengan nada arogan seperti yang Aeris bayangkan, melainkan nada lembut yang bahkan Aeris saja tidak pernah mendengarnya.

"Reiji. Reijiro Damastara, Tan." Lain halnya dengan Aeris yang begitu tegang, Reiji justru terlihat santai sambil terus memasang senyum tipis di bibirnya.

"Satu jurusan sama Aeris, ya? Semester berapa?"

"Baru semester tiga, Tante."

Ambini mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Pandangannya tidak berhenti fokus menatap Reiji. Seolah-olah tengah menilai laki-laki itu dari luar saja. "Kata Aeris, kamu anak HIMA, ya? Tante tuh pengen Aeris aktif di kampus. Mungkin kalian bisa sharing tentang hal-hal seputar kampus. Soalnya Aeris ini agak bandel kalau nggak dibimbing."

"Ma....," panggil Aeris dengan nada sedikit merengek.

"Iya, Tante, saya anak HIMA. Boleh kok kalau Aeris mau sharing tentang pengalaman organisasi di kampus," balas Reiji dengan ramah.

Aeris yang duduk di samping Reiji itu lantas menatap laki-laki itu dengan rasa pasrah. Dia benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan Reiji dengan orang tuanya.

"Saya lihat-lihat, kayaknya kamu anak yang disiplin." Kini giliran Erwin yang angkat bicara.

Reiji hanya tertawa canggung mendengar perkataan Erwin yang sepertinya tengah sedikit memujinya.

"Iya, pembawaannya tenang, bukan grasak-grusuk kayak Aeris," timpal Ambini setuju.

Aeris hanya bisa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak habis pikir dengan orang tuanya yang memuji orang lain, tapi merendahkan anaknya sendiri. Benar-benar aneh.

"Om sama Tante cuma pengin tahu kamu kayak gimana, Reiji. Ternyata memang sesuai bayangan Om dan Tante. Kalau boleh... kamu mau bantu Aeris? Dari laporan orang, Aeris masih main-main di jurusannya. Om sama Tanten beneran kehabisan akal buat nasihatin dia," terang Ambini, mulai fokus pada inti pertemuan mereka.

"Nggak separah itu juga, Ma. Rinai yang melebih-lebihkan," geram Aeris.

Ambini hanya melirik anaknya sekilas, kemudian kembali menatap ke arah Reiji. "Cukup bantu dia untuk menemukan jati dirinya di jurusan ini, Nak."

"Saya nggak masalah soal itu, Tan. Pasti saya bantu." Reiji melemparkan senyum hangatnya kepada orang tua Aeris.

*****

Aeris mengantarkan Reiji sampai teras rumahnya begitu mereka selesai bercakap-cakap dengan orang tuanya dan makan siang yang sebetulnya sudah kesorean. Begitu sampai di halaman, keduanya berhenti sejenak. Aeris tidak berhenti mengukir senyum kecilnya untuk Reiji. Dia merasa sangat dihargai oleh kedatangan laki-laki itu ke rumahnya, meski seharusnya ini bukanlah urusan yang penting bagi Reiji.

"Maafin mereka yang berlebihan, Kak. Orang tua gue emang kayak gitu," ucap Aeris lalu meringis pelan.

"Santai aja." Reiji menganggukkan kepalanya. "Lo beruntung karena diperhatiin mereka sampai segitunya."

Saat Reiji mengatakan itu, entah mengapa Aeris bisa melihat sorot kesedihan di mata tajam laki-laki itu yang menatap ke arahnya. "Gue agak tertekan, sih, sebetulnya."

Reiji tertawa mendengar itu. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya heran dengan kepolosan Aeris yang dengan gamblangnya mengatakan itu. "Mereka ngelakuin ini buat masa depan lo, Aeris."

"Iya, tapi nggak ngekang juga, Kak." Perempuan itu memutar bola matanya jengah.

"Tapi, mungkin banyak yang iri."

"Iri karena apa?"

"Karena lo punya apa yang mereka nggak punya, Ris."

"Kekangan keluarga maksud lo?"

"Iya." Reiji menipiskan bibirnya. "Mungkin di luaran sana ada yang berharap diposesifin orang tuanya."

Aeris hanya bisa menghela napas panjang lalu menjawab, "Nggak seromantis yang mereka bayangkan."

"Hidup emang bukan tentang kesempurnaan. Ada yang kurang, atau kelebihan yang berujung bikin nggak nyaman. Tergantung kita mau menyikapinya kayak gimana."

Aeris terdiam untuk sesaat. Dia memandang laki-laki di hadapannya begitu dalam. Cara berbicara, bersikap, dan berpikir milik Reiji selalu berhasil mencuri perhatiannya. Reiji seperti memiliki magnet yang menariknya untuk masuk ke dunia laki-laki itu. Aeris juga tidak munafik bahwa sepertinya, dia memang sudah tertarik dengan Reiji sejak pertemuan pertama mereka waktu itu.

"Thanks buat hari ini. Sampai jumpa besok." Reiji menepuk pelan pundak Aeris yang masih mematung lalu melangkahkan kakinya menuju motornya yang terparkir di dekat pagar.

bersambung

*****

600 komen serbuu

Rotasi Dunia ReijiWhere stories live. Discover now