15. Hari Paling Buruk

4.4K 1K 625
                                    

Reiji hanya duduk diam pada ujung kursi panjang di sebuah tongkrongan favoritnya, dengan tatapan kosong yang merenung jauh ke dalam pikirannya. Suasana yang ramai dan riuh di sekitarnya seakan-akan tidak ada artinya baginya saat ini. Dia tampak tenggelam dalam kerumunan pikiran yang hanya dia sendiri yang bisa memahami.

Saat tengah asyik berselancar di pikirannya, suara riuh dari meja sebelah memecah keheningan. Reno dan Kino, sahabat dekat Reiji, ikut duduk dengan pandangan heran yang terukir di wajah mereka. Mereka saling berpandangan, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Reiji.

Reno, yang penuh dengan keceriaan dan energi, tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran dalam wajahnya. "Kenapa? Tumben sedih banget muka lo. Tuh kopi juga lo anggurin," ucapnya dengan menunjuk secangkir kopi di hadapan Reiji menggunakan dagunya.

Reiji mengangkat pandangannya, terlihat sedikit terkejut oleh kedatangan sahabat-sahabatnya. Dia mencoba menyembunyikan kebingungannya dan memberikan senyuman tipis kepada Reno dan Kino. Keceriaan dua sahabatnya yang biasanya bisa membawa kebahagiaan, kali ini hanya menambah beban dalam benaknya.

"Sori, gue lagi banyak pikiran," ucap Reiji dengan suara rendah. "Rumit banget akhir-akhir ini."

Kino, yang lebih bijaksana dan penuh pengertian, menganggukkan kepalanya paham dan berkata, "Santai aja. Kalau ada masalah, boleh cerita. Tapi kalau lo nggak nyaman, kita cuma kasih dukungan dari jauh."

Reiji menghela napas dalam-dalam, mengapresiasi perhatian dan dukungan dari sahabat-sahabatnya. Dia merasa lega karena memiliki orang-orang seperti Reno dan Kino yang selalu siap memahami dirinya.

"Keluarga, ya? Apa kuliah?" tanya Reno menerka-nerka.

"Keluarga," balas Reiji singkat. "Biasa, lah. Kalian pasti paham."

"Jangan terlalu dipikirin, Rei. Ntar bisa gila. Udah mikir kuliah, job banyak, organisasi, eh malah nambah masalah. Sekali-kali, pikirin kebahagiaan diri sendiri. Jangan yang lain mulu," seloroh Kino mencoba membagikan pendapatnya.

"Bener tuh. Coba cari hiburan. Punya pacar misalnya," timpal Reno yang diakhiri dengan godaan basi yang sudah sangat sering Reiji dapatkan.

"Lo aja sana," sanggah Reiji, menyerang balik laki-laki itu.

"Eh, gue denger-denger lo lagi deket sama salah satu maba, ya? Yang sering lo temuin pokoknya." Kino akhirnya terpancing untuk semakin memperdalam topik mereka tentang hal ini.

"Ngarang," ketus Reiji.

"Cie.... Mukanya merah, cie...." Reno semakin bersemangat menggoda Reiji saat menyadari bahwa wajah sahabatnya kini tampak memerah.

"Gue lagi gerah aja," geram Reiji, berusaha mengelak dari tuduhan Reno.

"Gerah gimana? Angin malem aja dingin begini, alesan lo!" tuding Kino lalu melempari wajah Reiji dengan kulit kacang bekas mereka.

Dengan menahan bibirnya agar tidak menampilkan senyum malu, Reiji pun berucap, "Gimana mau punya pacar kalau PDKT aja udah kalian sorakin begini?"

*****

Suasana tegang terasa begitu kental menyelimuti ruang tamu di rumah Aeris. Perempuan berambut hitam legam dengan tatapan cemas itu duduk tegak di kursi, dihadapkan pada kedua orang tuanya yang terlihat marah dan kecewa. Erwin dan Ambini yang posesif terhadap Aeris itu memang sangat menjaga dan mengatur setiap langkaahnya sejak dia masih kecil.

Aeris sering kali merasa terkekang oleh aturan-aturan ketat yang diberlakukan oleh orang tuanya. Salah satu aturan paling ketat yang dia hadapi adalah larangan untuk berdekatan dengan laki-laki.

Dan Aeris sadar bahwa dia telah melanggarnya.

"Mama dapat laporan dari Rinai. Dia ngelihat kamu dianterin pulang sama cowok. Pacarmu?"

Aeris sudah menebaknya kalau Rinai pasti akan melaporkannya. Tetangga tengilnya yang julid itu pasti akan melakukan segala cara untuk membuatnya terlihat buruk. Aeris masih tidak mengerti mengapa Rinai selalu terobsesi untuk menjatuhkannya.

"Kakak tingkat, Ma. Satu jurusan sama Aeris. Dia baik, ngajak sharing Aeris. Bahkan mau bantuin Aeris ngerjain tugas," balas Aeris tanpa keraguan karena memang dia bicara dengan jujur.

"Tapi nggak perlu sampai diantar pulang juga," balas Erwin.

"Dia kasian aja sama Aeris kalau pulang malem-malem sendirian. Waktu itu juga Aeris nggak bawa motor sendiri. Berangkatnya naik ojek."

Terdengar decakan pelan dari bibir Ambini setelah mendengar jawaban Aeris yang terus membela diri menurutnya. "Siapa namanya?" tanyanya kemudian.

"Kak Reiji, Ma. Anak HIMA," jawab Aeris dengan menekankan kata HIMA. Sebab dia yakin kalau mamanya akan lebih respect dengan laki-laki yang ambis berorganisasi.

"Baguslah." Wajah tegas Ambini kini terlihat melunak. "Kamu harus join organisasi juga. Kalau perlu, tingkatkan ke BEM Universitas sekalian."

Sebetulnya, Aeris ingin sekali mengatakan tidak dengan lantang. Namun sayangnya, dia tidak sesanggup itu untuk terus berdebat dengan orang tuanya. Hingga pada akhirnya, hanya anggukan mengerti saja yang dia berikan sebagai jawaban.

"Aeris boleh balik ke kamar? Ada tugas yang belum dikerjain," pamit Aeris penuh harap.

Erwin dan Ambini saling berpandangan sejenak sebelum akhirnya saling mengangguk tanda setuju.

Setelah melihat respons orang tuanya, tanpa mengatakan sepatah kata lagi, Aeris buru-buru membalikkan tubuhnya dan berjalan secepat mungkin menuju kamarnya. Ini adalah hari paling buruk selama menjadi mahasiswa dalam dua minggu ini.

******

500 komen yuk gass!!!

Rotasi Dunia ReijiWhere stories live. Discover now