Chapter 1

26.5K 2.3K 279
                                    

Hari ini, hari Senin.

Aku tidak akan menceritakan tentang apa yang kulakukan selama seminggu yang lalu karena cerita itu bakal membosankan dan kalian akan meninggalkanku karena itu terlalu membosankan.

Tapi, kalau kalian mau meninggalkanku, juga tidak apa sih sebenernya.

Biar kujelaskan secara singkat. Aku bangun jam lima untuk mandi, lalu mengeringkan rambut, selanjutnya ke sekolah, belajar, lalu pulang, dan aku mengulanginya selama seminggu.

Tapi hari ini, kayaknya aku harus cerita sama kalian semua.

Karena ... kalian tau kenapa?

Hari ini, aku lihat dia di UKS.

Oh. My. God!

Oke, oke. Jangan histeris dulu. Aku akan menceritakannya secara detail. Jadi begini, sebenarnya ini semua salahku yang nggak sengaja menyilet jari telunjuk. Tadinya pula, aku ingin mengabaikannya, tapi, Teressa ngeyel, memberitahu semua hal buruk sekaligus konyol apabila aku mengabaikan lukanya.

Tadinya pula, Teressa mau ikut ke UKS. Namun aku jelas menolaknya. Aku bisa melakukan semuanya sendiri.

Jadi, disinilah aku. Di UKS sendirian, tadinya. Tadinya aku di UKS sendirian, tapi setelah aku mendengar decitan ranjang sebelah, Aku ragu.

Decitan itu lalu berganti dengan gumaman seseorang.

Aku membeku sekian detik. Setelah berhasil menguasai emosi, aku mulai meletakkan obat luka ke tempatnya dan berjalan mendekati tirai yang memisahkan ruangan.

Dan ... kalian tau apa yang terjadi?

Ada Aji, di sana.

Lantas, aku menutup mulut dan mematung sebentar, sambil berpikir apakah aku harus masuk atau tidak.

Satu pertanyaan yang membuatku terpaku.

Apa gue terlihat bodoh kalau gue masuk sana?

Tapi kaki ini tiba tiba melangkah dengan pelan, tidak memperdulikan pertanyaan pertanyaan gila di otak. Melupakan semua pikiran negatif yang berkecamuk.

Kaki ini terkadang lebih menurut pada hati daripada otak.

Setelah di depan ranjangnya, aku membeku. Gumamannya terdengar sangat jelas. Lantas, aku langsung duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Kulihat lamat lamat wajahnya. Kebiasaan dan kesukaan konyol dari seorang Norika Refania adalah senang ngeliatin orang tidur. Siapapun orangnya.

Apalagi orangnya kayak dia.

Dahinya penuh peluh, namun giginya gemeretuk tanda kedinginan.

Dari situ, aku bisa menyimpulkan. Dia demam.

Tangan ini dengan sendirinya menarik dua helai tisu yang ada di nakas. Berniat untuk mengelapnya. Tapi, tanganku tertahan.

Aku ragu, dan takut.

Takut dia bangun, lebih tepatnya.

Aku takut dia tiba tiba bangun lalu dia bertanya kenapa aku ada di sampingnya. Aku takut dia tiba tiba bangun lalu dia memikirkan yang bukan bukan. Aku takut dia bangun lalu dia menjauh. Aku takut dia bangun lalu--

Deg. Rasanya jantungku berhenti.

Badannya berubah posisi. Miring ke kanan, tepat di depanku.

Astaga, gantengnya.

Tiba tiba, sebelah tangannya mengamit tangan kiriku. Ia menggenggamnya dengan kencang seakan menahanku untuk pergi.

Dengan gumaman itu.

EnsconceWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu