Dear M

4 1 0
                                    

Dear "M"

Sampai saat ini, ketika kuketik surat untukmu, aku masih tidak habis pikir tentang apa yang aku rasakan. Sulit sekali menahan diri untuk tidak mencari tahu tentangmu.

Kupikir kita akan berteman baik, atau bisa berteman dekat. Tapi kupikir-pikir lagi sepertinya tidak. Padahal dari sedikit yang kuketahui tentangmu, aku tidak mempermasalahkan itu.

Kupikir, aku telah menemukan seseorang yang sefrekuensi, ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama, bertukar cerita, berbagi rahasia, saling beragumentasi, membahas banyak hal, mengunjungi tempat-tempat baru. Sungguh, saat itu aku senang sekali.

Ah, banyak sekali yang aku pikirkan, bodohnya aku terlalu dangkal mengartikan kata sefrekuensi. Nyatanya kita memang sefrekuensi, tapi hanya 1 frekuensi saja. Satu hal yang sama, selebihnya tidak ada. Aku memiliki banyak jalur frekuensi lainnya. Dan begitupun kamu.

Terkadang kita berbicara membahas hal serupa, namun konsepnya beda. Meski aku tahu apa yang kamu maksud, namun aku dengan sengaja mengubah jalur, menyangkalnya.

Entah, berapa kali aku jatuh, bangkit, terluka, melupa, kecewa, hingga akhirnya terbiasa dengan semua rasa yang ada.

Aku tetaplah sama, hanya ingin hal sederhana. Tapi kebanyakan orang menilai, apa yang aku inginkan terlalu istimewa, bahkan terkesan memaksa. Kupikir memang mereka bukan orang yang tepat untuk kuberi apa yang kupunya.

Ada kesalahan yang aku lakukan di malam itu. Esoknya, aku pun melakukan kesalahan pula. Tidak mengakui hal sebenarnya, sampai-sampai kamu marah.

Dan, di saat itu. Aku merasa bersalah, kuterima konsekuensinya.

Jika bisa kukatakan yang sebenarnya, "aku sedang tidak baik-baik saja. Aku butuh kamu, aku pikir hanya kamu yang bisa aku hubungi, bisa bantu aku, hanya ingin bicara, ingin mendengar ceritamu, apapun itu. Ceritakan padaku. Aku muak dengan cerita hidupku."

Rasanya ingin kukatakan hal itu padamu.

Jika dekat, aku hanya ingin mendapatkan sebuah pelukan. Ya, jika tidak ingin bercerita, cukup peluk saja. Sampai aku merasa tenang. Nyatanya kamu terlalu jauh.

Aku pikir kamu beda, ternyata sama saja. Sama seperti yang lainnya, hanya memiliki satu frekuensi yang sama denganku. Hanya karena sebuah series, atau pemeran yang kita sukai, selebihnya tak ada.

Entah, pertemanan seperti apa yang kamu inginkan. Katamu saat itu, hanya ingin mencari teman. Ya aku bersikap layaknya teman. Namun persepsi tentang pertemanan bagiku dan bagimu berbeda.

Bukan satu atau dua kali kuhapus nomor kontakmu dari ponselku, sering sekali kuhapus pula pesan-pesanmu. Aku tidak mau mengganggu mu lagi. Kupikir tidak ada gunanya, toh bukan pertemanan seperti ini yang aku inginkan, hanya menambah nomor kontak di ponsel, tetapi tidak ada komunikasi yang baik.

Namun ketika kamu balas pesanku. Aku tetap bisa mengenalimu, padahal tak ada namamu di sana. Alhasil, aku simpan kembali nomormu.
Labil sekali ya aku?

Terkadang aku juga berpikir, untuk mempertahankan egoku, tetap cuek, tidak peduli meski aku tahu kamu tidak sedang baik-baik saja. But, nggak bisa. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya, atau sekadar mengingatkan agar kamu tetap menjaga kesehatanmu.

Bagaimana? Bodoh bukan. Entah perasaan apa ini, kenapa rasanya menyakitkan ketika semua harapan-harapan itu sirna. Mungkin benar apa katamu, jangan terlalu berharap dan menaruh eksfektasi terlalu tinggi kepada seseorang. Itu hanya akan menyakiti diri sendiri, dan berujung kecewa. Dan semua itu juga berasa dari diri kita sendiri, bukan kesalahan orang lain. Ya aku tahu itu.

Namun, yang namanya rasa, hati, siapa yang paling berkuasa? Hanya Tuhan yang bisa membolak balikan hati, perasaan yang ada.

Aku percaya, tidak ada yang kebetulan di dunia ini, sama hal mengenai pertemuan kita, bisa untukku mendapatkan pelajaran, atau kamu yang mendapatkan pelajaran dariku, atau bisa juga orang lain belajar dari kita.

Jika tetap begini, lebih baik kembali seperti orang asing, aku pergi, atau kamu yang pergi, silakan. Entah apa yang membuatku tertarik, sampai-sampai tidak hanya melirik sedetik. Tapi kamu membuatku berbalik, ada rasa lain, rasa ingin tahu lebih jauh. Tapi sayang, sepertinya kamu merasa terusik, risih dengan gerak langkahku.

Jadi lebih baik aku berbalik, berjalan kembali, melewatimu saja, anggaplah seperti seorang petualang bertemu di jalan, bertegur sapa, berbincang sewajarnya, lalu pergi melanjutkan perjalanan masing-masing dengan tujuan yang berbeda.

Entah kamu bisa mengerti atau tidak dengan bahasa dari suratku. Satu hal yang pasti.
Terima kasih untuk pertemuan singkat kita, untuk janji yang belum bisa ditepati, tak apa. Kuanggap lunas saja.

***
Tertanda
May

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 09, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Bukan Surat CintaWhere stories live. Discover now