Rencana.

115 15 11
                                    

Waktu seakan berhenti bergulir bagi Gempa sesaat setelah Ying menyatakan isi pikirannya. Berbagai macam pertanyaan pun berkecamuk di dalam alam pemikiran Gempa.

'Apakah aku sudah siap? Apa aku layak jadi pasangan Ying? Berarti ngga lama lagi kita bisa jadi akan menikah? Bagaimana reaksi ayah, keluarga Ying?' Begitulah sebagian pertanyaan yang terlintas di otak Gempa.

Di sisi lain, Ying menatap Gempa nyaris tanpa berkedip. Perhatian gadis berparas oriental itu tertuju sepenuhnya kepada sang kekasih.

"Gimana, Gem?" tanya Ying.

Gempa tersentak kaget saat ditegur oleh Ying. Apapun yang ada di dalam pemikiran Gempa buyar seketika. "A-apanya yang gimana?" Alih-alih menjawab, Gempa malah bertanya balik.

Wajah Ying langsung cemberut dengan pipi sedikit menggembung. "Haiyaaa. Masalah tunangan wo! Gimana menurut lu, ma?"

Tanpa disadari bintik keringat mulai bermunculan di kening Gempa. Suhu udara yang cukup panas di siang hari itu mendadak terasa lebih dingin daripada biasanya. Dinginnya hawa yang dirasakan oleh Gempa seakan ikut membekukan lidah.

"Apa kamu ragu-ragu, Gem?" Ying kembali bertanya, kali ini dengan nada lembut.

Gempa tidak langsung menjawab. Dia menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri dibalik niatan untuk sedikit mengulur waktu. Di dalam hati Gempa tahu bahwa tidak ada gunanya menunda-nunda.

"Aku mau, Ying ...." Akhirnya sebuah jawaban terucap dari mulut Gempa.

Jawaban yang terdengar dari Gempa tidak membuat Ying puas, apalagi mendengar cara Gempa menjawab. Tidak perlu ijazah psikologi bagi Ying untuk menangkap keraguan dalam jawaban sang kekasih yang menggantung.

"Wey, kok 'gitu jawabnya?" tanya Ying dengan nada ketus. "Lu orang ngga yakin sama aku?"

Gempa menggelengkan kepala perlahan. "Bukan begitu, Ying." Suara yang berat sedikit tercekat terdengar dari mulut Gempa. Kepala remaja bernetra cokelat madu itu menoleh menjauh dari si rekan bicara. "Aku sayang kamu, Ying. Jangan permah ragukan itu, tapi ...."

Ying tidak berkata apa-apa. Di menunggu Gempa menyelesaikan menyampaikan isi pikirannya.

Gempa menghela napas panjang. "Aku ngga yakin kalau orangtuaku bakalan merestui hubungan kita." Kata per kata terasa amat berat terucap dari mulut Gempa.

Apa yang diucap Gempa membuat Ying terdiam untuk beberapa saat lamanya. Bola mata gadis berparas oriental itu bergerak-gerak gelisah sementara kedua tangannya mengepal erat.

Berbagai macam pikiran bergejolak di dalam otak Ying. Benarkah apa yang dikatakan Gempa? Menurut dirinya sendiri, Ying menganggap bahwa dia bukanlah wanita yang lemah. Sebaliknya, dia adalah salah satu mahasiswa terbaik di kampusnya. Secara akademik, prestasi Ying sangat membanggakan. Memang dalam pergaulan Ying tidak terlalu luwes, dia cenderung pemalu dan kaku namun sombong atau angkuh tidak pernah ditemukan dalam pembawaan dirinya.

"Gem," tutur Ying lembut, "memang ada yang salah dengan aku?" Tatapan Ying terarah pada horison bumi di kejauhan.

"Ngga!" Buru-buru Gempa menjawab. Dia sangat tidak ingin membuat kekasihnya bersedih. "Ngga ada yang salah denganmu, Ying. Bagiku, kamu itu sempurna!" sambung Gempa dengan gugup.

Kepanikan Gempa itu membuat Ying menatap aneh padanya. Hanya beberapa detik saja berselang sebelum Ying tersenyum dan terkekeh sembari menutup mulutnya. "Haiyaa. Mana ada orang sempurna, wo! Pasti ada jeleknya."

Gempa menghela napas lega setelah melihat perubahan mood Ying. Bagi Gempa tidak ada yang lebih meresahkan daripada melihat seorang kawan atau kekasih sendiri bersedih hati. Hampir segala cara akan dia lakukkan untuk menghibur orang yang ia kenal dekat.

"Iya sih, ngga ada orang yang sempurna." Gempa terkekeh kecil dan tersenyum.

Tidak mudah untuk mengelabui seorang Ying. Walau terlihat tersenyum tetap saja Ying bisa melihat bahwa senyuman sang kekasih tidak mencapai sorot sayu kedua matanya.

"Haiyaa." Ying menggelengkan kepala. "Ada apa sebetulnya, wo? Aku jadi penasaran!"

Percuma rasanya bagi Gempa untuk mengelak dari pertanyaan Ying. Satu hal yang dikenalnya dari Ying adalah bahwa gadis berparas oriental itu sangat gigih dan pantang menyerah dalam segala hal, termasuk dalam mencari jawaban.

Gempa menghela napas panjang lagi. Dia mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara terus terang kepada Ying.

"Aku takut ... ayahku ngga setuju dengan hubungan kita, Ying," tutur Gempa lembut. "Aku ngga pernah cerita ke Ayah kalau aku pacaran denganmu."

Jawaban Gempa membuat Ying terdiam untuk beberapa saat lamanya. Dahi gadis itu  mengernyit berkerut saat otaknya bekerja mencerna perkataan Gempa.

"Kok bisa? Aku kan sering main ke rumahmu, masa ayahmu ngga nanya-nanya?" Semakin dalam rasa keingintahuan Ying akan Gempa dan ayahnya.

"Aku selalu bilang kalau kita ngerjain tugas dari dosen. Entah ayahku ngga peka atau dia percaya begitu saja ...." Gempa menatap ke arah langit. Entah kenapa dia merasa sulit untuk menatap Ying secara langsung.

Di sisi lain Ying mengangguk-anggukan kepala. Sepertinya dia mulai memahami apa yang sedang terjadi pada diri Gempa dan keluarganya. "Kenapa lu orang ngga coba omongin ke ayahmu, Gem?"

"Jujurly? Aku agak takut," jawab Gempa, "ayahku itu agak kolot. Aku khawatir dia malah marah."

"Hey, kalau ngga dicoba mana kamu bisa tahu." Ying meraih tangan Gempa dan menggenggamnya erat-erat. "Bisa saja dia setuju 'kan?"

Beberapa saat lamanya Gempa terdiam dan berpikir. Apa yang dikatakan Ying ada benarnya. Dia tidak akan tahu jawaban sang ayah kalau tidak dicoba. Walau begitu di sisi lain, Gempa juga tahu bahwa keluarganya belum terlalu terbuka apalagi dalam masalah hubungan cinta.

Sebetulnya sudah ada kakak dari Gempa yang juga menjalin hubungan cinta, yaitu Taufan. Dalam perihal Taufan, sang ayah tidak terlalu banyak berkomentar apalagi orang pilihan Taufan cukup dikenal oleh keluarga.

"Yah, mungkin ayah bisa jadi setuju." Sebuah senyum tipis mengulas di bibir Gempa. "Toh ayah tidak keberatan dengan Taufan yang pacaran dengan Yaya."

Gempa pun memantapkan niatnya. Dia mengambil keputusan untuk berterus terang kepada ayahnya mengenai hubungannya dengan Ying. Betul apa yang dikatakan oleh Ying, memang sudah saatnya untuk memeberkan segalanya kepada sang ayah termasuk rencana ke depan.
.
.
.
BERSAMBUNG

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 20, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Heart Cannot LieWhere stories live. Discover now