Siang Hari Yang Panas

173 26 16
                                    

Dering bel listrik menyalak keras di seluruh penjuru sebuah kampus di Pulau Rintis. Kesunyian pun mendadak sirna, digantikan serta merta oleh hiruk pikuk mahasiswa saat mereka berhamburan keluar dari ruangan kelas.

Dari sebuah ruang kelas melangkahlah seorang mahasiswi. Langkah-langkah kaki gadis itu tergesa-gesa seakan dia tidak ingin berlama-lama lagi di ruang kelas itu. Sesekali dia membetulkan letak kacamata yang menghias wajah berparas orientalnya.

Semakin dekat dengan tujuan, semakin cepat pula frekuensi langkah si gadis melalui beberapa koridor kampus. Tidak perlu waktu lama baginya untuk mencapai tujuan, yang tidak lain adalah halaman parkir kampus.

Perhatian Ying langsung tertuju pada sebuah pohon beringin besar. Beberapa pohon beringin besar memang dibiarkan tumbuh begitu saja di halaman parkir. Selain menghijaukan, pohon-pohon beringin itu juga melindungi kendaraan yang terparkir dari sengatan panasnya matahari iklim tropis Malaysia.

Beberapa motor terparkir di bawah salah satu pohon beringin dan di atas sebuah motor duduklah seorang remaja pria. Sepertinya remaja itu sudah menunggu cukup lama karena dia tengah memainkan sebuah benda untuk melewatkan waktu.

"Wey, Gempa!" Ying memanggil sembari terus berjalan mendekati si remaja yang duduk di atas motor.

Sayangnya yang dipanggil oleh Ying tidak mendengarkan. Tangannya masih sibuk memainkan dua buah bola kecil yang terhubung seutas tali. Bahkan dari jarak yang lumayan jauh suara seperti senapan mesin dari benturan bola-bola itu terdengar cukup keras.

Pada jarak beberapa langkah sajalah si remaja pria itu baru menyadarinkehadiran Ying. Segera ia menghentikan permainan lato-latonya dan menyimpan mainan itu ke dalam konsol motornya.

"Hai Ying." Sebuah senyuman manis mengulas si wajah Gempa. Serta merta ia turun dari jok motornya dan menghampiri Ying.

"Haiyaa," keluh Ying sembari menggelengkan kepala. "Sudah kubilang jangan main lato-lato ma! Bahaya kalau lepas lalu kena kepala!"

"Ngga apa-apa lah," protes Gempa tanpa emosi. Senyum cerianya bertukar menjadi cengiran jahil. "Kan nanti sembuh kalau dicium Ying."

"Gombal!" ketus Ying. Alih-alih marah, gadis berparas oriental itu malah tertawa.

"Ya sudah, aku yang cium deh." Gempa menarik Ying ke dalam sebuah pelukan. Kecupan ringan pun disematkan oleh Gempa di dahi Ying.

Rona merah langsung terlihat dengan jelas di sekitar leher dan pipi Ying. Betapa mesra perjumpaan kedua insan remaja itu. Dunia seakan hanya milik mereka berdua saja dan tiada yang mengganggu.

"Wey! Malu dilihat orang, lah." Walau sudah hampir empat tahun lamanya berpacaran, Ying terkadang masih canggung.

"Santai saja wo." Gempa tertawa melihat gerak-gerik Ying yang gelisah. "Toh ngga ada orang disini .... Cuma orang aneh yang pacaran di parkiran motor."

"Termasuk kita 'gitu maksudmu?" tanya Ying. Sebetulnya pertanyaan yang terlontar dari gadis berparas oriental itu tidak memerlukan jawaban namun tetap saja membuat Gempa terdiam dan berpikir.

Sang kekasih pria mencari jawaban yang tepat untuk dilontarkan. "Bukan aneh, tapi unik," tutur Gempa memberikan argumen balik.

Memang Gempa dan Ying adalah pasangan yang unik. Latar belakang keluarga mereka sangat berbeda. Yang satu berketurunan Melayu dan yang satu lagi berketurunan Tionghoa. Tidak hanya suku, kepercayaan mereka berdua pun juga berbeda.

Namun perbedaan bukanlah halangan bagi Gempa dan Ying. Keduanya tidak pernah mempermasalahkan perbedaan. Bagi mereka lebih baik mencurahkan perhatian pada hal-hal yang menyamakan dan menyatukan daripada hal-hal yang memebedakan.

Ying menghela napas panjang. Dia akhirnya membiarkan dengan rela dirinya ditarik ke dalam pelukan sayang sang kekasih. Walaupun berada di atas motor pun jadilah Ying menyandarkan kepalanya pada lengan Gempa.

Betapa kokoh rasanya lengan remaja pria bernetra cokelat madu itu. Dibalik kokoh dan gagahnya Gempa terasa pula kelembutan dan kehangatan yang siap melindungi Ying dari apapun, kecuali amukan emaknya sendiri.

"Gem," panggil Ying lembut. Kepala gadis itu menoleh ke arah kekasih yang ia panggil namanya.

"Ya, Say?" balas Gempa dengan kelembutan yang sama.

"Ada sesuatu yang mau aku omongin .... Kita pacaran kan sudah lama...."

Gempa sejenak terdiam. Otaknya menghitung waktu yang telah dilalui bersama antara dirinya dengan Ying. "Ya, sudah tiga tahun lebih-"

"Tiga tahun, sepuluh bulan tambah dua belas hari, ma," celetuk Ying, "aku pikir ... mungkin kita harus berhenti pacaran dan ...melangkah ke depan?"

Kedua kelopak mata Gempa membelalak. Rasanya untuk sesaat jantungnya berhenti bekerja. Gempa sebetulnya bisa menebak kemana arah pembicaraan Ying namun keraguan tetap mengganggu alam pemikiran Gempa.

Ying pun bisa melihat raut wajah Gempa. Tanpa perlu Gempa berkata-kata pun Ying bisa tahu kalau kekasihnya itu sedang berpikir.

"Gem? Lu orang kenapa wo?" hardik Ying. Dia merasa tidak nyaman melihat Gempa yang mendadak tegang.

"A-aku ngga yakin dengan apa yang kamu maksud dengan ... melangkah lebih jauh ...," tutur Gempa. Entah mengapa dia merasa lebih baik jika tidak membalas tatapan Ying yang kini tertuju pada dirinya.

"Haiyaa! Jangan mikir aneh-aneh wo!" Ying menggelengkan kepalanya. "Kita sudah hampir empat tahun pacaran, wo. Kenapa kita ngga lanjut tunangan?"

Waktu seakan berhenti, demikian pula dengan degup jantung Gempa sesaat setelah ia mendengar apa yang baru saja diutarakan Ying. "Se-secepat itu?" Walau membutuhkan waktu hampir semenit lamanya bagi otak Gempa untuk menemukan jawaban, pada akhirnya hanya pertanyaan singkat itu yang terucap.

"Empat tahun itu ngga sebentar lho, Gem." Ying membalas tatapan Gempa.

Genpa berdehem beberapa kali. "Ah, maksudku .... Ngga kerasa ya sudah lama kita pacaran. Sepertinya benar apa yang orang-orang bilang."

"Apa itu?" Dibalik kacamata berbingkai biru, kedua kelopak mata Ying mengedip cepat.

"Waktu ngga berasa berlalu kalau kamu bersama dengan orang yang kamu sayangi." Senyuman manis pun mengulas di bibir Gempa. Tanpa menunggu jawaban dari Ying, Gempa langsung menyematkan sebuah kecupan ringan di dahi sang kekasih.

Rona merah pun menguar di sekitar pipi dan leher Ying. Kehangatan mendadak pun terasa menyebar di ruam.merah pada leher Ying walaupun siang itu tidak terasa panas. Sepertinya jebakan kata-kata dari Gempa tepat mengenai sasarannya.

"Fuiyoo," gumam Ying lembut, "belajar darimana kau?"

"Kakakku, Taufan," jawab Gempa dengan diiringi kekehan renyah.

Ying ikut terkekeh sambil menggelengkan kepala. Dia tahu bahwa kekasihnya itu sedikit kesulitan untuk menemukan kata-kata yang romantis dan menggoda namun di sisi lain, Ying juga kenal dengan kakak dari Gempa yaitu Taufan yang lebih pintar dalam berkata-kata.

"Ngga heran kalau kau mendadak bisa gombal kalau Taufan yang ngajarin?" tanya Ying setengah memuji.

"Siapa lagi?" Gempa mengedikkan bahu. "Kakakku yang satu lagi, Halilintar kan pendiam. Boro-boro bergombal-ria, basa-basi saja Halilintar susah."

"Iya lah, terlalu pendiam malah." Ying menganggukkan kepala laksana orang bijak.

Beberapa saat lamanya Gempa dan Ying terdiam. Keduanya menarik napas panjang sementara kedua tangan mereka saling bertautan.

"Gem," tutur Ying lembut dan perlahan. Sangat berbeda jauh dengan kebiasaannya yang sering berbicara cepat. "Seperti yang aku bilang tadi .... Kita sudah lama pacaran. Mungkin saatnya kita melangkah lebih jauh ke depan."

Dahi Gempa mengernyit. "Maksudmu kita naik ranjang 'gitu? Ngga deh. Martabat-"

Ying memutar bola matanya ke atas. "Haiyaa! Kok jadi mesum begitu?" tanya Ying dengan nada sedikit gusar. "Maksudku, bagaimana kalau kita lanjut tunangan, wo!"

.

.

.

Bersambung.

Heart Cannot LieWhere stories live. Discover now