10. Merasa Cocok?

405 145 8
                                    

10. Merasa Cocok?

"Eyang emang deket banget sama keluarga Tante Eni?"

Ketika malam hari dan menemani Eyang menonton televisi, entah kenapa aku ingin sekali menanyakan itu. Sebenarnya sudah sejak lama aku penasaran. Karena jika dilihat, hubungan antara Eyang dan keluarga Tante Eni memang sudah seperti saudara dekat. Setiap Eyang memasak atau membuat makanan yang tidak biasa, pasti sebagian akan diantar ke rumah Tante Eni. Begitu pun sebaliknya, Tante Eni sering sekali membawa makanan ke rumah.

Bukan hanya itu, tiap kali pergi dinas—yang mana seringnya pergi bersama Om Haris—Tante Eni pasti akan pamit kepada Eyang dan juga menitipkan anak-anak beliau. Sudah seperti kepada orang tua saja. Aku heran kenapa baru sekarang mengetahui jika Eyang punya tetangga sebaik mereka.

"Ya memang dekat." Eyang tersenyum kecil. "Tante Eni dan Om Haris itu sama-sama sudah tidak punya orang tua. Jadi mereka menganggap Eyang dan Akung seperti orang tua sendiri."

"Kok Lola baru tahu?"

Eyang tertawa sambil menepuk pipiku. "Kamu sih, jarang ke sini."

Cemberut, aku memeluk lengan Eyang. "Kan Akung yang suka nggak bolehin. Kata Akung, Lola nunggu di rumah aja. Biar Eyang sama Akung yang ke sana."

Eyang tertawa lagi. "Kalau nggak begitu, Eyang nggak bisa menemani Lola di rumah, kan?"

Aku mengangguk. Karena orang tua Papa sudah dipanggil Allah, aku memang jadi lebih dekat dengan Eyang dan Akung. Ditambah, mereka juga tipe kakek nenek yang penyayang dan tidak pernah mengomel. Juga karena tahu kadang aku kesepian di rumah, mereka jadi lebih sering datang daripada aku. Tentu saja Akung tidak menyetir sendiri. Setiap Eyang dan Akung ingin datang ke rumah, Papa selalu menyuruh supir untuk menjemput mereka.

"Kalau sama Mitha dan Bang Kefan, Eyang juga emang sedeket itu?" tanyaku lagi.

Eyang mengangguk. "Seperti yang Lola lihat."

Aku tersenyum kecil. "Mitha kadang manja sama Eyang, lho."

Eyang tertawa. "Lola cemburu?"

Aku menggeleng sembari tertawa. "Kayaknya Lola udah anggap Mitha kayak adik sendiri, deh."

Eyang tersenyum. "Kalau Bang Kefan bagaimana? Lola anggap seperti abang juga?"

Pertanyaan Eyang membuatku mengerjapkan mata. Tentu aku kesulitan menjawab. Menganggap Bang Kefan seperti abang sendiri? Itu ... agak mengerikan.

"Lola kan udah punya Mas Juan sama Mas Theo," elakku.

"Nambah satu abang lagi boleh, lho."

Aku menyengir. "Enggak, deh. Dua aja udah cukup."

Eyang menepuk-nepuk pundakku sembari terkekeh. "Jadi suami saja bagaimana?"

Aku melongo. "Apa, Eyang?"

"Suami." Eyang tersenyum sambil melihat layar televisi yang menyala dengan volume paling kecil. "Bang Kefan laki-laki baik, loh, Nak. Dia nggak neko-neko. Hormat dan sopan dengan orang tua. Dia juga baik hati, kan, sama Lola? Papa mamamu pasti bangga kalau Bang Kefan jadi menantu mereka."

Aku meringis karena pendapat Eyang yang tiba-tiba ini. Aku setuju bahwa Bang Kefan memang baik dan menantu idaman. Namun di bagian Papa dan Mama akan bangga, aku tidak yakin. Justru mereka pasti akan terkejut, bukan, jika aku kembali menjalin hubungan dengan mantan pacar?

Saat tahu kalau Bang Kefan adalah tetangga Eyang saja, Papa sempat skeptis. Karena meski papaku itu tahu akulah yang memutuskan Bang Kefan, tapi mereka tetap menganggap bahwa aku tidak berada di pihak yang salah. Yah, Papa memang selalu yakin kalau aku adalah anak manis dan baik hati yang tidak akan bisa menyakiti orang lain seujung kuku pun.

Never Goodbye (TAMAT)Where stories live. Discover now