3. Sok Ngatur

597 188 14
                                    

3. Sok Ngatur

"Maksud Abang apa?"

"Belum selesai," katanya dengan kalem. "Aku mau kamu buat collab. Gimana?"

Aku menatapnya skeptis. "Maksudnya?"

"Kita bikin proyek webcomic. Aku yang bikin alur cerita dan keseluruhan adegan, kamu yang bikin gambar komiknya."

Memahami apa maksudnya, aku melongo untuk sejenak. Sedetik setelahnya, aku menggeleng. "Nggak mau."

Bang Kefan mengerutkan kening. "Kenapa nggak mau?"

Aku berkacak pinggang. "Kenapa nggak boleh nggak mau?"

Bang Kefan menyipitkan mata. "Kamu jago debat, ya, sekarang?"

"Udah aku bilang, manusia itu nggak konstan, Abang."

Bang Kefan mengernyit. "Jadi kenapa nggak mau?"

Mengembuskan napas kesal, aku berkata, "Nggak minat."

"Kenapa nggak minat?"

"Nggak minat aja. Nggak ada alasan."

"Alurku bagus. Pernah dipilih pemred buat diterbitkan tapi aku belum minat. Kamu melewatkan kesempatan bagus kalau nolak."

"Nggak peduli," balasku.

"Kalau kamu nggak mau, aku collab sama komikus lain."

"Tetep nggak peduli."

Bang Kefan menatapku dalam. Aku tentu membalasnya dengan berani—lebih seperti menantang. Kami adu tatap selama beberapa detik sebelum dia memutuskan kontak mata terlebih dahulu. Aku menyeringai.

"Besok bilang kalau berubah pikiran."

"Nggak akan."

Bang Kefan mendesis, tapi tidak melakukan apa-apa. Aku menggembungkan pipi, menunggunya pergi. Namun dia malah tetap berdiri di sana.

"Hush. Hush." Aku mengibaskan tangan. "Sana. Jangan ganggu aku lembur."

"Tidur." Bang Kefan melongok ke bagian dalam kamarku. "Udah hampir jam dua belas."

Aku mengangkat kedua alis. "Terus?"

"Nanti ada setan."

"Abang setannya."

Tatapan Bang Kefan menajam. "Heh."

"Apa?" tantangku.

"Berani?"

"Berani, lah!" Aku mengangkat dagu. "Aku bukan Mitha."

Salah satu sudut bibir Bang Kefan terangkat. Setelahnya, dia menyentuh daun jendela dan mendorongnya hingga setengah tertutup. Dia melambaikan tangan, kemudian benar-benar menutup jendela sepenuhnya. Mendesah, aku mencondongkan badan untuk mengunci jendela.

"Aku mau kamu." Aku bergumam sendiri, lalu berdecak menatap jendela. "Dasar mantan nyebelin!"

***

Dulu, aku dan Bang Kefan berkuliah di jurusan yang sama yaitu sastra Indonesia. Saat aku menjadi mahasiswa baru, dia sudah menginjak semester tujuh. Usia kami terpaut tiga tahun.

Saat OSPEK, Bang Kefan terkenal galak dan tidak pilih kasih dalam memberi hukuman kepada mahasiswa baru yang melanggar aturan. Aku sendiri pernah dihukum satu kali, gara-gara motor Mas Theo—kakak keduaku—mogok di tengah jalan ketika kami berangkat ke kampus. Aku terlambat dan Mas Theo meminta keringanan kepada Bang Kefan.

"Terlambatnya nggak disengaja, Bang," kata Mas Theo saat mengantarkanku ke lapangan hari itu.

"Nggak ada telat yang disengaja." Bang Kefan dengan raut kakunya, menunjuk beberapa mahasiswa baru yang tengah dihukum lari keliling lapangan. "Mereka juga nggak sengaja telat."

Never Goodbye (TAMAT)Where stories live. Discover now