Kisah Sepotong Long John

22 1 2
                                    


Saat aku menggigitnya, rasa manis meises dan krim putihnya yang tebal, juga empuknya roti donat panjang yang digoreng sempurna itu mengingatkan aku kepadamu meskipun kamu selalu memilih long john dengan keju, bukan long john dengan meises seperti aku. Kamu ingin ada rasa asin dari keju pada roti panjang itu, karena katamu, rasa manis dari krim putih isiannya sudah cukup untuk melepaskan hormon bahagia. Rasa asin itu kamu butuhkan untuk menekan produksi hormon stress.

Kamu memang selalu sedetail itu. Semua kamu cerna. Semua kamu maknai.

Sementara, bagiku, semua sama saja. Aku memilih long john karena aku suka meises. Bukan berarti aku tidak suka keju sehingga menolak long cheese. Hanya saja, pada sepotong long john, aku lebih menyukai meises karena aku sangat menyukai coklat. Sama seperti aku yang saat itu sedang sangat menyukai kamu.

Iya, suka. Choa. Like.

Oh iya, kamu enggak tahu soal itu. Memang itu rahasia yang hanya aku yang tahu.

Karena, pertemuan-pertemuan kita hanya sebatas sapaan ringan, saling berbasa-basi membahas project yang sedang masing-masing kita kerjakan dan kemudian kita akan sibuk dengan laptop di hadapan kita, bukan satu sama lain.

Aku mendengar mengapa pilihan kamu jatuh kepada long cheese pun saat menguping overheard (Kenapa kalau bahasa Inggris terasa lebih sopan, ya, padahal sama saja artinya? Atau mungkin lebih tepat jika kugunakan kata 'tak sengaja mendengarkan?' Tapi kenyataannya, aku sengaja, kok. Eh.) pembicaraan kamu di telepon. Entah dengan siapa. Kuanggap saja kamu sedang menelepon ibumu – demi mempertahankan imajiku tentangmu.

Kita tidak saling kenal. Karena, kita hanyalah dua orang asing yang kebetulan berada di kafe yang sama. Namun, kita saling mengetahui keberadaan masing-masing. Sebab, setiap Jumat pagi, kamu akan duduk di sudut kanan kafe di atas sofa beanbag bulat besar dengan laptop-mu dan aku dengan laptop putih kesayanganku duduk di meja di hadapan kamu dengan berjarak sekitar tiga meter. Spot yang nyaman untuk bisa memerhatikan kamu. Tentu saja kamu tidak tahu itu alasanku selalu duduk di sana: Demi melihatmu nyaman bersandar – bahkan sedikit merebahkan diri – di atas sofa beanbag yang terlihat nyaman dan lebih seperti kasur bulat yang empuk dan fleksibel.

Kamu pasti tidak tahu namaku. Kita tidak pernah berkenalan. Oh ya, aku sudah bilang, kan, bahwa kita tidak saling kenal. Namun, aku tahu nama kamu. Ray. Dari mana? Dari panggilan barista saat pesanan kamu selesai. Aku menerka-nerka. Rayhan? Raymon? Rayyan? Entah.

Tentu saja, aku tak pernah menyebut namamu jika kebetulan kita saling berbasa-basi. Kamu pun tak pernah menyebut namaku. Kuanggap saja, kamu tidak tahu namaku – walau ada sedikit harap kamu juga memerhatikan ketika barista memanggilku untuk memanggil pesanan namun kamu tidak ingin terlalu eksplisit mengenai perhatianmu kepadaku. Namun, aku tak ingin berharap banyak.

Harapan kadang mengacaukan semua. Aku tak mau kita kacau. Aku tetap ingin memilikimu dalam benakku.

Itulah mengapa aku tak pernah ke kafe ini selain hari Jumat. Apalagi Sabtu dan Minggu. It's a big no no. Bagaimana jika kamu datang dengan someone special-mu dan aku melihat kalian? Hatiku akan hancur seperti Lala. Maka, kuputuskan, aku akan menjaga sosokmu dengan baik di kepalaku.

You're gonna live forever in me. I guarantee.

***

Perempuan itu selalu di sana, di jam yang sama, pada hari yang sama dengan kedatanganku. Jumat. Sungguh ritual yang menyenangkan. Kepastian yang melegakan.

Setiap Jumat, kupesan roti long cheese dan latte, mengerjakan skripsiku, di kafe ini, ditemani musik indie dari Payung Teduh, Fortwenty, Efek Rumah Kaca, Float, Endah n Rhesa, White Shoes & the Couples Company, dan banyak lagi. Lagu selalu berganti-ganti namun ada yang selalu sama. Di kafe ini, setiap Jumat, selalu ada dia.

Aku tidak tahu namanya. Pernah aku berusaha menyimak saat barista memanggilnya untuk mengambil pesanan tapi selalu saja aku terlewat. Panggilan telepon, notifikasi chat, atau bahkan sekadar artikel jurnal yang tiba-tiba mengalihkan perhatianku. Sungguh konyol. Untuk menanyakan kepadanya, rasanya terlalu awkward karena kami sudah sering saling menyapa, berbasa-basi, bahkan ia pernah menceritakan project-nya kepadaku.

Ia perempuan keren dengan pekerjaan yang keren, copywriter. Aku hanya seorang mahasiswa tingkat akhir yang sudah hampir setahun berjuang menyelesaikan skripsi. Ia tidak tahu itu. Aku terlalu malu untuk berkata jujur kepadanya bahwa aku belum bekerja. Biarlah ia pikir aku sekeren dirinya. Toh kami hanya akan saling bertemu di sini. Di luar kafe ini, kami hanyalah dua orang asing dengan kehidupan masing-masing.

Satu kesamaan dan perbedaan kami adalah kami sama-sama selalu memesan roti donat yang panjang. Yang berbentuk persegi panjang itu, lho. Tahu, kan? Iya, namanya long john. Kabarnya, nama itu diberikan demi mengenang John Blondell, orang yang pertama kali mendapatkan hak paten untuk alat pemotong donat pada tahun 1872. Haha, iya, aku sengaja mencari keterangan tentang donat panjang itu di internet.

Aku ingin suatu hari nanti bisa mengobrol banyak dengan perempuan itu. Kurasa membuka percakapan dengan membahas tentang long john adalah cara yang paling natural, bukan?

***

Hampir tiga bulan kamu selalu duduk di sana namun kini, telah empat Jumat berlalu, sofa beanbag itu kosong. Atau kalaupun terisi, bukan kamu lagi pelakunya. Kafe ini terasa hampa semenjak ketidakhadiranmu.

Hanya sesal yang bisa kusimpan karena tidak mengajakmu berkenalan. Padahal, aku bisa saja memberitahukan namaku, lalu kita mulai bercerita tentang diri masing-masing sehingga aku bisa menyimpan nomormu dan menghubungimu sekarang untuk bertanya kamu ke mana saja. Namun, dengan dalih tak ingin mempermalukan diri sendiri, aku bergaya sok cool. Padahal tidak cool sama sekali rasanya jika saat masuk ke kafe ini aku harus menekan rasa rinduku terhadap sosokmu.

Kuputuskan untuk tidak datang lagi. Kafe ini telah menjadi tempat yang menyedihkan, bukan sebaliknya, seperti dulu saat kamu masih ada di sini.

***

Hidupku berjalan begitu cepat. Sidang dan lulus, wisuda, lalu langsung lanjut S2 sambil menjadi asisten dosen. Semua perubahan itu terjadi dalam satu bulan saja. Tak sia-sia setahun aku berjuang mempertahankan teoriku di hadapan pembimbing meskipun aku harus menyelesaikan kuliah selama empat tahun alih-alih tiga setengah tahun. Walau begitu, nilai A untuk skiripsi dan predikat cumlaude berhasil kuraih.

Setelah semua beres, satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah berkunjung ke kafe langgananku. Tentu pada hari Jumat. Untuk menikmati long john cheese­-ku dan untuk bertemu sekaligus berkenalan dengannya.

Tak boleh kulewatkan lagi. Aku sudah sama kerennya dengan perempuan itu. Jika ia membahas project-project­-nya, aku bisa bercerita juga tentang pekerjaanku. Bahkan sekarang – karena aku sudah punya penghasilan sendiri – aku bisa mentraktirnya – aku merasa tak nyaman jika menggunakan uang orang tuaku untuk kebutuhan tersier seperti mentraktir perempuan yang kusuka (well, memang belum pernah, sih, dia orang pertama yang ingin kutraktir).

Namun saat kulangkahkan kaki memasuki kafe tersebut pada suatu Jumat yang mendung, yang duduk di mejanya adalah seorang perempuan paruh baya. Aku terkesiap.

Jangan-jangan aku adalah time traveler yang terlempar ke masa depan, ke duapuluh tahun ke depan. Karena, sungguh, perempuan paruh baya itu agak mirip dengan si perempuan keren dan ia juga sedang sibuk dengan laptop putih di hadapannya. Atau tidak, tidak mirip. Mungkin hanya laptop putihnya yang mirip. Aku menertawakan diri sendiri. Sebegitu inginnya aku bertemu dengannya sehingga aku berhalusinasi tentang kemiripan mereka. Setelah kuperhatikan lagi, perempuan paruh baya itu sama sekali tidak mirip dengan si perempuan keren.

Ah! Serindu itukah aku kepadanya hingga aku berhalusinasi?

Dua Jumat, tiga Jumat, hingga empat Jumat berlalu, selalu kusempatkan datang ke kafe itu. Ia masih tak muncul. Ke mana dia?

*** 

Ingin tahu kelanjutan kisah ini? Baca selengkapnya di KaryaKarsa.com/nadiahalwi

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 19, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kisah Sepotong Long JohnWhere stories live. Discover now