XXX. Selir

1K 115 44
                                    

Putra Mahkota langsung pergi setelah sarapan. Aku hanya bisa diam, sedikit canggung setelah percakapan pranikah kemarin. Selir, poligami. Semua sensitif sekali bagiku. Tetapi aku tidak bisa egois, Putra Mahkota bukan pria biasa.

Ia calon raja. Raja biasanya akan mengambil selir untuk memperkuat kedudukannya.

Katering sudah, gaun sudah. Dekorasi juga sudah. Hari ini Ratu Manohara menyuruhku untuk memulai perawatan tubuh, setelah tadi pagi aku meminum jamu penguat kandungan yang diantarkan langsung dari Paviliun Utama.

"Yang Mulia, ini surat dari Putri Agung Alamanda." Hevina tiba-tiba datang, menyerahkan gulungan dengan pita merah. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghela napas panjang.

Surat darurat. Ini jelas sesuatu yang darurat.

Aku duduk di sofa, menyuruh para pelayan pergi. Membuka perlahan gulungan surat, bola mataku membola begitu membaca kalimat demi kalimat.

Endemi, wabah? Kelangkaan bahan makanan, kelangkaan obat-obatan secara tiba-tiba. Kemungkinan ada wabah dan sihir?

Aku menelan ludah kasar. Putri Alamanda jelas tidak mungkin berbohong.

Dadaku seperti dihantam batu bertalu-talu. Setelah kemarin masalah calon anakku, poligami, lalu ini?!

Wajahku memucat. Jujur saja, kepalaku mendadak terasa berat. Aku mengambil kertas, mengambil pena. Menarik napas dalam-dalam, aku menuliskan balasan surat Putri Alamanda.

Tinggal dua minggu lagi aku menikah, tetapi masalah justru datang bertubi-tubi.

**

"Tidak bersama Sienna, Rajendra?" Manohara menatap Rajendra penuh selidik. Anak sulungnya tiba-tiba menghadap sendirian, sungguh di luar dugaan. Rajendra mengulum bibirnya.

Bagaimana, lah. Tetapi karena perbincangan semalam dan perbincangannya dengan Karna, Rajendra memutuskan mengambil jarak dari Sienna.

Ia merasa canggung? Rajendra tidak tahu, lebih tepatnya ia tidak paham.

Tidak paham bagaimana cara mendeskripsikan perasaannya sendiri.

"Hormatku, Ibu." Rajendra mengalihkan pembicaraan. Manohara masih menatapnya penuh tanda tanya.

"Ada yang sangat penting, Yang Mulia?" Manohara membimbing Rajendra untuk duduk di kursi. Memastikan seluruh ruangan tertutup dan mengkode dayang untuk pergi, Manohara mengembuskan napas lega.

"Sienna, Bu." Rajendra mengadu. Bercerita tentang apa yang menjadi pusat pikirannya dari kemarin. Sesuatu yang terus-menerus mengganggu rasionalitasnya.

"Aku berpikir mengambil selir untuk melahirkan pewaris tahta." Rajendra mengungkapkan niatnya lugas. Pupil Manohara membola kaget, tubuhnya berjengit.

"Maksudmu?!" Intonasi Manohara meninggi kaget. Rajendra meringis, entah bagaimana ia akan menjelaskannya.

"Tetapi Kakek Karna melarangku," tutur Rajendra, melanjutkan ucapannya. Manohara mengembuskan napas lega. Tetapi wanita itu langsung menggeleng tegas.

"Pewaris tahta tetap harus lahir dari rahim Sienna, Putra Mahkota." Manohara menggeleng. Itu sudah harga mati.

"Tidak boleh ada pewaris tahta yang lahir dari rahim wanita selain Sienna," tegas Manohara. Rajendra menatap pupil Manohara dalam.

"Sienna akan terluka bila hal itu benar-benar terjadi, Bu." Rajendra bimbang.

Pria itu ragu. Benar-benar meragu. Tetapi gelengan tegas Manohara membuatnya menghela napas.

"Ibu percaya Sienna begitu diberkati, Yang Mulia. Dia calon ratu, pewaris tahta hanya akan lahir dari seorang ratu. Mengambil selir hanya akan menyakiti hatinya."

Naladhipa : The Crown Princess Where stories live. Discover now