14. Tak Main-Main

57.3K 5.1K 816
                                    

Makasih buat kalian yang udah nyempetin waktu buat vote sama komen di chapter sebelumnya.

Jangan lupa vote dan komen di chapter juga di chapter ini ya. Komen yang banyak, kalau bisa komen di setiap paragraf. Terima kasih.
_____________________________________________


Sontak kedua mata Naya langsung terbelalak sempurna kala mendengar penuturan yang keluar dari mulut Ali barusan. Gejolak ketidakterimaannya terhadap apa yang dikatakan Ali semakin membara di dalam dada.

"Nggak bisa gitu dong!!! Lo nggak bisa ngatur gue seenaknya, anjing!" teriak Naya. Ia menatap nyalang Ali. Wajah perempuan itu sudah merah padam, pun napasnya memburu tak beraturan. Emosi Naya benar-benar sudah tidak bisa dikontrol, bahkan ia tak segan melontarkan kata-kata kasar pada Ali.

"Apa? Aku nggak bisa ngatur kamu seenaknya?" tanya Ali, sengaja menekan setiap kata yang ia ucapkan. Tatapan matanya sangat berbeda, Naya sendiri merasa bingung apa penyebab perubahan sikap Ali yang begitu signifikan dalam seharian ini? Ia rasa kemarin Ali masih menjadi lelaki yang sabar, juga tak pernah marah.

"Kamu lupa siapa aku, hm? Lupa?" Ali menarik satu sudut bibirnya. "Biar aku ingatkan kembali. Aku adalah suamimu, Naya. Jadi sudah menjadi kewajibanku mengaturmu, apalagi ini ada sangkut-pautnya sama yang namanya ibadah. Aku nggak suka orang yang sengaja meninggalkan sholat demi menonton TV!"

"Cepat ambil air wudhu sekarang! Kita sholat berjama'ah!"

Naya masih bergeming, tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berada. Biarkan saja Ali marah, toh semua ancaman lelaki itu tidak akan mungkin menjadi nyata. Ya, Naya yakin sekali.

Tak lama kemudian, Naya duduk kembali di sofa ruang TV dan menyalakan TV-nya lagi tanpa memedulikan Ali, ia menganggap perkataan Ali hanya sebatas radio rusak yang tak perlu didengarkan.

Ali menahan napas. Sudah cukup kesabarannya, Naya tidak bisa seperti ini terus-menerus. Ia pun berjalan keluar rumah untuk mencari sesuatu di sana. Ketika sesuatu yang dicari ditemukan, ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa.

Prak!

Ali melempar batu besar yang berada digenggaman tangannya ke arah TV yang sedang menyala, tentu saja layar TV itu langsung pecah. Naya yang tadinya tengah fokus menonton TV terkejut setengah mati melihat aksi nekat suaminya.

Hanya karena ia tidak mau sholat, haruskah Ali menghancurkan TV miliknya sendiri? Ali memang sudah gila.

"Apa-apaan si lo, Ali?! Gara-gara lo TV itu jadi rusak!"

Kata demi kata yang keluar dari mulut Naya barusan tak diindahkan oleh Ali. "Cepat ambil air wudhu terus sholat maghrib bersamaku sekarang, Naya! Aku tunggu kamu di kamarku!" Setelah berkata demikian, Ali pun segera pergi dari hadapan Naya.

Jika sudah begini, Naya tidak bisa apa-apa, posisinya terhimpit. Kekuasaan rumah ini ada di tangan Ali, lalu semua uang, kartu kredit, dan lain-lain memang Ali yang memegangnya. Alhasil, daripada ia tidak bisa berfoya-foya, lebih baik ia menuruti saja permintaan dari lelaki yang tak lain adalah suaminya itu.

Tapi tunggu sebentar, apakah tadi Ali menyuruhnya berwudhu? Sudah lama sekali Naya tidak berwudhu. Jangankan hafal niat, doa sebelum dan sesudah berwudhu, step by step-nya pun Naya melupakannya.

"A–Ali, tunggu dulu!" cegah Naya yang berhasil membuat langkah kaki Ali terhenti di tangga terakhir.

"Ada apa lagi?" Ali bertanya seperti ini tanpa menolehkan pandangan ke arah sang lawan bicara.

"Gue ... gue nggak bisa wudhu, gerakan sholat juga lupa," ujar Naya akhirnya, ia memberanikan diri untuk berkata jujur di depan Ali.

Ali terdiam sejenak, di detik selanjutnya ia segera berbalik badan kemudian berjalan menuruni anak tangga untuk menghampiri sang istri.

Dear Mas Ali (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang