Chapter 5 : Keikhlasan Hati

37 3 0
                                    

Langkah demi langkah disusuri. Perasaan berkecamuk terus menerus mengerubungi hati. Antara lega, bahagia, sedih, hampa, dan... sakit.

Mengambil wudhu, lalu menunaikan ibadah dihadapan Allah dengan khusyuk. Gerakan demi gerakan, lafadz demi lafadz diucapkan, antara haru dan pilu.

"Kata orang, titik tertinggi mencintai seseorang itu adalah mengikhlaskan. Maka dari itu, tuntunlah hatiku ini untuk dilapangkan keikhlasannya ya Allah. Semoga keputusan ini adalah keputusan yang terbaik bagi kami, bagiku, bagi Nafisya, dan Samudra."

Dewa menjeda untaian doanya dengan helaan nafas pelan.

"Dan hamba mohon, sembuhkanlah penyakit adik hamba, ya Allah. Berilah ia kesempatan hidup untuk menjalankan ibadah-Mu, menjadi suami yang membimbing istrinya ke jalan-Mu, menyempurnakan separuh imannya bersama Nafisya, istrinya. Inshaa Allah hamba ikhlas ya Allah."

Doa itu, doa tulus yang diucapkan dari seorang Dewa.

Laki-laki yang rela mengorbankan perasaannya demi kebahagiaan orang tersayangnya.

Mengalah, itulah mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan seorang Dewa. Semua orang selalu bilang Nafisya miliknya, gadisnya. Tapi, bagi Dewa, itu semua tidak benar. Meskipun Dewa dan Nafisya tahu bahwa mereka saling mencintai, bukan saling memiliki.

Maka dengan berat dan keikhlasan hati, Dewa merelakan Nafisya bersama Samudra. Karena dari awal, Nafisya bukan milik siapapun, dia hanya gadis kecil milik Allah. Hanya Allah yang berhak memilikinya.

Pria dengan rambut pirang itu kemudian beranjak dari sujud lamanya. Mengusap kasar wajah tampan dengan pahatan garis rahang yang indah. Binar mata hijaunya terlihat sendu, sekaligus pilu.

Dewa tidak pernah selemah ini, tapi demi apapun, ternyata semua ini sangat menyakitkan.

***

Nafisya masih tertidur damai di ranjang milik Samudra. Entahlah, gadis itu sepertinya kelelahan, baik fisik maupun hatinya. Samudra juga memaklumi hal itu.

Saat ini Samudra sedang menunggu perawat untuk membawakannya makan dan cairan infus yang baru.

Tak lama, pintu di ketuk dari luar. Samudra beranjak lalu membukakan pintu. Dia mengira perawat yang datang, tapi ternyata pintu menampilkan sosok Dewa dengan menenteng plastik makanan. Samudra tebak itu pasti sarapan untuk Nafisya.

"Lho, Sam?" Dewa sedikit terkejut melihat Samudra.

"Masuk, kak ..."

Dewa memasuki ruangan sambil mengedarkan pandangan. Sekilas melirik ke arah Nafisya, lalu kembali menatap Samudra.

Menghiraukan Nafisya yang masih tertidur, Dewa menyodorkan makanan itu kepada Samudra.

Sang adik menerimanya.

"Suster belum datang, Sam?"

Samudra menggeleng. "Belum kak, sebentar lagi sepertinya."

Dewa mengangguk-angguk. "Syukurlah kalau kamu sudah mulai sehat Sam, kakak ikut senang."

Samudra melirik ke arah Nafisya yang masih setia terlelap disana. Dewa mengikuti arah pandang sang adik.

Dewa seakan mengerti, Samudra kembali menemukan semangat hidupnya demi Nafisya, istrinya.

Samudra kembali menatap Dewa. Tatapan yang penuh dengan rasa haru.

"Terima kasih, kak. Sejujurnya Sam sangat merasa bersalah karena sudah merebut Fisya dari kakak. Seperti yang sudah Sam bilang, kita semua tahu bahwa kalian itu saling mencintai, Nafisya itu milik Kak Dewa, bukan milik Sam. Gak adil rasanya menghadapi keputusan ini."

DESAMSYA [ON GOING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora