Chapter 4 : Ar-Rahman

125 7 2
                                    

Nafisya yang masih menggenggam tangan Samudra seketika panik. Suara melengkingnya menggema memanggil suster. Para anggota keluarga yang masih berada di sekitar ruangan Samudra terlihat ikut khawatir disana.

Tak lama kemudian dokter dan perawat datang memasuki ruangan, mereka mulai memeriksa kondisi Samudra. Tubuh Samudra yang masih bersandar kini dibaringkan.

Nafisya diminta untuk keluar dari ruangan. Dia mengangguk paham. Beranjak dari kursinya, langkahnya tertahan karena kuatnya genggaman Samudra ditangannya. Nafisya sedikit memaksa dirinya untuk melepaskan genggaman itu, tapi entah mengapa tenaga Samudra lebih kuat darinya padahal kondisi Samudra sangat lemah saat ini.

Genggaman kuat tangan Samudra seakan menandakan bahwa Nafisya tidak boleh meninggalkannya.

Dokter yang melihat itu akhirnya membiarkan Nafisya menemani Samudra. Nafisya kembali duduk pasrah disana. Bukan kenapa, dia hanya tidak tega karena harus melihat kondisi suaminya saat ini.

"Samudra hanya kelelahan, sehingga ia tidak sadarkan diri. Ini memang sering terjadi padanya, jadi tidak usah khawatir," kata Dokter membuat Nafisya bernafas lega.

Setelah Dokter pamit, keluarga mereka kembali memasuki ruangan untuk melihat kondisi Samudra.

Netra Dewa ketika memasuki ruangan langsung tertuju kepada kedua orang yang baru saja resmi menjadi pasangan suami istri itu. Wajah khawatir Nafisya yang melihat kondisi Samudra sambil menggenggam erat tangannya.

Dewa mendekati keduanya. Nafisya menoleh ke arah Dewa, tatapan dirinya dengan Dewa terpaut. Tatapan yang tidak bisa diartikan satu sama lain.

"Sam baik-baik aja, kamu gak usah khawatir."

Nafisya mengangguk. Pandangannya beralih lagi kembali menatap wajah teduh suaminya itu.

Setelah menenangkan dan meyakinkan Nafisya mengenai kondisi Samudra, keluarga keduanya kini kembali meninggalkan ruangan. Bagaimanapun Samudra dan Nafisya butuh waktu berdua.

Semua orang tua mereka pulang ke rumahnya masing-masing, terkecuali Dewa. Pria itu sengaja menunggui Samudra dan Nafisya di rumah sakit, dia kini sedang duduk termenung di ruang tunggu, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan yang terbaik.

Di sisi lain, Nafisya masih setia memandangi wajah teduh suaminya. Perasaannya tidak bisa diartikan, antara resah atas sesuatu yang telah dijalaninya, dan gelisah karena khawatir dengan kondisi Samudra.

Waktu sudah larut malam, Samudra sudah dua jam lamanya masih belum sadarkan diri.

"Aku yakin keputusan aku buat nikah sama kamu adalah keputusan yang terbaik, Sam..."

"Sejujurnya aku takut, sangat-sangat takut. Aku tahu, aku masih sayang sama Dewa. Aku takut aku semakin menyakiti kamu. Karena hingga saat ini hati aku masih tertuju untuk Dewa, Sam. Aku minta maaf..."

Nafisya menjeda kalimatnya dengan satu isakkan. Saat ini, dia mencurahkan segala isi hati yang mengganjalnya dengan bercerita kepada Samudra yang masih setia memejamkan matanya.

"...tapi aku janji, aku akan berusaha menjadi istri yang terbaik buat kamu. Aku janji, perlahan aku akan melupakan semuanya tentang aku dan Dewa. Kamu mau 'kan bantu aku, Sam?"

Nafisya tersenyum pilu sambil mengusap air matanya. Satu tangannya lagi masih setia digenggam oleh tangan kekar suaminya.

Sementara Samudra, terlihat satu tetes air mata mengalir di pelupuk matanya. Nafisya tidak menyadari, bahwa sebenarnya Samudra sudah sadar dan mendengar semua curahan hati istrinya itu.

"Jadi kamu harus sembuh ya, Sam. Biar bisa bantu aku..." lirih Nafisya sambil mengusap lembut tangan Samudra yang menggengam tangan mungilnya itu.

Nafisya merasakan pergerakan di genggaman tangan keduanya. Perlahan kedua kelopak mata dengan lensa hitam legam itu terbuka, kedua pandangan mereka langsung terpaut satu sama lain.

DESAMSYA [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang