Bab 5 Sajak Kecup, Bung

75.6K 4.5K 315
                                    


Payaaaaah! Aku baru sadar kalau di acara khithabah umum (pidato yang diikuti oleh seluruh santri) malam ini aku mendapat tugas membaca Al Qur'an. Seharusnya saat istirahat setelah maghrib tadi aku nggak nongkrong di tempat makan santri dan keasikan ngobrol dengan beberapa kenalan baruku. Sekarang gini akibatnya. Aku harus baca ayat apa, coba? Gimana kalau nanti pas aku tilawah, ada yang menghentikan aku dan bilang gini.

"Nawaila, berhenti! Kamu anak pesantren bukan? Saat ada huruf nun ditasjid itu dibaca ghunnah. Kembali lagi sana ke kelas Ula!"

Itu nggak keren. Dih, kok aku malah paranoid gini sih? Bukan apa-apa, aku di pesantren ini masih beberapa minggu, seharusnya pengurus pesantren mempertimbangkan aku yang perlu beradaptasi. Bukan asal tunjuk.

"Nawaila, di pesantren ini membiasakan, dipaksa-terpaksa-terbiasa-bisa-luar biasa. Sebuah lingkungan yang memaksa kamu untuk terbiasa dan akhirnya kamu bisa bahkan jadi luar biasa." Teh Hana memberiku nasihat.

Aku meragukan teori itu. Menurutku saat seseorang dipaksa yang didapat hanyalah terbiasa dipaksa, nggak bisa-bisa, mati aja. Anak-anak yang luar biasa itu selalu dilahirkan dengan bakat dan minat. Contoh sederhananya Ni'am. Aku sudah belajar keras, memaksa diriku belajar melebihi batas mampuku dalam hal menggambar, tapi yang kudapat hanya senyum sederhana Ni'am dan kakakku yang luar biasa sinting itu bilang bahwa gambaranku mirip hasil karya anak TK.

Hal kecil ini bikin aku ngerti, seharusnya, instansi pendidikan itu menghargai setiap bakat anak.

"Acara selanjutnya tilawah Al Qur'an yang akan disenandungkan oleh Ukhti Nawaila Maida Parawansa, kami persilakan."

Pembawa acara khitabah memanggil namaku. Ratusan es seperti disusupkan dalam spons tulang-tulangku. Di ruangan ini aku menggigil. Teh Hana-ketua tim khitabahku-sedikit melototiku. Mau tidak mau aku bangkit, semoga saja aku masih ingat nada tilawah Mama pas mengajariku.

Aku berkeinginan melakukan teleportasi sekarang, tapi emang udah ada alat teleportasi?

***

Saat aku memasuki rumah Kyai sepuh bersama 4 temanku, aku melihat Harris duduk di kursi teras. Dia sedang membaca buku sambil menahan tawa. Ini mencurigakan. Cowok menyebalkan itu tidak terlihat seperti biasa, bahkan sambil melirik pun aku bisa melihat dua titik kedutan di sudut bibir.

Kulihat cover buku Harris, judulnya tentang Kalkulus. Aku rasa nggak ada deh manusia di muka bumi ini baca buku berbau matematika dengan cengengesan macam kanguru ompong kayak Harris. Kalau begitu... apa yang sedang ditertawakannya?

Jangan-jangaaaan!

Ya Allah, nggak mungkin.

Aku mempercepat lariku, menabrak Kintan, Saila, Hani dan Feli yang ada di depanku. Pokoknya aku nggak mau lihat Harris. Aku nggak punya muka lagi di depan dia. Nggak punya mukaaaa.

"Assalamualaikum, Mas."

Aku dengar Kintan menyapa Harris. Dih, mesra syekalee panggilannya. Mas mau beli apa? Pasar ayam di mana? Mau beli tomat nih, Mas.

"Waalaikumsalam warahmatullah."

"Ceria banget, Gus." Feli sok akrab.

"Iya, aku tadi sempet denger suara yang bikin bahagia pas kalian khithabah." Balas Harris ramah. Nggak Harris, nggak Feli, semua tergolong orang suka tebar pesona. Makhluk pencitraan!

"Oh, begitu.... Adem liat Gus Harris senyum. Mari, Gus, assalamualaikum." Saila tidak kalah penjilat.

Aku segera masuk dalam kamar. Pura-pura nggak peduli dengan Harris yang sepertinya menertawaiku. Maksud dari 'denger suara yang bikin bahagia pas khithabah' itu sebenernya mengkiaskan suaraku saat tilawah tadi.

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang