29. Bertahun lamanya

11 6 0
                                    

8 tahun kemudian...

Perempuan dengan jas putih yang melekat di tubuhnya itu menatap ponsel yang bergetar di atas meja. Tangannya terangkat mengambil ponsel itu dan mengangkat panggilan dari seseorang.

"Halo?"

"Ra, besok reuni. Gue tebak lo pasti gak ada buka grup."

Awan tertawa kecil. "Oh ya? Emang sih, gue gak ada buka grup."

"Kebiasaan lo, sok sibuk banget sih dokte muda! Sekarang gue lagi nyebayangin muka lo yang excited buat ketemu sama dia. Iya kan?"

Awan terlihat berpikir. "Iya gak ya? Btw, Bu Apoteker Seanna gimana kabar hatinya? Sama-sama sibuk jadi gak tau gimana nasib lo sekarang." Tertawa kecil.

Seanna terdiam sesaat. "Aska. Masih dengan nama itu. Udah deh! Awas lo besok telat!"

Awan merotasikan bola matanya malas. "Iya-iya!"

Tutt...!

Panggilan dimatikan sepihak oleh Seanna. Awan mendelik. Perempuan itu duduk di kursi kebesarannya. Menyungging senyum tipis. Penantian panjangnya selama ini akan terbalaskan.

Selama bertahun-tahun mereka terpisah. Sibuk dengan urusan masing-masing. Sampai lupa menghubungi satu sama lain. Bagaimana kabar laki-laki itu sekarang?

Apa dia juga merasakan hal yang sama seperti Awan? Apa dia selalu memikirkan Awan sama seperti Awan yang selalu memikirkannya? Semua pertanyaan itu akan terjawab besok.

****

"Azura!"

Awan tersenyum begitu mendapati Mona yang melambai ke arahnya. Perempuan itu berjalan menuju tempat perkumpulan mereka.

"Makin cantik aja lo, Ra," celetuk Mentari menyeruput milkshake coklat di depannya. Perempuan yang telah berhasil menggapai cita-citanya menjadi polisi.

Awan tersenyum. "Makasih."

Meskipun mereka tak sedekat dulu, masih ada hubungan pertemanan. Biarlah yang lalu menjadi masa lalu. Jangan terjebak dalam kukungan yang hanya akan menghambat jalanmu menuju masa depan.

"Sea mana? Bu Apoteker itu kayaknya bakal telat," ujar Mona. Siapa yang tak menyangka jika ternyata perempuan lola itu berhasil menjadi dokter gigi.

Awan menatap teman-teman di depannya. Dulu, mereka berkumpul dengan seragam putih abu-abu. Sekarang, mereka berkumpul dengan jas dan seragam resmi yang melekat di tubuh masing-masing.

Seanna tiba-tiba menghampiri mereka. Perempuan itu duduk di samping Awan.

"Sok-sokan bilang gue telat, lo sendiri 'kan yang telat," sinis Awan.

Seanna menyengir. Awan menyipit penuh curiga begitu melihat wajah Seanna yang sembab.

"Lo habis nangis?"

Seanna nenggeleng cepat. "Gak! Baru bangun gue." Menggaruk pipinya tak gatal. Seanna bangkit. "Gue kamar mandi dulu."

Perempuan itu berjalan menuju toilet meninggalkan mereka. Tak sengaja ia berhenti begitu melihat sosok laki-laki yang ia kenal.

"Oza?"

Langit menoleh menatap Seanna. Wajahnya sedikit terkejut. "Sea, lo apa kabar?"

Seanna tersenyum. Sedikit terpesona dengan penampilan Langit yang sangat berubah. "Gue baik. Lo sendiri?"

Langit hanya mengangguk. Mendadak ekspresinya berubah menggoda. "Udah jadi apoteker nih, ye! Btw, your heart apa kabar?"

Seanna merasakan deja vu dengan pertanyaan Langit. "Masih sama. Temen lo bawa pergi kucinya sih, jadi susah dibuka." Tertawa dengan ucapannya sendiri.

"Emm, Azura?

Seanna menunjuk tempat duduk mereka. "Di sana. Dokter muda itu selalu kepikiran sama lo, Za."

Langit terkejut. "Dokter? Dia beneran jadi dokter mata?"

Seanna mengangguk. "Spesialis mata lebih tepatnya. Samperin gih! Gue ke toilet dulu!" Setelah mengatakan hal itu, Seanna pergi meninggalkan Langit seorang diri.

Langit menarik napas panjang dan menghembusnya perlahan. Laki-laki itu berjalan menghampiri Awan yang duduk sendirian.

"Ra," panggil Langit membuat Awan mendongak menatap laki-laki itu.

Awan terdiam. Jantungnya berdebar cepat. Laki-laki ini yang selalu memenuhi pikirannya. Bertahun-bertahun tanpa adanya komunikasi. Di sini mereka kembali di pertemukan.

Langit terdiam sesaat begitu melihat wajah perempuan yang sangat ia rindukan selama ini. "Apa kabar?"

Awan tersenyum. "Baik, Za. Kamu sendiri gimana?"

Langit mengangguk. "Udah jadi dokter spesialis aja!"

Awan tertawa kecil. "Iya Za."

Langit mengernyit begitu mendengar panggilan Awan untuknya. Padahal hanya mereka berdua di sini. "Kenapa gak panggil Langit kayak dulu lagi?"

"Suasananya udah gak sama lagi, Za."

Langit hanya tersenyum. Memperhatikan sekitar. "Yang lain ke mana?"

Awan mengedikkan bahu tak tahu. "Entah!" Dia tiba-tiba ditinggal sendiri di sini. Mereka semua pergi tanpa mengajaknya.

Drrtt...!

Langit merogoh ponselnya. Mengangkat panggilan dari Arkha. Laki-laki itu menjauh dari Awan.

"Lo kalo mau sekarang cepetan anjir!"

Kepala Langit menoleh mencari seseorang. "Lo di mana? Masa iya gue sendiri! Malu asu!"

"Gak gentle lo ah! Ini semuanya udah pada di posisi. Masa gue harus ke sana nemenin lo! Kan yang mau ngelamar elo, bukan gue!"

Langit berdecak. "Iya-iya!" Mematikan panggilannya sepihak. Menghampiri Awan yang diam melihat pergerakan laki-laki itu.

Langit berdeham. "Ra...."

"Ya, kenapa?"

Tiba-tiba semuanya datang dengan bouquet bunga di tangan mereka. Langit berlutut satu kaki. Mengambil sekotak cincin dari dalam saku.

"I-ini?" Awan menatap satu persatu temannya. Termasuk Seanna yang tersenyum lebar.

Langit menatap Awan dalam. "Will you marry me?"

****

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Smootchie, jangan lupa vote dan komen.
Follow akun wattpad, instagram dan tiktok Poo.
Link di bio.

Kalian boleh bikin konten cerita ini atau ss part favorit kalian dan upload ke media sosial dengan tagar #smootchiepooo and #langitfavorit

Jangan lupa tag akun Poo juga.
.

TBC🥀...

Langit Favorit Where stories live. Discover now