16

2.3K 256 14
                                    


"Saudara terdakwa, bisa saudara ceritakan kepada kami, apa yang membuat saudara berakhir menyerang korban?"

Keadaan hening, karena semua orang di dalam ruang pengadilan sama-sama menunggu Rio yang kini duduk di kursi terdakwa untuk menjawab pertanyaan hakim.

"Saya tidak menyerang korban, yang mulia."

Tentu saja jawaban itu langsung membuat riuh suasana sidang. Hakim sampai harus mengetuk palu dan menyuruh semua peserta untuk diam dan tetap tertib sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan lagi, "Kenapa saudara terdakwa bisa berpendapat begitu?"

"Dia ambil pisau dari tangan saya dan menggorok lehernya sendiri. Saya tidak menyakiti fisik korban sama sekali." Tentu saja itu jawaban paling mengada-ada yang membuat perserta sidang semakin berang.

Arga yang terduduk diam di kursi paling belakang, sedang tidak bisa berhenti memikirkan kalimat-kalimat yang ia dengar keluar dari mulut Rio. Si bangsat itu tidak mungkin baru saja berkata jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi kan?

Ia memasukan kedua tangannya ke saku celana dan beranjak berdiri, Bani yang berada di sebelahnya langsung bertanya, "mau ke mana Mas? Sidangnya kan belum selesai?"

"Balik ke Bandung, nemenin Tita."

Bani mengangguk, sebenarnya ada Bunda dan Kynara yang merawat Tita di sana. Tapi Bani pikir, pasti sangat berat bagi Arga untuk bisa berada di dalam ruangan yang sama dengan penyerang isterinya, sampai kakak iparnya itu bisa memilih untuk pergi dan tidak menyaksikan persidangan sampai selesai.

***

Ia sejak tadi terdiam dengan tatapan tajam ke arah perempuan yang masih terbaring menutup matanya. Arga sadar kalau di saat seperti ini, tidak ada lagi alasan Tita untuk berusaha bertahan. Bahkan dirinya sendiri tidak bisa menjadi alasan bagi perempuan itu untuk bangun.

Dan tujuan perempuan itu menikah dengannya kini sudah tercapai. Tita sudah berhasil menghancurkan hidup Arga dengan cara terbaik yang ia bisa, yaitu dengan terbaring tidak berdaya seperti sekarang.

"Mas, mending mandi dulu. Ara bawain baju Mas sekalian dari rumah Bunda tadi."

Arga mengangguk dan meraih paper bag yang adiknya ulurkan. "Bunda mana?"

"Bunda pulang, jagain anak-anak Mas."

Arga mengangguk, "kamu juga pulang aja. Biar Mas yang nemenin Tita, lagian sudah mau malem."

Meski Kynara enggan, tapi ia berakhir menurut pada perkataan kakak laki-lakinya itu. Kynara sempat memotong satu buah apel yang telah dikupas untuk Arga sebelum ia pergi.

Bau sabun dan sampo menguar tatkala Arga selesai mandi. Ia melangkah sambil menyeka rambutnya yang masih basah, dan menggigit sepotong apel yang disiapkan Kynara tadi. Sedetik kemudian Arga hampir memuntahkan isi mulutnya lantaran ia tersedak buah apel.

Bagaimana tidak? Rasanya ia terkejut bukan main saat matanya bertemu pandang dengan perempuan yang sedang duduk di atas ranjang rumah sakit.

"Kamu udah bangun?"

Sebelum Arga sempat menekan tombol untuk memanggil dokter, perempuan itu sudah lebih dulu berucap, "kamu siapa? Aku di mana?"

"Yang luka itu leher, bukan kepala kamu."

Tita berdecih, "susah ya punya suami dokter."

"Gak perlu jadi dokter cuma buat tau itu. Kamu beneran baru sadar?" Sebab Arga heran melihat pergerakan perempuan itu yang sudah terlihat luwes.

"Udah dari tadi sore, tapi aku pura-pura tidur. Lihat hape aku gak? Aku harus cek sosial media dan mastiin gak ada pemberitaan yang aneh-aneh tentang aku."

TitaniumWhere stories live. Discover now