10. Pararel yang terpaut

15.5K 2K 55
                                    

Entah di sudut semesta ataupun suara riuh dalam kepala, kita memang tak pernah selaras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah di sudut semesta ataupun suara riuh dalam kepala, kita memang tak pernah selaras.

Nara tidak tahu kenapa Mahesa datang dengan tergesa-gesa dan langsung membuat keributan. Padahal Aten tidak bersalah dan Mahesa justru melayangkan bogemannya pada perut cowok itu.

“Lo kenal cowok itu?” tanya Mahesa. Baru berani bertanya setelah menarik napas dalam dalam dengan raut lebih tenang.

“Minta maaf.” perintah Nara. “Atas semua kekacauan yang tadi lo lakuin.”

“Gue minta maaf. Gue emosi ngeliat tuh cowok disini. Salah siapa mukanya ngeselin.”

Nara memandang Mahesa dengan datar. Bisa bisanya dia mengejek fisik orang lain, “Gausah nyalahin orang lain. Lo yang tiba tiba dateng terus mukul Aten.” Nara membela Aten dan membuat kernyitan di kening Mahesa semakin dalam.

“Apa dia orangnya?” Mahesa menunjuk jaketnya sendiri. “Kemaren yang pinjemin lo ini sampai lo cuci sendiri pake tangan.” Mahesa melihat Nara mencuci jaket yang dikenakannya hari itu dengan tangan langsung bukan dengan mesin cuci. Rasa tak terima dan iri timbul di sudut hatinya, apa Aten memang seistimewa dalam hidup adiknya itu?

“Bukan.” jawab Nara lugas.

“Terus jaket siapa? Jangan bilang punya temen satu gengnya?”

“Punya Kai.” Nara pun kembali berbicara sebelum Mahesa kembali mengintrogasinya. “Gausah tanya siapa Kai. Lo ga perlu tau dia siapa.” Cewek itu membuang pandangan kearah jendela. “Karena gue juga gatau.”

Mahesa pun menutup mulutnya. Dia sadar telah memaksa Nara menguak segala sesuatu yang tidak pernah dia lakukan selama bertahun-tahun. Jelas Nara tidak suka, adiknya itu sudah pasti risih punya kakak yang tiba-tiba mau tahu tentang dirinya sedangkan selama ini selalu sendirian.

“Gue benci sama lo.” ucap Mahesa pelan.

Nara tak merespons perkataan lelaki itu. Baginya bersama Mahesa dalam satu ruangan membuatnya sesak. Biar saja dunia ini tak tahu kalau keduanya bersaudara, biar saja Nara sendirian tanpa Mahesa. Dia sudah terbiasa, begitu pikirnya. Namun nyatanya, dia tetap tidak bisa menampik bahwa kedatangan Mahesa membuatnya senang walaupun cowok itu selalu terlihat terpaksa.

“Gausah lo pertegas. Gue ga buta.”

Mahesa ingin mengungkap satu hal. Tetapi yang dilakukannya hanya bangkit dari duduknya dan pergi dari sana.

“Mahesa kesulitan menerima kamu. Nanti suatu saat dia pasti menerima kamu, beri dia sedikit waktu lagi ya?”

Nara bertanya tanya dalam hati, kapan? Apakah sampai tubuhnya mendingin baru Mahesa menerimanya? Apa Mahesa tidak bisa setidaknya berhenti membenci dan terus menerus membuat Nara tenggelam dalam kelu.

[] [] []

Sedangkan di suatu tempat, lebih tepatnya shelter Darvel—Belvan menghela napas kasar. Sudah kedua kalinya cowok itu mengabaikan getaran di ponselnya namun tidak ada tanda tanda akan berhenti.

“Angkat telepon lo. Siapa tau itu penting.” kata Arash, kemudian berdecak pelan setelah melihat layar ponsel Belvan yang berkedip. “Pantesan, yang nelpon ternyata si nenek sihir.”

Belvan bangkit dari sofa kemudian mengambil ponselnya. “Gue angkat telpon bentar, Eilo.”

Setelah mendapat persetujuan dari sang ketua yang tengah menjelaskan strategi Belvan pun menjauh — memasuki ruangan latihan dan menutup pintunya rapat rapat.

“ABANG! LAMA BANGET DEH ANGKAT TELPONNYA!”

Belvan menjauhkan ponselnya dari telinga karena mendengar teriakan melengking itu. Ia kemudian berdecak malas. “Apaan sih? Berisik!”

“Ish, abisnya Isil kesel telponnya ga dijawab terus. Abang kok belum pulang sih?”

“Jangan kebanyakan basa basi.” tandas Belvan tajam.

“Isil minta uang. Kemarin udah abis. Abang bisa kirimin kan?”

Belvan terkekeh sinis mendengar kata kata Prisil yang terkesan lembut dan sok manis. “Gue bukan bank berjalan lo. Minta sana sama bokap lo!” ketusnya.

“Kalo begitu Isil ga bakalan berhenti teror abang.”

“Cewek sialan!” maki Belvan. Prisil yang berada di seberang sana pun terkejut padahal bukan pertama kalinya dia mendengar Belvan memakinya dengan kasar. “Ini yang terakhir. Sekali lagi lo usik gue ... Mati lo Prisil.” Belvan berdesis penuh amarah kemudian mematikan telepon secara sepihak.

“Van, makanannya diabisin Rega!”

Belvan pun menuju ruang tamu setelah memasukkan ponselnya ke saku dan menyaksikan para sahabatnya sedang menunggunya datang bergabung termasuk Regaza dan Arash yang sudah sibuk mengincar makanan untuk dimakan lebih dulu.

“Lama, udah cepet duduk lo.” perintah Regaza tidak sabaran karena perutnya sudah keroncongan minta diisi.

Belvan pun mengikuti. Arash yang melihat pun mulai mengambil paha ayam, “Doa dulu.” ucap Aten kalem.

Jadilah Arash menunda tindakannya kemudian mereka pun berdoa sebelum makan.

“Aminn,”

“Muka lo kusut. Ada apa?” tanya Ceilo pada Belvan.

Belvan terdiam sejenak. “Dia minta uang ke gue lagi. Dia bakalan terus ngusik kalo ga dikasih.”

“Lo perlu bantuan?” tanya Ceilo dan Belvan menggeleng.

“Gausah. Gue udah tegasin ini yang terakhir.”

Ceilo mengangguk samar dan kembali memakan chicken katsu pesanannya dengan kalem.

“Benalu.” ujar Regaza tiba tiba. Ia mengumpati Prisil yang selalu menganggu kehidupan Belvan. Cewek yang katanya adik tiri sahabatnya itu terus menerus meminta uang dalam jumlah tidak sedikit dan melakukan tindakan freak jika tidak diberi uang.

“Gue masih inget dia teriak teriak kek orang kesurupan di jalanan karena ga di kasih duit.” Arash berdecak pelan. “Fix, urat malunya udah putus.”

Belvan menghembuskan napas kasar. Prisil itu memang benalu sama seperti Ibunya. Setelah membuat hubungan keluarga Belvan hancur, seolah belum puas laki-laki yang selama ini selalu menjadi kebanggaannya pun tega mengkhianati Ibunya demi wanita penggoda tersebut.

Belvan tidak akan pernah lupa bagaimana bentuk amarahnya ketika tahu Ibunya memilih pergi meninggalkannya sendirian dengan bunuh diri.

“Kalo lo perlu bantuan buat hancurin dia, bilang ke gue.” ujar Regaza.

Belvan menyeringai sembari meletakkan kaleng cola usai menenggaknya. “Dia udah hancur lebur tanpa bantuan lo, Reg.”

[] [] []

Hai, mau tanya, sejauh ini Privileges gimana menurut kalian? Sori kalo cerita ini up lebih lama dari yang lain.

Jangan lupa vote dan komen ya! Bubayy💘

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang