Part 35 - the end of our teen story

179K 4.5K 700
                                    

Egar tidak akan mengira kalau dia bisa sampai ke titik ini. Titik dimana dia seperti ditampar keras.

Tidak ada yang tahu bagimana perasaan dia saat Fianer mengakhiri hubungan mereka begitu saja. Egar selalu ingat setiap teriakannya saat menyuruh Fianer pergi. Dia tidak pernah lupa bentakannya dan juga kata-kata tajamnya hanya agar cewek ini menjauh dari hidupnya.

Tapi saat semua terjadi, saat cewek ini menuruti permintaannya, dia justru merasa kosong. Rasanya otaknya sudah blank menatap punggung itu menjauh dan menghilang. Dia ingin mengejar, tapi kata-kata Erfan menahannya.

Dia belum pantas melakukannya. Dia belum pantas mengejar Fianer sekarang ....

Bayangan saat Fianer tersenyum padanya membuat dadanya nyeri. Seolah keinginan itu membuatnya ingin mencoba lagi. Tapi mencobanya hanya akan membuat segalanya buruk. Dia sudah terlalu rusak untuk bisa berdiri di samping cewek itu. Dia tak mau Fianer menerima sampah seperti dirinya. Fianer pantas mendapatkan yang lebih baik. Dia harus mendapatkan yang terbaik.

Walaupun Egar tahu, sampai sekarangpun Fianer selalu menatapnya seolah dia sempurna. Serusak apapun dirinya. Tapi dia tidak bisa.

Egar ingin pantas ada di sisi cewek itu.

Mata Egar memejam. Dia menunduk dan menghela nafas. Tekadnya sudah kuat. Dia berdiri lalu berjalan ke kelasnya. Seolah tak terjadi apa-apa. Seolah-olah semua pukulan telak itu tak pernah ada.

Dari luar dia terlihat biasa. Tapi sebenarnya ... hatinya sudah sesak luar biasa. Dia akan mencatat hari ini sebagai hari bersejarah. Karena hari ini adalah titik balik kehidupan Egar yang baru.

Titik dimana Egar memutuskan untuk berubah.

-----

Rudolf mengernyit saat Egar masuk ke ruang kerjanya sesaat anak itu sampai di rumah.

Egar masuk dengan wajah serius. Rudolf menatapnya saja dan menunggunya bicara. "Ada apa?" tanyanya datar. Dia sudah berhenti akting sejak dia mengetahui penggrebekan Egar saat razia narkoba. Dia memutuskan bahwa aktingnya sudah tak berguna.

Egar menatap Ayahnya sungguh-sungguh. "Aku ingin rehabilitasi." katanya tenang.

Awalnya Rudolf hanya diam. Tapi saat sudah mencerna satu baris kalimat itu, mulut Rudolf terbuka. "Apa?"

Egar tak mengulang kata-katanya barusan. Dia hanya menatap Ayahnya dengan mata bersungguh-sunguh. Ya, Egar tidak bercanda tentang ini. Dia ingin rehabilitasi secepat mungkin. Dia ingin sembuh. Dia harus sembuh!

-------

FLU.

Fianer tidak heran dengan satu penyakit itu. Flu selalu datang dengan waktu yang tidak pernah tepat. Karena waktu datangnya selalu saat Fianer sedang berada dalam tekanan berat yag membuatnya frustasi. Tanpa flu pun keadaan anak itu sudah cukup mengenaskan. Dan flu membuat keadaannya makin tambah mengenaskan lagi.

Ibarat jatuh, tertimpa tangga pula.

Tapi tak masalah untuk sekarang. Fianer sudah dalam tahap pasrah. Dia terima saja saat cobaan bertubi-tubi datang membuat tubuhnya drop. Ya, dia diharuskan bedrest di rumah selama seminggu penuh.

Kali ini Fianer harus mengakui bahwa flu ini menyelamatkannya. Karena flu ini bisa membuatnya sembunyi dari semua orang yang sedang mengawasinya. Jujur saja, dia belum siap bertemu orang sekarang. Dia belum bisa menyetting wajahnya agar terlihat ceria, agar telihat baik-baik saja. Dia tidak punya tenaga untuk pura-pura.

Yang ada, jika dia memaksakan diri untuk bersikap baik-baik saja, orang-orang disekitarnya akan lebih khawatir lagi padanya. Dan dia tak mau seperti itu. Dia sudah memutuskan untuk bersikap baik-baik saja dan menganggap tak ada yang terjadi pada dirinya.

She (Fianer)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang