KEDAI 6. Proposal ke-101

3.1K 331 109
                                    


Cerita kali ini terinspirasi dari dorama Jepang 101 Proposal.

Cek di media, ya! 

***

"Titian... will you marry me?"

Kalimat permintaan Mario terngiang terus-menerus di telinganya.

Titian menyentuh kulit pipinya yang mengendur. Setiap kali dia teringat bagaimana pria tampan dan kaya itu menyentuh kulit wajahnya, dia tak mampu menahan diri untuk tidak menyentuh sendiri kedua belah pipinya. Apa yang dirasakan Mario saat menyentuh pipinya?

Mario berada di awal 40-an, empat tahun lebih muda darinya, baru saja bercerai akhir tahun lalu, dan masih harus mengurus beberapa berkas bersama mantan istri, yang membuat Titian enggan buru-buru mengiyakan permintaan tersebut.

Ternyata, waktu memang sanggup mengambil segala-gala, dan manusia tidak memiliki kuasa menghentikannya. Rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali dia menyentuh ranum dan kencang kedua belah pipinya, ramping dan mancung hidungnya, atau kantung mata yang tersembunyi entah di mana, serta kulit di seluruh tubuhnya yang pongah, menolak tunduk pada gravitasi.

Sam selalu menyentuh pipi itu setiap kali mereka berciuman. Tak pernah bosan dia memuja kecantikan mantan istrinya.

"Kita akan punya tujuh orang anak, empat orang anak laki-laki, dan tiga orang anak perempuan. Semuanya setampan aku dan secantik kamu. Mereka akan memenuhi meja makan dan meributkan apa yang akan mereka kerjakan di kelas prakarya Bu Lily."

"Apa guru prakarya mereka nanti masih tetap Bu Lily?"

"Ya. Dia pasti nggak akan ke mana-mana seperti kita. Tinggal di sini sampai tua."

Titian mendesah, kembali meresahkan kulit wajahnya. "Kamu bohong, Sam ...," rutuknya.

Bahkan Sam yang begitu penuh cinta meninggalkannya karena perbedaan prinsip. Sam yang merupakan cinta pertama Titian, membekaskan cinta seperti lilin basah yang ditimpa stempel. Mencetak tiap ukiran dengan sempurna, kemudian membiarkannya terabaikan sampai tujuh tahun lamanya.

Sampai Mario datang, di usianya yang ke-44, pada saat putri tunggalnya bersama Sam berusia belasan.

Ponsel Titian bergetar di samping tube krim pengencang kulit yang dibelinya seharga ratusan ribu rupiah.

Cahyo memanggil.

"Ya?" jawabnya malas.

***

"Pah, aku lagi di tempat Mamah!" Teri menggerutu, "aku kangen. Masa aku nggak boleh sih tidur tempat Mamah?"

"Takutnya Mamah kamu sibuk." Sam mencari-cari alasan. "Papah juga kangen sama kamu. Terus kamu mau di rumah Mamah sampai kapan?"

"Seminggu."

"Seminggu? Habis dong liburannya?"

Hufh! Bola mata Teri berputar, sebal mendengar Papahnya merajuk. Papahnya tukang monopoli. Sejak bercerai dari Mamahnya tujuh tahun lalu karena perbedaan keyakinan dan membuat hak asuh atasnya jatuh ke tangan Samuel Priyambodo, Papahnya, Teri harus main kucing-kucingan kalau ingin tinggal lebih lama dengan sang Mama.

"Pokoknya tiga hari aja udah cukup. Papah nggak mau ya kamu gangguin Mamah!" ancam Sam gemas, dia sudah rindu sekali pada putrinya semata wayang. Pada rambutnya yang keriting besar, mulutnya yang mengerucut setiap kali permintaannya tak terpenuhi, dan pada bau badannya yang kini sudah seperti wanita dewasa.

KEDAI [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang