3. Great Power Comes Great Responsibility

8K 286 20
                                    

Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca, memberikan vote, dan berkomentar di chap sebelumnya.  Terima kasih banyak kepada: des_blood, LaamourXexa, Cipluk, marlyarisma, NdaLinda, era_dE_ELf, Ichigo_miya, Kunyil, verwendmeisje, stevonewcc131, ndreavanice, tica_niq, Matadewa, anisha_rhea, dhenalyhale, dan MaharaniAnggi. x) Pic: Aiden

***

Aku bisa merasakan atmosfir ruangan berubah. Seluruh orang di ruangan ini terdiam dan tegang. Mereka menatap Drake dengan tatapan gelisah dan takut. Aku bisa melihat beberapa dari mereka melangkah mundur seakan-akan ingin keluar dari ruangan ini.

Ethan menatap Drake dengan tatapan was-was. “Tenang, Drake,” ucapnya, pelan. “Kamu membuat semua orang di sini merasa takut.”

Drake menggeram semakin keras, membuat beberapa orang di dekat kami langsung terbirit-birit menjauh, termasuk demon perempuan yang tadi mendekati Drake. Kalau saja situasinya berbeda, aku pasti akan menganggapnya lucu sekarang.

Tiba-tiba Drake mencengkram tangan kananku lalu menarikku menuju pintu keluar. Aku mendengar suara tarikan napas kaget dan merasakan tatapan orang-orang pada kami.

“Drake,” ucapku, mengingatkan tetapi Drake tidak memedulikanku. Dia terus menarikku keluar, membuat orang-orang di sekitar kami bergegas menepi untuk memberi jalan. Kedua tangannya mencengkram tanganku dengan erat tetapi tidak cukup erat sehingga sampai menyakitiku.

Kami masuk ke sebuah rumah. Drake membanting pintu di belakang kami. Aku yakin aku melihat serpihan kayu melayang di sekitar pintu itu.

Aku mengalihkan mataku pada sosok marah yang berjalan mondar-mandir dengan langkah marah di depanku. Aku tahu Drake menarikku masuk ke sini untuk mengintrogasiku. Aku menutup rahangku lalu menatapnya dengan tatapan keras. Aku tidak akan menjawab pertanyaan Drake jika dia masih marah seperti ini. Aku tidak ingin membayangkan apa yang akan dilakukannya pada Gavin dan akibatnya bagi Aiden jika aku menceritakan padanya siapa vampire yang sudah mengubahku. Tidak. Aku akan memberitahunya setelah dia tenang.

“Drake, aku tidak akan menjawab pertanyaanmu sampai kamu tenang,” kataku, menyatakan. Kerutan samar muncul di keningku.

Drake menggeram marah. Kedua matanya yang sudah hitam terlihat semakin gelap.

Aku menarik napasku dalam-dalam. Salah langkah, aku menyadari. Situasi tidak akan menjadi semakin baik jika kami berdua sama-sama bersikap keras.

“Drake,” ucapku. Kali ini dengan suara yang lebih lembut. “Tolong, tenang. Aku ingin berbicara denganmu saat kita tidak dikuasai oleh amarah.” Tidak ada gunanya dan hanya akan membuat situasi semakin buruk, menurutku.

Drake menggeram rendah, masih berjalan mondar-mandir di depanku seperti singa terluka.  

Aku berjalan ke arahnya, berniat untuk menenangkannya. Namun Drake mendongakkan wajahnya ke arahku.   

“Tetap di tempatmu, Amy,” desisnya, tajam.

Aku langsung membeku di tempatku, terkejut dengan reaksinya. Aku merasa terluka tetapi dengan cepat aku menutupi emosiku.

Sepertinya, meskipun hanya sekilas, Drake melihat emosi di kedua mataku. Dia lalu menutup matanya selama beberapa detik.

“Saat aku kembali, aku ingin kamu menceritakan semuanya padaku.” Dia menatapku dengan ekspresi keras. Dengan langkah marah, dia melesat masuk menuju kamar mandi.

Aku mendengar suara shower yang dinyalakan. Aku berdiri menatap pintu kamar mandi selama beberapa saat sebelum akhirnya duduk di tepi tempat tidur.

RedemptionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang