1. The Hottest

403K 14.6K 166
                                    


"If love was a storybook, we'd meet on the very first page

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"If love was a storybook, we'd meet on the very first page..."—Anonymous


Aku mengayuh sepeda biruku dengan kekuatan penuh. Tak kupedulikan teriakan-teriakan dari orang yang mungkin menganggapku gila. Lebih gila lagi jika aku harus dipecat dari pekerjaan yang sedang kugeluti ditoko roti. Parfumku yang semula masih sangat terasa dibadan, sekarang sudah menguar tergantikan oleh bau matahari dan keringat. Rambut yang semula kukucir kuda, sudah mulai berantakan. Ini juga salahku, kenapa harus bangun kesiangan?

Aku menghembuskan napas—sedikit—lega karena pengunjung masih sepi dan mungkin Ibu Rosa—pemilik toko roti Rosa Bakery—belum datang. Aku memakirkan sepedaku di parkiran. Sebelum masuk, aku merapikan baju dan rambutku, serta mengelap keringat yang sudah mengalir di sana-sini. Lalu berjalan cepat ke pintu belakang toko roti karena aku tahu, Lily sudah menunggu. Atau lebih tepatnya sih, bosku yang nggak menolerir karyawannya yang telat. Meski beliau wanita, tapi sangat displin dan lagi, beliau sangat galak. Tanpa pandang bulu, semua dilibat habis sama beliau. Semua. Tak terkecuali, aku juga pernah. Ah, bahkan sering.

Kesalahanku, kata Bu Rosa sih, karena aku kurang rapi dalam hal berpakaian. Ya, iyalah, aku berangkat pakai sepeda. Di jalan kebut-kebutan apalagi ibu kota itu nggak seperti di desa. Ibu kota ramai, harus lewat beberapa trotoar dan gang sempit. Itu pun kalau malas berdesakan. Kalau lewat di pinggir jalan raya, harus rela kalau keserempet kendaraan lain.

Begitu pintu dapur terbuka, aku mendapati Ibu Rosa tengah menatapku dari atas sampai bawah begitu seterusnya. Sampai aku, kalau penampilanku pasti membuatnya marah—lagi. Beliau memprioritaskan, bekerja di toko makanan—apapun itu makanannya—harus setia pada penampilan. Rapi adalah kunci utama pelanggan mau mampir. Tentunya nggak jorok, wangi, dan nggak buat pelanggan pada pergi. Kadang aku memutar mata saat ingat tegurannya. Jorok, nggak rapi, dan nggak wangi, itu kan juga hasil kebut-kebutanku di jalanan. Iya, memang salahku bangun kesiangan, tapi yah ... terserahlah.

Lamunanku terbuyar, begitu mendengar teriakan dari Ibu Rosa. Seperti biasa. "Diana! Kamu ini sudah berapa kali Ibu bilang. Kalau berangkat kerja harusnya rapi, bukan malah keringatan dan kumel begitu. Pelanggan jadi tidak napsu kalau lihat salah satu pegawai toko roti seperti ini!"

Sebenarnya, Ibu Rosa adalah tipe wanita yang keibuan. Kadang, dia menganggap karyawannya seperti anaknya sendiri. Nah, maka dari itu, beliau nggak pandang bulu terhadap semua anaknya. Bisa jadi, giliran jadi bahan pelampiasannya.

Dan, benar. Mungkin sudah beratus-ratus kali beliau mengatakannya. Tapi aku keras kepala dan nggak mengindahkan ucapannya. Aku meringis. "Maaf, Bu, besok saya akan lebih rapi lagi," ucapku merasa bersalah dan menunduk sambil memegang kedua tangan di depan. Persis seperti murid yang sedang dimarahi oleh gurunya.

Setelah ini, aku hapal ucapan Bu Rosa selanjutnya. "Kamu ini, harus rajin. Saya juga bilang ini supaya kamu lebih baik lagi. Kamu, kalian semua kan sudah saya anggap seperti anak sendiri."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Lovely Billionaire (Kembali Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang