MENJEMPUT DUKUN BERANAK

47 2 0
                                    

Pagi itu, 24 Oktober 2018, terburu-buru saya mengeluarkan motor melalui pintu pagar, mau menjemput dukun beranak.

Telah sejak tengah malam rahim istri berkontraksi. Mungkin si bayi sudah pegel ingin cepat keluar, ingin segera menyaksikan bapaknya yang tampan (tampilan kesurupan).

Ke rumah dukun beranak sangat dekat. Namun menjemputnya tak semudah menjemput galon. Setiba di tujuan, ternyata orangnya sedang pergi.

"Pergi ke mana ya Pak?" tanya saya.

"Ke rumah Mah Deka." jawab pekerja yang sedang ngecat rumah Mak Dukun.

"Rumah Mah Deka itu di mana ya?"

"Pugag."

"Pugagnya sebelah mana?" bawel saya lagi.

"Ada warung di sana, tanya aja."

"Warung?" tanya saya lagi.

Muak terus diteror pertanyaan bertubi-tubi, si tukang ngecat menukas, "Sudahlah, cari saja langsung ke sana, tanya-tanya sama orang, biar cepat."

Sebelum kuas di tangannya tersumpal ke mulut saya, buru-buru saya berkata, "Baik."

Motor yang sudah wafat kembali saya hidupkan, membawanya meraung-raung mendaki bukit, menuju Pugag, sebuah kampung di lereng pegunungan.

Baru juga masuk daerahnya, dua ekor anjing telah menyambut. Entah kenapa, saya takut banget ketemu anjing, padahal tidak sedang punya tunggakan utang sama dia.

Seorang nenek tampak sedang mengasuh anak kecil di pinggir jalan. Saya hentikan motor dan bertanya kepadanya, "Nek, sudah punya pacar belum?"

Eh.

"Rumah Mah Deka di mana ya Nek?"

Telunjuknya mengarah ke perumahan padat, "Sebelah sana, tuh ada rumah yang ada mobilnya."

Secepat kilatan petir pada film yang diputar slowmotion, motor kembali saya lajukan mengikuti petunjuk si nenek.

Kodisi jalannya minta ampun. Separah hati jomblo sakit gigi di tengah meriahnya pernikahan mantan: hancur berbatu-batu. Karena itu motor saya bawa dengan sangat perlahan.

Sesuai petunjuk si nenek, motor saya bunuh sampai mati di depan rumah yang ada mobilnya, kemudian bertanya kepada beberapa orang yang berada di sana, "Rumah Mah Deka di mana ya?"

"Tuh sebelah atas sana," tunjuk seorang ibu.

Ternyata sudah terlewat. Haduh, mana beloknya susah. Turunan jalan ini rusak berlobang-lobang. Licin pula, habis hujan. Sakituna keur rarusuh, aya-aya we gogoda teh.

Merasa kesulitan untuk berbalik arah, motor saya bawa terus menuruni jalan, kemudian belok memasuki gang berlapis tembok. Jalannya mudah dilalui. siapa tahu mengarah ke rumah Mah Deka.

Namun semakin jauh berjalan, lika-liku gang ini semakin rumit.

Karena bingung, motor saya hentikan, lalu menengok ke depan sebuah rumah, mencoba melihat melalui kacanya, siapa tahu ada seseorang buat bertanya.

Benar saja kelihatan ada orang, sedang berdiri melihat ke arah saya, tapi ternyata itu bayangan saya sendiri di kaca rumah.

Alih-alih menemukan orang, mata ini malah menangkap buntut anjing, yang langsung lenyap dimakan belokan gang. Pikiran langsung panik. Bagaimana kalau si anjing balik lagi membawa anak-anaknya, terus lari ke arah saya dan teriak, "Bapaaaaakkkkkk!"

Merasa takut anjing, secepatnya motor saya putar balik, kembali keluar gang, dan naik lagi mendaki jalan butut semula.

Tiba di persimpangan jalan menuju sebuah rumah, motor saya belokkan ke sana, dan saat melihat mobil di depan rumah itu, saya berharap semoga benar ini rumah Mah Deka.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam," seorang perempuan berkulit seputih rebung muncul dari dalam rumah. Mungkin inilah Mah Deka itu.

"Ada Mak Dukun?"

"Oh, baru saja pergi."

"Oh iya." jawab saya kalem, pura-pura tenang, padahal jengkel sudah menggunung dalam perut. Sebisa mungkin, diri ini harus tetap kalem, biar tetap kelihatan manis, semanis Hulk bertabur gula pasir dan parutan kelapa yang membuatnya tampak lezat dan menggiurkan seperti kue kelepon.

"Emh, tapi kayaknya dia terus ke rumah Mah Ikeu." ralat Mah Deka.

"Di mana ya rumahnya?"

Mah Deka menunjuk sebuah rumah bercat merah.

"Setelah rumah bercat merah itu ada rumah jelek, dan setelah rumah jelek itulah rumah Mah Ikeu." jelasnya.

Susah payah saya mengikuti petunjuknya dan ternyata tidak mudah. Usai melewati beberapa rumah dan bertanya kepada seorang bapak-bapak, barulah rumah Mah Ikeu ketemu.

"Assalamualaikum."

Seseorang membuka pintu dan muncul seorang perempuan setengah baya.

"Ada Mak Dukun?"

"Waduh, baru saja pulang. Diantar anak saya, pake motor."

Akhirnya Mak Dukun saya temukan di rumahnya sendiri, yang tidak jauh dari rumah saya.

Terus apa gunanya nyusul jauh-jauh, sampai harus tersesat, mondar-mandir, tanya sana-sini, ditambah takut anjing?

Dasar kudu rariweuh.

Pengen rasanya diri ini berubah jadi Hulk beneran, biar saya cabik-cabik itu si Hulk rasa kelepon sampai hancur.

(Kisah nyata campur fiksi)

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 31, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NIATNYA SIH NULIS KOMEDIWhere stories live. Discover now