#2: Peringatan Dua

4 0 0
                                    

5 hari berlalu, Hiruk pikuk pasar menjelma menjadi lautan manusia saat menuju siang ke sore. Cabe, bawang, tempe, rambutan, durian, nanas, bayam, sayur jepan, ikan gabus, alto, adalah sederetan bahan makanan yang sering diteriaki penjual di bisingnya pasar. Pasar besar Sidimpuan - Sagumpal Bonang pun belum lengkap tanpa adanya penjual mainan keliling sambil bersuara, "Sayang anak, Sayang anak! Ehe Ehe Ehe Ehe (suara terompet kecil tanganya). Atau peminta-minta yang berkunjung ke satu tempat ke tempat lain dengan speaker kecil yang mendendangkan lagu dangdut DJ remix Indo Akimilaku terbaru. Obral dimana-mana, Pertunjukan dan promosi obat mujarab atau magis juga masih dapat ditemui, bahkan perdebatan antara ibu-ibu dan penjual yang beradu argumen pasal perilaku ibu-ibu yang suka minta kurang harga barang.

Begitu sibuknya keramaian sampai-sampai Ariteng kesulitan mencari penjual alat traveling yang Edo ceritakan, sekalian ia ingin membeli tas traveler. Ia lelah bertanya ke sana ke mari, mulai dari penjual mie tek-tek, toko emas, toko baju, bahkan kios perlengkapan Playstation tua yang hampir punah pun tak tau dimana letak si penjual alat traveler. Badan pendeknya acap kali menabrak orang yang lewat karena tidak fokus berbaur dengan ribuan mata yang hilir berganti tanpa arah yang jelas di dalam pasar. Tanpa disengaja, di sudut tangga ia menyenggol salah seorang anak punk bertampang sangar, lengkap dengan tindik dan tato yang entah ia mengerti makna tato itu atau tidak, rambut berantakan dan celana jeans robek sudah jadi tradisi, juga ukulele kecil yang telah disetel menggunakan tuning khas. Tatapannya memaku Ariteng tepat di depannya, dengan nada merendahkan, "Anak mana kau?". Ariteng mencoba menjawab tenang sambil gemetaran,

"Alaah, oihh, ga sengaja, bang. Tadi mau cari toko yang jual alat traveling, tapi ga dapat-dapat",

"Oh itu di ujung paling kanan lantai dua, jarang orang situ beli. Udah selo aja lah kau, gosah takut", ujar si anak punk.

"Makasih ya, bang"

"Olo"

  Sesaat kemudian toko itu berhasil Ariteng temukan. Toko tua ini rupanya tersembunyi dibalik toko obral baju, sesak dari ramainya orang menyulitkan masuk menyelinap. Di sini, Ariteng bertemu pria tua bernama Wawan - penjual berbaju t-shirt berkerah dengan kacamata tua dan sepuntung rokok di tangan kirinya, tampak menanti pembeli.

"Pak, backpack khusus traveler yang waterproof ada?"

"Ada, itu yang digantung" (sambil menunjuk langit-langit toko)

"Oke pak, yang itu aja, agak susah mencari tas khusus seperti ini di kota yang tidak seberapa luas ini"

"Kamu ini traveler? Rencana mau kemana?"

"Kemana aja boleh, pak. Hehe. Tapi dalam waktu dekat sudah ada trip mau ke Afrika Selatan"

"Apa?! Kamu udah punya sarung? Bisa bahaya ini kalau ga bawa"

"Ha? Sarung lagi" (oceh Ariteng dalam hati)

"Asia tenggara punya aturan sendiri saat mau mengunjungi Afrika, apalagi negara sekitar kita seperti Malaysia dan Brunei"

"Ah iyalah, pak. Ini ya pak uangnya",

Ariteng secepatnya pergi meninggalkan Pak Wawan. Ia merasa seluruh kota sedang menerornya dengan kata 'sarung'. Memangnya apa yang bisa sarung refleksikan ke alam Afrika? Melindungi gigitan nyamuk? Dan kini, ia perlahan sadar bahwa Pak Wawan adalah salah satu dari tiga orang Sidimpuan yang selamat selepas berkunjung dari Afrika.

Pengembara dari Kampung MarancarWhere stories live. Discover now