#1: Peringatan Satu

16 0 0
                                    

   Mentari merenggut kegelapan malam, begitu cepat sehingga membangunkan para insan yang terjebak dalam ingar bingar dunia. Mereka pun bangun dan tersadar masih diberi kesempatan menghirup udara untuk kesekian kalinya dan mencoba bertahan hidup lagi dan lagi. Hidup memang punya semestanya sendiri, dimana ia membentuk keunikan di tiap jasad makhluk hidup. Para pencari dan petualang, para pelari dan pemikir, para perasa dan penolak, para penuntut dan pengembara.

  Hari baru saja menukar "kemarin" menjadi "sekarang". Di dalam pengapnya sebuah kamar yg disambut sinar mentari, Seorang pria bertubuh kekar dengan kaos singlet lusuh segera mematikan nada dering ponselnya. Rambut keritingnya menyentuh jambang serta jenggot tebal, kulit kemerahan, tinggi badan sekitar 165 cm, iris mata coklat, deretan rambut kecil tumbuh subur di sekujur tubuhnya - terutama bagian kaki dan dada, dan terdapat puluhan bekas luka yang seolah mampu bercerita tentang berbagai kisah di balik aroma petualangan menyegat bau badannya, sampai-sampai lalat pun tak sanggup singgah sebentar.

  Ariteng Tongli Hasibuan, nama pemuda bujangan itu. Ia bernaung pada sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran distrik Kampung Marancar, sebuah kawasan kecil di daerah Padangsidimpuan. Pagi ini Ariteng baru saja terbangun di rumah kecilnya yang jarang ia tinggali, mengingat pengembaraan sudah bagian dari jiwa raganya. Rumah bau ini hanyalah tempat peristirahatan sebentar baginya sebelum menyusun rencana baru menjelajah lebih liar ke luar sana. Hampir seluruh spot penting dan bersejarah di Indonesia sudah ia singgahi. Terakhir kali ia berkunjung ke sebuah desa di daerah Kayu Laut, Panyabungan yg disebut Roburan. Desa terpencil ini menyimpan atmosfir layaknya desa tahun 60an. Sumber daya alam yang asri, jauh dari kekuasaan penguasa di luar sana, anak-anak bermain riang seakan tak memperdulikan teknologi canggih bernama gadget, persaudaraan erat, simpati selalu dijaga, dan tentunya adat budaya yang masih kental. Ia berdamai dengan nafsu sendiri untuk bermalam dan berpesta bersama para penduduk selama satu bulan di sana, mencatat dan mendokumentasikan semua hal.

Kini, ia bangun dengan segenggam gagasan dan ide baru yang mungkin saja terbawa dari alam mimpi. Untuk menetralisir diri, Ariteng mampir ke warung kopi dekat jembatan Kamcar (Kampung Marancar) dimana sungai mengalir deras di bawahnya. Dia dengan tenang menyeruput sedikit demi sedikit kopi pahit kesukaannya, terpisah dari kumpulan orang tua yang asik membahas politik, apalagi masalah 01 dan 02 yang tak kunjung usai, juga tak lupa menggosipi tetangga mereka. Asap rokok mengepul di sana sini, asbak selalu di dekatnya, dan sekotak catur melengkapi hiburan mereka. Ariteng sama sekali tak tertarik dengan rutinitas membosankan itu semua, malah ia senang menyendiri dan memikirkan gagasan apa yang akan ia tuangkan ke jurnal barunya. Ia yakin semakin kita berusaha mencari seberapa luas dunia, semakin kita tertunduk menyadari betapa kecilnya kita di dunia ini.

"Woy, Hasibuan!", sapaan teman lama Ariteng yg sering dipanggil warga sini dengan panggilan Edo - Usianya selisih 5 tahun dengan Ariteng.

"Hallah, masih hidup aja kau", cibir Ariteng

"Kaunya kukira udah mati yang keliling dunia itu, pulang pun ke sini sekali dua bulan palingan kulihat. Darimana aja?"

"Udah kemana-mana. Kejadian pun banyak dimana-mana, yang belum pernah kulihat langsung"

"Seru lah ya, apalah dayaku? Cuma bisa ke lopo, kombur, minum kopi, betulin antena rumah kalau ada yang minta, ngamen di Tugu Salak bawain lagu Mungkin Sang Fajar dan Sayap-Sayap Burung Patah"

"Banyaklah bualmu, penting halal, asal jangan hilang daya pikat itu dah, eaaa. Tapi pernah nya kau jadi mantan pengembara, traveler"

"Ulumu, dulunya itu. Sekarang udah beda. Mau serius aku cari pasangan hidup", Edo terkekeh.

Tiba-tiba Ariteng bangkit dari kursi lapuknya, mengenakan kembali kaos lusuh bekas yang ia dapat dari kampanye Golkar 5 tahun yang lalu, kemudian menatap Edo dengan serius.

"Udah kuputuskan, seminggu lagi bakal mesan tiket aku buat berangkat ke Afrika Selatan, kek kau dulu. Suasana baru diluar negeri ditemani hewan-hewan endemik. Trip pointku ke Kuvukiland. Belum pernah kurasakan ke luar negeri", dengan mata penuh ekspektasi,

"Afrika? Ha? We udak, Afrika? Serius", sahut Edo keherahanan sembari menaikkan nada bicara,

"Iya, mau ikut kau?"

"G", balas Edo

"Takut kau terbakar matahari? diterkam Singa? ditendang Burung Unta? digangbang Haina?"

"Engga, Iteng. Gininya sekarang ceritanya, dari empat orang di Sidimpuan yang pernah ke Afrika cuma tiga yang berhasil pulang ke sini, akulah itu satu. Ada satu masalah bagi orang Asia Tenggara kalau mau kesana. Kuncinya biar selamat, beli sana sarung, terus secepatnya pake kalau dah sampe kesana. Lupa aku siapa aja orang yang selamat itu, yang jelas ada satu orang di lantai atas Sagumpal Bonang yang jual perlengkapan mendaki sama traveling", tanya dia.

"Apanya kau dokkon?", ujar Ariteng sambil kebingungan dan terdiam.

"Terserah kalau ga mau. Udah kuingatkan pokoknya."

Suasana seketika hening.

Pengembara dari Kampung MarancarWhere stories live. Discover now