Snow White and The Mafia - Bo...

kkezzgw tarafından

342K 30.9K 8.1K

[FOLLOW SEBELUM BACA✨] ❝The fairest of them all belongs to him ❞ Peristiwa duka menghantam keluarga Alba dan... Daha Fazla

P R O L O G U E
I N T R O D U C T I O N
Chapter 1: The Snow White
Chapter 2: Apple of My Eye
NOVEL INI HARI INI KEMBALI! :D
Chapter 3: First Talk
Chapter 4: The Job
Chapter 5: Raphael Virrecchio
Chapter 6: First Day
Chapter 7: Welcome
Chapter 9: Avenge
Chapter 10: Best Version
Chapter 11: The Business
Chapter 12: Dove in the Night
Chapter 13: La Volve
Chapter 14: Phoenix
Chapter 15: Birds of a Feather Flock Together
Chapter 16: Woman's Rebel
Chapter 17: Monster
Chapter 18: Two Thousand Miles Apart
Chapter 19: Forgive Me
Chapter 20: Treat You Better
Chapter 21: The Answer
Chapter 22: A Good Start
Chapter 23: The Dinner
Chapter 24: The Wait
Chapter 25: The Sleepover
Chapter 26: The Training

Chapter 8: Pandora

10K 1K 190
kkezzgw tarafından

Mari kita buka chapter setelah comeback ini dengan sebuah fun fact:

Tau gak kalian kalau...

Tadinya Eira mau kujodohin sama Eric loh, si pak dokter jenius yg pendiam, cool, dan super berwibawa HAHA plotnya udah kesusun dari prolog-epilog.

*abaikan tulisan super jelek dan berantakanku wkwkwk*

Terus tiba-tiba pas mau ngetik Chapter 1 kerasa ngeganjel, ada sesuatu yang gak beres.

Kiara tiba-tiba bisikin aku kalo Eira sama Eric terlalu bland, gak ada sensasi karena karakter mereka berdua cenderung lebih diam dan kalem. Keduanya butuh api dalam hidup mereka.

Akhirnya setelah pikirin baik-baik, aku ganti jadi sama Raphael, dengan pertimbangan Eira butuh orang yang berkuasa dan berani melakukan apapun untuk melindungi dia dari Bianca dan biar gak polos-polos banget si Eira-nya. Dan ternyata, plotnya jauh lebih menarik dan menantang. Siapa lagi yang paling cocok untuk melindungi Eira selain Raphael? :D

Menarik 'kan?

Sekarang, kebayang gak sih kalo Eira sama Erik? HAHAHAHAHAHA

Ayo coba, kira-kira cerita pak dokter Eric bagusnya diadaptasi dari Disney Princess yg mana? :D

.

.

.

"You do have a story inside you; it lies articulate and waiting to be written — behind your silence and your suffering."

― Anne Rice

----------❅❅❅----------

AUTHOR POV

"Bedebah sialan!"

PLAK!

Hugo hanya pasrah saat Bianca menamparnya keras. Mata hijau wanita itu kini memerah menahan kobaran kemarahannya. Kotak kayu yang ada di meja kerja Bianca berganti mendarat di wajah salah satu anak buahnya.

"Kalian tidak ada yang berguna! Untuk apa aku mempekerjakan manusia bodoh seperti kalian semua jika menemukannya saja tidak bisa!" murka Bianca lalu melempar sepatu kanannya ke orang lainnya.

Mereka semua menunduk tidak tahu harus berbuat apa untuk meredakan emosi Bianca yang sudah berlangsung selama hampir seminggu ini.

"Kalian bahkan tidak bisa menangkap jalang kecil itu? Dia bahkan tidak bisa apapun dan bisa lolos dari tangan kalian?! APA KALIAN TAHU BETAPA BESAR KERUGIANKU KARENA KALIAN!? Apa gunanya selama ini tubuh besar kalian!?"

"Mrs. Alba, dia ditolong oleh seorang wanita yang ahli bela diri dan—"

Sepatu kiri Bianca langsung mendarat tepat mengenai kening pria itu. Pria itu menelan salivanya saat Bianca berjalan mendekat dengan pisau di tangannya. Sensasi dingin mematikan menyentuh leher pria itu. "Kalau begitu aku akan membunuhmu dan anak buahmu yang bahkan tidak bisa mengalahkan seorang wanita dalam bela diri. Kalian sama seperti sampah, tidak berguna."

"Maafkan saya, Mrs. Alba." Pria itu baru bisa menghembuskan nafas lega saat ujung pisau dijauhkan darinya.

Bianca memijat kepalanya yang siap terbelah dua. "Gadis sialan itu! Aku harusnya membunuhnya saat ada kesempatan!"

"Kami akan mencarinya lagi," ujar Hugo berusaha menenangkan kakak perempuannya.

Bianca mengerlingkan matanya dingin. "Seperti seharusnya. Tapi apa hasilnya? Sudah hampir dua minggu berlalu dan kepala bodoh kalian masih menampakan diri di hadapanku tanpa membawa Eira!"

"Dia menghilang begitu saja, Mrs. Alba. Saya yakin dia bersembunyi di suatu tempat."

Tawa sinis Bianca menggelegar memenuhi seluruh ruangan. "Apa kau pikir dia jin bisa menghilang tanpa asap? Lagi pula dia tidak punya apa-apa selain rumah ini, semua koneksinya kuputus saat dia berusia tujuh tahun. Lalu siapa yang akan menyembunyikannya? Penyihir? Pesulap? Atau mungkin mafia?"

Hugo berjalan maju menghampiri kakaknya, ekspresinya mengeras. "Aku akan membawa Eira untukmu, Kak. Aku berjanji."

Bianca mencengkram dagu adiknya keras, sengaja ia menekan kuku tajamnya hingga tetesan darah mulai keluar dari dagu Hugo. Semua yang disana memandang itu ketakutan. Bianca tersenyum puas melihat itu, "Aku tidak butuh janji, Brother. Aku butuh bukti...DAN AKU BUTUH EIRA! SEGERA!"

"Dan kau akan mendapatkannya," janji Hugo tegas, "Apapun yang terjadi, aku akan membawa gadis itu ke hadapanmu, cepat atau lambat. Bahkan jika nyawaku menjadi bayarannya, aku akan memenuhi janjiku padamu."

Kedua mata hijau itu saling menusuk menuntut perjanjian. Bianca akhirnya menyeringai tipis, "Baiklah, aku memegang janjimu, Brother. Bawa dia hidup-hidup dan aku sendiri yang akan memotong lehernya,"

Pisau di tangannya di lempar begitu saja dan kini menempel tak berdaya di daun pintu. Semua yang ada di ruangan menahan nafas kecuali Hugo—yang sudah terbiasa dengan itu. Kaki jenjangnya berjalan ke balik meja dan duduk di sana. "Pergilah dan cari jalang itu...sebelum aku benar-benar membunuh kalian disini."

Ketiga pria lainnya langsung berhambur keluar ruangan, sementara Hugo masih berdiam di sana. "Apa aku perlu mencarikanmu binatang baru?"

Bianca menggeleng lalu tersenyum manis. "Aku sedang tidak ingin membunuh apa pun hari ini. Aku lapar, bawakan aku makanan."

----------❅❅❅----------

AUTHOR's POV

Bau anyir memenuhi seluruh ruangan dengan penerangan minim itu. Tubuh-tubuh berselimut darah tergeletak tak berdaya dengan darah membanjiri tubuhnya. Suara teriakan penuh penderitaan menjadi nyanyian bagi Raphael karena berhasil menyiksa lawannya.

"Jangan berteriak seperti pelacur sialan setelah membunuh anak buahku," tandas Raphael keji, sementara jari yang sudah dipasang pisau kecil terus menggores setiap permukaan kulit lawannya yang bisa dijangkau.

"P-please..."

"Katakan dimana Morozov dan apa rencananya?"

Pria itu menggeleng, "Ka-kami tidak tahu...kami tidak tahu...AHHHH!" teriakan itu kembali terdengar memekikan telinga saat Dom kembali menghajar mereka dengan kayu balok.

Raphael tertawa sinis. "Kalau begitu selamat menikmati ini semua sampai kau buka mulut," ujarnya kemudian menoleh ke arah Dom, "Jangan biarkan dia mati," kemudian beranjak pergi. Banyak pekerjaan tertunda hanya karena bajingan-bajingan ini.

"Tidak! Kumohon! Aku tidak tahu apa-apa!"

Teriakan putus asa itu tidak lagi digubrisnya, sementara Raphael keluar ruangan. Anak buah yang berjaga di depan pintu menunduk mengiringi langkah kakinya meninggalkan basement. Darah bajingan itu mengotori seluruh tubuhnya, kemudian Raphael memutuskan mandi untuk menyegarkan diri sebelum beranjak menuju ruang kerjanya.

Bagaimana pun, ia adalah pemimpin dari Ford Hotel sekaligus Don mafia Italia. Meskipun awalnya sangat sulit, namun sampai di titik ini ia sudah terbiasa.

"Apa kau sudah memeriksa semuanya?"                                                                                      

Stefano menggeleng lalu melempar kertas itu ke meja Raphael. "Sudah lebih dari satu minggu aku mencari berbagai Eira di dunia ini, tapi tidak ada yang berwajah seperti gadis itu."

Raphael membuka kertas-kertas itu, dahinya mengernyit melihat seluruh data Eira kosong. "Kau bisa lihat disana. Tempat tanggal lahir, orang tua, riwayat pendidikan. Semua tidak ada. Seolah dia tidak nyata."

Reflek, Raphael memejamkan matanya menahan pening, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Apa pun ini, sepertinya Eira benar-benar menyembunyikan sesuatu.

"Apa yang harus kita lakukan? Membunuhnya?" tanya Stefano.

"Tidak, hal ini semakin membuatku ingin tahu lebih tentangnya. Mari kita dengar langsung pembelaannya." ujar Raphael lalu menghubungi bagian dapur melalui telepon di mejanya.

Karena sekarang jam makan siang, pasti gadis itu ada di sana. Dan benar saja, Eira berdiri di antara para Dove lainnya di sisi meja makan yang dipenuhi anak buah Raphael. Kemudian telepon berdering dan Dove terdekat mengangkatnya karena tahu itu tanda Raphael ingin diantarkan makanan. "Eira! Boss memintamu mengantarkan makan siangnya."

Jantung Eira seketika berdegup kencang. Ia tidak pernah bertemu langsung dengan Raphael sejak kejadian itu, dan itu terjadi seminggu yang lalu. Pria itu sangat sibuk dan dia banyak menghabiskan waktu di dapur, jadi tidak heran jika mereka jarang saling bertatap muka. Mengumpulkan segala kekuatannya, Eira mengambil nampan yang disiapkan Dove lainnya dan mulai berjalan ke arah lift.

Ini pertama kalinya ia menginjak lantai lima, lantai pribadi Raphael yang tidak boleh sembarang orang datang. Saat kakinya tepat berada di depan pintu ruang kerja, ia melihat tangannya bergetar gugup sebelum mengetuk pintu. Dari dalam, terdengar suara berat khas Raphael yang menyuruhnya masuk.

Di dalam ruangan, sudah ada Raphael dan Stefano menunggu kedatangannya. Eira berusaha keras agar tray di tangannya tidak bergetar saat ia meletakan makan siang Raphael. Sementara itu, tatapan dingin  Raphael terus mengikuti pergerakan Eira hingga gadis itu meletakannya di meja. "Selamat menikmati makan siangmu, sir." ujar Eira dan bersiap berbalik keluar.

"Tunggu, Eira."

Tubuh Eira langsung menegang, kemudian secepat kilat berbalik badan. "Ya, sir?"

"Apa namamu benar Eira?"

Eira meremas kedua tangan di sisi tubuhnya, tubuhnya terasa dibanjiri keringat dingin mendengar pertanyaan Raphael. "Be-benar, aku Eira."

Kilat mata Raphael berubah mendengar jawaban Eira dan melempar kertas-kertas itu. "Lalu mengapa kau tidak dapat ditemukan dimana pun? Apa kau benar-benar berpikir kita tidak akan mencari tahu tentangmu?"

"A-aku.." Eira memejamkan matanya berusaha mengatur nafasnya yang memburu gugup, "Keluargaku miskin...aku tidak pernah sekolah, tidak punya rumah, dan selama ini hanya bekerja serabutan selama ini. Ja-jadi mungkin itu alasan kau tidak bisa menemukan data tentangku. Mu-mungkin orang tuaku selama ini tidak punya cukup uang untuk mendaftarkan namaku ke pemerintah."

Raphael tertawa mendengar betapa tidak masuk akalnya perkataan gadis ini. "Orang-orang sepertimu pasti akan memilih membeli smartphone dibanding mendaftarkan kependudukanmu, sangat masuk akal, Nona." ujar Raphael penuh sarkasme.

Kening Eira langsung mengerut tak mengerti. "Smartphone? Apa itu?"

Keheningan canggung langsung memenuhi seluruh ruangan ketika seorang Raphael Virrecchio ternganga lebar mendengar pertanyaan bodoh Eira, Stefano—yang dikenal tanpa ekspresi—bahkan ikut tercengang mendengarnya.

Stefano langsung mengeluarkan ponsel dan mengayunkannya di depan muka Eira. "Ini smartphone atau ponsel. Tidak mungkin kau tidak tahu itu!"

Eira mengamati benda kotak itu dengan teliti, sementara Raphael dan Stefano terus mengawasinya. Apa gadis ini benar-benar hidup di hutan atau apa?

"Ah, jadi sekarang ponsel namanya smartphone. Tapi dulu seingatku bentuknya jauh lebih tebal dan ada tombol-tombol angka. Kenapa sekarang hanya kaca saja?"

Raphael dan Stefano saling melirik berusaha membaca situasi aneh ini. Jika gadis ini sedang  berakting, dia layak mendapat piala Oscar karena tingkahnya sungguh meyakinkan bahwa dia benar-benar tidak tahu apa itu smartphone.

"Itu artinya kau tidak punya smartphone?" tanya Stefano memastikan dan Eira mengangguk polos, masih tampak terkesima dengan benda di hadapannya.

"Apa kau mengerjai kami? Jangan bermain-main denganku!" kata Raphael dingin.

Eira menggeleng ketakutan. "A-aku tidak mungkin melakukannya. Aku benar-benar tidak tahu apalagi memilikinya, sir."

Stefano akan bergerak memarahi Eira namun Raphael menahannya. "Kau boleh pergi. Aku akan pikirkan langkah apa yang terbaik untuk mengurusmu, Eira."

Tanpa berpikir panjang, Eira membungkuk dalam sebelum berlari kecil menuju pintu dan menghilang dibaliknya. Setelah pintu tertutup, Stefano menatap Raphael heran.

"Boss, dia—"

"Aneh. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Awasi dia dan laporkan segala sesuatu tentangnya padaku, kita tidak tahu dia berakting atau bukan." perintah Raphael dan Stefano mengangguk mengerti.

Raphael termenung. Eira bagaikan kotak Pandora yang penuh misteri dan tantangan.

----------❅❅❅----------

EIRA's POV

"Jadi ponsel dibilang smartphone karena ada internet? Di internet kita bisa melakukan apa saja?" tanyaku shock.

"Kurang lebih begitu," Gisele kemudian memperlihatkanku benda kotak pink dengan layar sentuh, menampakan berbagai jenis aplikasi yang sama sekali tak kuketahui. "Jika kau ingin mencari sesuatu, kau bisa mencari di Google."

"Goo..gle?"

Gisele mengangguk, "Ya, disana kau bisa mendapatkan informasi tentang apa saja. Bisa dibilang mesin pencari ini adalah hidup bagi semua orang. Ini rahasia umum; aku sering mencontek dari Google untuk mengerjakan tugas sekolah,"

"Apa kita juga bisa mencari...nama kita?"

"Bisa, walaupun jika kau hanya orang awam yang muncul hanya akun social media-mu."

Aku mengerjap tidak berkata apa pun karena masih berusaha mencerna semua informasi baru ini. "Ah ya dari semalam aku ingin bertanya padamu. Menurutmu foto mana yang harus aku upload? Yang ini...atau yang ini?"

Kuperhatikan kedua foto Gisele di sebuah destinasi wisata, ia tampak cantik dengan summer dress bewarna biru terang, rambut hitamnya tampak kontras dengan pemandangan di sekitarnya. Tapi keduanya sama persis tidak ada bedanya, karena itu aku menatapnya ragu, "Apa ada yang berbeda dari keduanya?"

"Hanya berbeda filter, foto pertama yellowish dan yang lainnya blueish, menyesuaikan suasana di sekitarnya. Aku selalu bingung setiap memilih mana foto terbaik yang harus ku-upload ke Instagram."

Kembali aku mengerjap tak mengerti dengan segala yang keluar dari mulut Gisele. Aku mengigit bibirku ragu. "Sejujurnya aku tidak tahu apa pun yang kau katakan barusan, Gisele. Filter? Instagram? Apa itu semacam album foto?"

Sekarang Gisele memandangiku seolah kepalaku tumbuh menjadi tiga, kemudian ia meletakan ponselnya di tempat tidur dan melipat tangannya di dada. "Setelah  beberapa hari aku bersamamu, aku merasa sedang bicara dengan orang yang tertimbun di tanah selama bertahun-tahun sehingga tertinggal zaman. Eira, sebenarnya ada apa? Kenapa...kenapa kau tidak tahu apa pun?"

Aku tertawa gugup, tidak berani memberitahunya barang informasi sekecil apapun atau nyawaku bisa terancam. Aku tidak mungkin memberitahunya bahwa au menghabiskan hidupku selama 16 tahun hanya menatap tembok dan jendela dari kamarku. "Keluargaku sangat miskin. A-aku tidak punya ponsel, tidak bisa mengakses internet, dan hanya bekerja serabutan. Ka-karena itu maaf jika aku tidak tahu semua ini..."

Gisele memelukku, "Maafkan aku, seharusnya aku tidak menyinggung itu padamu. Tenang saja, kita bisa membeli ponsel untukmu saat kau mendapat gaji pertamamu."

Ah, benar juga. Sekarang aku sudah bekerja dan akan mendapat gaji hasil kerja kerasku. Hal itu membuatku langsung bersemangat. "Benar, aku sudah tidak sabar untuk membeli ponsel dengan gaji pertamaku. Pasti akan sangat menyenangkan."

"Tapi itu masih lama. Atau....aku bisa menghadiahkannya untukmu. Hanya perlu waktu semalam untukku mendapatkan uang seharga iPhone."

'Tapi ulang tahunku dan Natal masih lama.."

Kali ini Gisele yang kebingungan. "Ulang tahun? Aku tidak membahas ulang tahunmu  dan Natal. Apa maksudmu?"

"Kau bilang hadiah 'kan? Bukan 'kah orang biasanya memberi kita hadiah saat kita ulang tahun atau Natal?"

"Astaga, Eira.." Gisele menggelengkan kepala namun senyuman geli terbit di wajahnya. "You're too innocent for your own good. Dunia ini terlalu keras untukmu, jadi kau harus menguatkan diri dan belajar banyak hal, okay?"

Sepertinya aku memang harus belajar banyak hal yang selama ini aku tidak ketahui.

Namun tiba-tiba aku teringat tentang Google lalu melirik komputer yang ada di meja ruanganku. Sesuatu melintas dipikiranku dan aku pun tanpa bisa menahan diri bertanya, "Apa Google juga ada di komputer itu?"

"Iya, Google ada di semua device yang tersambung jaringan Wi-Fi. Kau mau mencobanya dari komputermu?" Aku pun mengangguk dan Gisele langsung menyalakan komputer itu untuk pertama kalinya sejak kedatangannya. 

Wow, terakhir aku ingat tampilan komputer tidak seperti ini, semua menjadi berubah lebih minimalis. Aku memerhatikan setiap pergerakan Gisele. "Nah, kau bisa click ini, lalu ketik Google disana. Kau bisa mencari apa pun yang kau mau dengan ini."

Apa aku bisa mencari info tentang Papa dan Mama? Lalu bagaimana perusahaan Papa? Wanita iblis itu? Atau...apa namaku ada disana? Malam ini aku akan mencari tahu semua info yang tidak kuketahui selama 16 tahun belakangan ini.

"Kalau kau perlu bantuan atau ada yang ingin ditanyakan, kau bisa bertanya padaku. Aku mau ke kamar sebentar,"

"Thank you, Gisele." kataku seraya memerhatikan punggung Gisele yang menjauh. Memastikan Gisele sudah benar-benar menghilang, jemariku langsung menari di atas keyboard mencari informasi yang sangat kubutuhkan saat ini; informasi tentang eksistensiku di dunia ini.

Aku mengetik nama lengkapku sendiri—Gwyneira Alba—dengan jantung berdegup kencang. Bagaimana mungkin tidak ada yang mencari keberdaaanku selama ini? Apa alasannya? Apa mereka berpikir aku juga mati bersama dengan Papa?

Bola mataku serasa ingin keluar dari tempatnya saat mendapati namaku dimiliki oleh anak perempuan lainnya; perawakan dan penampilan gadis itu persis sepertiku. Aku lebih tercengang lagi saat melihat terdapat foto gadis itu bersama Bianca dalam sebuah pesta. Bahkan gadis itu ada dalam pembukaan cabang Alba Enterprise.

"Apa ini...jadi...jadi Bianca menyuruh gadis lain untuk berpura-pura menjadi diriku? Jadi ini alasan mengapa tidak ada yang mencurigai kenapa aku menghilang?"

Tanganku semakin cepat membongkar internet dan menemukan fakta bahwa saat ini "aku" sedang menjalani pendidikan di sebuah universitas ternama di Belanda. Kuremas rambutku frustasi dengan semua informasi absurd ini.

Wanita iblis itu telah membunuh Papa, merebut harta dan kebahagiaanku, lalu menyekolahkan gadis lain agar perbuatan busuknya tidak tertangkap media?

Lalu tiba-tiba terpikirkan olehku tentang hal yang selalu ingin kuketahui selama ini; kematian Papa. Kali ini dongeng apa yang dikarang wanita itu? Aku segera mencari nama Anthony Alba dan disana terpampang berbagai berita yang berhubungan dengan perusahaan Papa. Berita kematian Papa sulit ditemukan, mungkin karena berita itu sudah sangat lama dan internet belum secanggih sekarang.

"Bianca...wanita itu menggantikan posisi Papa sebagai Presdir Alba Enterprises? Jadi wanita iblis itu memang mengincar harta Papa." kusandarkan punggungku ke sandaran kursi termenung mengetahui fakta ini.

Keluargaku, perusahaanku, dan kebahagiaanku sudah direnggut wanita itu secara kejam.

Aku terus membongkar mesin pencarian mengenai berita tentang kematian Papa namun tidak kunjung ada. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mencari silsilah Alba Enterprises. Aku bisa bernafas lega mengetahui banyak laman website yang membahas tentang ini.

"Anthony Alba adalah generasi ketiga yang menduduki posisi kepemimpinan Alba Enterprises.....Pada tahun 2004, Anthony ditemukan meninggal karena bunuh diri dengan menembakan kepalanya sendiri,"

Aku langsung menutup mulutku menahan jeritan histeris yang siap keluar kapan saja. Air mata itu kembali keluar bersamaan dengan perasaanku yang pecah berkeping-keping. "Tidak...tidak mungkin, Papa tidak mungkin bunuh diri. Ini...ini pasti perbuatan Bianca. Tidak, TIDAK MUNGKIN!"

Kepalaku terus menggeleng keras, duniaku hancur di depan mata mengetahui kenyataan pahit ini adalah hidupku. Semua yang kumiliki sudah musnah, bahkan identitasku.

Benar kata Raphael.

Aku sudah tidak punya identitas.

Lalu sekarang...siapa aku?

TO BE CONTINUE

Percayalah, aku sedang membangun fase Eira lebih kuat :D tenang aja

Btw, di awal pembuatan novel aku gak bayangin Bianca wajahnya gimana tapi aku mau dia punya mata hijau yg jelas. Tiba-tiba kepikiran Cersei Lannister-nya Games of Throne dan langsung kepikiran dia cocok jadi Bianca. Wdyt? (Kebetulan matanya hijau)

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

905K 3.5K 14
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
4.9M 182K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
2.7M 133K 58
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
2.5M 183K 34
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...