Our Serendipity

By spica01

8.2K 1.3K 151

Katakan, apa kau percaya kalau pertemuan kita adalah salah satu dari konspirasi semesta? Apa ketidaksengajaan... More

OUR SERENDIPITY 01
OUR SERENDIPITY 03
OUR SERENDIPITY 04
OUR SERENDIPITY 05
OUR SERENDIPITY 06
OUR SERENDIPITY 07

OUR SERENDIPITY 02

1K 201 15
By spica01


Warning: ooc, oc, mention slight m-preg, rated scene


Random mood song: Bonnie & Clyde by Dean


.


In that moment the whole universe existed just to bring us together.


.



Beberapa bulan sebelumnya...


Dering samar ponsel terdengar bersamaan dengan curah air hangat terakhir dari kepala shower. Nama Wong Lucas tertera pada terang layar ponsel pintar di atas meja tak jauh dari wastafel. Benda itu terus bergetar, seolah orang di seberang sana sudah tidak sabar meminta agar panggilannya segera diangkat.

Jeno tergoda untuk menggeser ikon berwarna merah demi membuat ponselnya bungkam, namun niat itu segera diurungkan. Malas juga jika nanti, ia mesti mendengarkan celoteh tidak penting Lucas, yang protes panjang karena telah menolak panggilannya.

"Oi, Lee! Jangan bilang kalau kau tidak jadi datang, karena sibuk menindih orang lain di atas ranjang!"

Suara Lucas ketus memukul gendang telinga, dia langsung saja main tuduh tanpa peduli makna salam pembuka.

"Aku baru selesai mandi," ujar Jeno singkat seraya mengeringkan rambut dari sisa-sisa tetesan air. "... sebentar lagi aku berangkat." Langkah kaki berhenti tepat di depan cermin seukuran tubuh dalam walk in closet yang terhubung dengan kamar mandi.

"Yeah, akupun baru mau berangkat. Si brengsek Baejin dan Hangyul akan telat sepertinya..."

Terdengar bunyi pintu mobil ditutup cepat, disusul deru halus mesin dihidupkan.

"Heh, tidak biasanya kau datang tepat waktu..." barisan blazer kasual dipilah, satu yang hitam diraih dari gantungan. Jeno memutuskan untuk memakai kaus tanpa lengan berwarna sama di balik blazernya.

"Haa, entahlah... aku hanya ingin segera melepas stress. Kau tahu teman-teman Nana? Aku dapat kabar dari Mark, mereka sepertinya bakal datang juga. Damn! Ini berita yang sungguh bagus!"

Dahi Jeno berkerut. Teman-teman Jaemin?

"Hei... bukankah kau sedang kosong? Coba saja tiduri satu yang menarik hati, kalau bisa sekalian kau kencani. Yaah, itupun kalau mereka mau. Kau tahu sendiri reputasi yang menyelubungi kelompok main mereka..."

Jeno sadar betul apa maksud kalimat Lucas barusan.

"Teman-teman Na Jaemin memiliki latar belakang cemerlang, sudah pasti paman bakal setuju. Dan lagi, tampilan mereka setara escort kualitas nomor satu. Wajah manis dengan tubuh berlekuk sempurna, benar-benar molek bagai porselen cina! Bedanya hanya satu, mereka tidak menjual diri, tentu saja..."

Bicara Lucas memang seenak hati. Tapi dia adalah satu dari para sahabat loyal, yang meski suka asal bicara, mereka bukanlah manusia penjilat yang gemar bertumpuk untuk menyembah di bawah kaki.

"Lihat saja nanti."

Jeno lumayan setuju akan ucapan Lucas mengenai lingkar pertemanan milik Jaemin. Tunangan Mark itu memang memiliki kelompok 'hang-out' yang sungguh luar biasa. Ia pernah bertemu dengan Choi Beomgyu, Lee Felix, Park Jihoon, atau Heo Hyunjoon pada beberapa kesempatan. Dan apa yang Lucas katakan benar adanya.

Birds of a feather flock together.(1)

Mereka satu tipe. Para manusia dengan anugrah kemolekan fisik bagai anak-anak keturunan Aphrodite. Jeno memang tidak pernah berurusan pribadi secara langsung dengan mereka, tapi rumor mengenai lingkaran pertemanan itu selalu saja mampir di telinga.

Anehnya, walau berada dalam lingkungan yang sama—bahkan dua dari anggota berbeda sampai bertunangan segala, kelompok main mereka jarang sekali menghabiskan waktu bersama. Para sosialita muda itu lebih suka berada dalam dunianya sendiri.

Naah, pesta ulang tahun Jaemin sepertinya akan jauh dari kata membosankan.

"Kay, see ya there... Aku tidak mau mobilku ringsek menabrak pembantas jalan karena sok sibuk berbincang denganmu."

Jeno mendengus. "Pergi saja kau ke neraka sana..." dan kalimat itu mengakhiri percakapan mereka.


.


Na Jaemin dipastikan akan mengganti nama keluarganya begitu musim semi tahun depan tiba. Lingkaran platina Carrtier berhias berlian sudah terpasang di jari manis tangan kiri, sementara restu dua keluarga telah sukses dikantungi.

Pesta sederhana untuk menyambut pertambahan tahun sudah disiapkan Mark—tunangannya sekaligus si bungsu kesayangan dalam keluarga pengusaha properti tersohor di seantero Korea. Semua persiapan pernikahan bahkan sudah dibicarakan oleh kedua keluarga, jauh sebelum hari ini tiba. Siapa yang menyangka jika pertemanannya dengan Mark bakal berlanjut sampai ke rencana membuat ikatan sakral segala.

Satu villa musim panas milik keluarga yang cukup jauh dari pusat keramaian dijadikan lokasi untuk menggelar pesta. Hanya teman dekat yang mendapat invitasi—tanpa satupun orang tua. Ini berarti tidak akan ada larangan selama pesta berlangsung. Karena hingga matahari terbit di timur keesokan pagi, semua aturan ada dalam genggaman mereka.

Audii hitam Jeno terparkir mulus pada halaman luas villa. Ia mengenali Land Rovver milik Lucas di antara barisan kendaraan di sana. Dan begitu memasuki bangunan utama, Jeno langsung disambut suasana temaram penuh warna-warni kilatan neon, juga bising seruan para undangan pesta. Wajah-wajah asing menginvasi penglihatan—sebagian menatap kagum, sisanya bertingkah bagai kucing liar disuguhi ikan segar.

(Memangnya apalagi yang dapat mereka lakukan, ketika bachelor paling diminati di seluruh pelosok Gangnam tiba-tiba muncul di arena pesta? Tentu saja menikmati pemandangan ini, selama tidak ada halangan menginterupsi...)

Jeno berjalan melewati tubuh-tubuh yang berdansa intim mengikuti lantunan mash-up lagu-lagu populer hasil racikan seorang dj tamu. Gelas-gelas berisi sangria atau punch berwarna cerah terus saja didistribusikan bersama tumpukan canape dan pastry. Mungkin setelah menyampaikan ucapan selamat sebagai basa-basi formal kepada Jaemin, Jeno bakal meminta bartender agar membuatkannya segelas mojito dengan banyak potongan lime. Dan kalau tidak ada satupun yang menarik perhatian, dia akan angkat kaki dari sini lalu mencari kesenangan di tempat lain.

"Oi, lihat siapa ini? Tuan muda Lee rupanya?! Anyeong!!"

Kalimat pura-pura terkejut tadi dilontarkan oleh Han Jisung saat mereka berpapasan di depan counter bartender. Jeno kenal pemuda ceria berambut blonde ini lewat Bang Chan—salah satu kawan dekatnya yang lain—pada satu waktu di masa lalu. Siapa sangka jika Han ternyata masuk juga dalam daftar tamu pesta milik Jaemin dan Mark. Yaah, Seoul memang sekecil yang ia duga.

"Kau lihat Lucas?" Tidak ia hiraukan tatap 'memuja' yang tampak di mata gadis cantik dalam dekap Han. Adalah kali pertama bagi sang gadis mendapati seorang Lee Jeno dari jarak sedekat ini, dan mendadak hormon remajanya mengalir deras bak air bah tak terkendali.

Ringis maklum diberi, Han tidak terlalu peduli juga jika pasangan dansanya malah sibuk mengagumi sosok Jeno. Karena, hei, peristiwa semacam ini sudah sangat biasa terjadi. "Kalau Lucas, aku tadi melihatnya di teras samping bersama tuan rumah pesta. Mungkin dia masih ada di sana, kalau tidak ada, umhh... bisa jadi dia di lantai atas, kau tahu sendiri untuk apa, hehehe..."

Malam masih sangatlah dini, dan Lucas sudah membawa teman pestanya masuk kamar? Bisa jadi. Ini Wong 'pervert' Lucas yang sedang mereka bicarakan by the way...

"Oke." Ia melambaikan tangan sekali sebagai bentuk rasa terima kasih, dan berniat meninggalkan Han menuju teras samping villa. Sebuah pintu geser besar dari kaca dibiarkan separuh terbuka sebagai penghubung teras dengan ruang tengah..

Ibu jari teracung jadi balasan, Han sempat berseru lantang di antara hentak musik dan riuh kerumunan. "Hey, Lee Jeno-nim!!! Sebelum pulang, paling tidak kau harus minum segelas punch nanas atau mencicipi muffin mini mereka yang super duper yummy!! Itu pasti dapat mencegahmu dari rasa bosan!!"

Huh, apa katanya? Bosan?

Asal Han tahu saja, bahwa bakal ada sesuatu yang dapat menghilangkan rasa bosan Jeno pada malam ini...


.


Suasana teras tidaklah sekacau keadaan di dalam. Musik masih terdengar—walau hanya samar, dan ternyata mereka asyik mengadakan pesta barbekyu di salah satu sudut dekat rimbunan perdu terawat. Jacuzzi besar penuh berisi air hangat menjadi pusat utama teras dengan pemandangan langit malam tanpa batas.

Tidak sulit untuk menemukan Mark, sekalipun pemuda itu hilang ditelan lautan manusia. Rambut blonde-nya tak dapat mengelabui mata, dan kini dia duduk santai sembari memangku sang tunangan pada satu dari barisan kursi malas yang disusun mengelilingi jacuzzi.

Lucas bersama selusinan tamu begitu nikmat berendam—dan sepertinya dia sedang sibuk membual untuk menarik perhatian seorang pemuda yang cukup asing baginya. Tubuh-tubuh nyaris telanjang berhimpitan dalam satu wadah, sementara celoteh tanpa makna terus saja mengalir ke udara.

Kaki-kaki Jeno hendak membawanya melangkah ke hadapan si tuan rumah pesta, namun kehadiran sepasang mata sanggup membuat ia berhenti sejenak.

Tatap itu terlalu sayang untuk diabaikan.

Bukan jenis yang selalu ia dapati ketika berhadapan langsung dengan orang lain di masa lalu. Tidak ada puja berlebih, atau dengki tersembunyi di sana. Mungkin pemilik tatap itu penasaran akan sosok Jeno, dan siapa sangka jika ia-pun ternyata berakhir sama.

Jeno berkedip sekali untuk menghilangkan trance sesaat yang barusan menyerangnya secara tiba-tiba. Ia melempar pandang penuh minat pada kulit mulus berbalut riak air hangat dalam kolam. Sepasang mata hitam balik menatap tanpa gentar, jemari bergerak untuk meraih gelas bekaki tinggi dari dek kayu yang melingkari jacuzzi. Pemuda itu mengangkat gelas berisi mocktail berwarna merah terang miliknya seraya menelengkan kepala sebagai tanda salute pada Jeno. Terang-terangan memukul genderang perang dengan memancing perhatiannya walau ini adalah pertemuan pertama mereka.

Heh. Nyali kelinci mungil ini ternyata besar juga. Apa dia pura-pura tidak peduli pada berpasang mata lapar milik para serigala mesum pesta? Atau dia memang sengaja memasang sikap acuh tak acuh, agar dirinya terkesan diselubungi rahasia?

"Oi, Jeno-ya? Kau jadi datang?"

"Anyeong, Jeno-ya," senyum ramah ala anak-anak bangsawan terulas, Jaemin berdiri dari duduknya untuk menyambut Jeno.

Tas karton milik satu rumah mode populer yang sejak tadi dibawa, segera terulur tanpa aba-aba. "Selamat ulang tahun, ngomong-ngomong, pesta yang meriah..."

Jaemin terkekeh geli. "Terima kasih banyak. Dan tanpa basa-basi, silakan nikmati pestanya." ia balas menyodorkan sebotol bir dingin dalam genggaman tangan—yang sebelumnya diraih dari ice-box di sebelah Mark—ke arah Jeno.

"Kuharap aku bisa."

Jaemin mengajak Jeno untuk duduk pada salah satu kursi malas di sekitar jacuzzi, dan sempat menyapa Park Jihoon yang larut mencumbu seorang pemuda tinggi dengan wajah mirip penerus keluarga besar triad Cina. Siapa tadi namanya? Lai Guanlin?

Mark kembali memangku Jaemin, lalu mengecup sebelah bahu yang lolos dari lindungan kaus. "Kau datang sendiri?" Dia bertanya karena merasa heran dengan nihilnya sosok lain di sebelah Jeno. Biasanya dia datang dengan menggandeng seorang pemuda cute jika menghadiri pesta semacam ini.

Bukan, tentu bukan pacar apalagi tunangan. Hubungan yang Jeno bangun tidak lebih dari sekedar menuntaskan nafsu. Kalau merasa klik akan dilanjutkan sampai ia merasa bosan, kalau tidak, maka semua harus diakhiri tanpa belas kasihan.

(Hal inilah yang jadi biang konflik antara ayah dan anak selama bertahun-tahun. Apalagi setelah usia matang datang, juga kewajiban untuk menghasilkan generasi penerus keluarga dibebankan pada kedua pundaknya—yang sama sekali belum siap menopang.)

"Ada yang salah kalau aku datang sendiri?" Dingin mulut botol mengenai bibir bawah Jeno, sebelum ia meneguk santai isinya.

"Hanya heran saja."

Gumaman Mark hampir membuat ia terbahak. Sebegitu ajaibkah kalau ia hadir tanpa seseorang di sisi? Yang pasti setelah kabar mengenai geng sepermainan Jaemin mampir ke telinga, Jeno malah jadi ingin mencoba peruntungannya.

Dan satu target sudah ia kunci, tinggal menunggu saja untuk dieksekusi.

Perlahan, Jeno mulai mengorek informasi. "Siapa yang sedang Lucas ajak bicara? Dia anak baru?" Wajah pemuda itu tidak pernah ia lihat—begitupun dengan si kelinci manis di sebelahnya.

Jaemin menoleh ke arah jacuzzi. "Maksudmu Lee Haechan?" Tanyanya untuk lebih memastikan. Setelah yakin kalau sosok yang dimaksud Jeno adalah pemuda bernama Haechan, Jaemin kembali bicara. "Dia kenalanku, kami mulai bersahabat lewat perantara Felix beberapa tahun lalu. Ah, Renjunie juga, dia yang ada di sebelahnya, yang mungil itu..."

"Renjunie?" Entah kenapa, lidah Jeno serasa familiar begitu melafalkan nama tadi.

"Yap, Lee Haechan dan Huang Renjun."

"Huang~Renjun." Nama tersebut diucap ulang tanpa sadar. Jeno bersandar pada punggung kursi, postur tubuh merileks sewaktu ia menatap lagi pada objek paling menarik hati di pesta yang baru ia datangi. Berbagai pemikiran langsung saja menyerbu kepala.

Apakah pemuda itu tipe yang mudah untuk didekati? Apa tipe musik favoritnya? Bisakah seiris cake stroberi menerbitkan senyum di wajahnya? Atau, bagaimana jika ternyata dia lebih suka menerima sebuket besar rangkaian bunga?

Dan ada satu pemikiran paling penting yang terus saja mengganggu Jeno.

Apakah setelah ini mereka akan kembali berjumpa?

Herannya, dari berjuta gagasan yang melintas, tidak muncul satupun ide untuk lekas-lekas meniduri Renjun. Jangan tanya, ia sendiri merasa kebingungan dengan fenomena tak biasa ini. Apa satu teguk bir barusan telah menciptakan kabut di otaknya?

Senyum tipis mendadak terulas. Haah, Huang Renjun, kau memang benar-benar berbeda ya? Baru bertemu sekali tanpa sapa, dan kapal yang Jeno tumpangi terpaksa terombang-ambing menghadapi badai dan lautan murka.

"Lihat itu, Jeno-ya tengah merencanakan sesuatu." Sudut mata Mark menangkap senyum samar di bibir Jeno. Belasan tahun saling mengenal, dan dia semakin pintar membaca setiap ekspresi di wajah para sahabatnya. Hanya saja kali ini, tidak terpancar sedikitpun niatan buruk dari gestur sederhana barusan.

Alis Jaemin naik sebelah, dia menoleh sebentar sebelum berbisik lambat. "Biarkan saja. Jeno pasti tahu apa yang mesti dia lakukan," seraya berkata begitu, jemari Jaemin membelai lembut rambut Mark. "Untuk malam ini, kau cukup fokuskan perhatianmu padaku saja, ya?" Ringis kecil keburu dibungkam oleh lumat gemas, dan satu derai tawa, lolos dari sesi ciuman penuh sayang mereka.


.


"Ayolah... kau hanya tinggal bilang setuju, dan kita berdua bisa segera merasakan surga!"

"Tidak, terima kasih." Ada jeda di sela kalimat tadi. "Bisa tinggalkan tempat ini sekarang? Aku ingin ganti pakaian."

"Kau tahu, sejak tadi aku sudah tidak sabar ingin mencumbumu..."

"Hentikan-"

Jeno baru selesai menggunakan toilet lantai atas ketika mendengar adu argumen yang bergaung di sepanjang koridor. Bukan urusannya jika mereka mau bersetubuh sampai besok pagi atau bagaimana, tapi kalau salah satu pihak berkeras menolak, itu jelas-jelas masuk dalam tindakan kriminal. Dan dia tidak bisa diam saja mendapati peristiwa semacam itu terjadi tepat di depan mata.

Apalagi saat tahu bahwa Huang Renjun adalah korbannya.

"Cih, tingkah malu-malumu malah membuatku semakin bernafsu..."

Ia memutuskan bahwa ini adalah saat paling tepat untuk masuk dalam percakapan kedua orang di hadapannya. "Hey, he said no, so back off..."

"Akh, Lee Jeno?!" Pemuda itu lekas menghentikan 'serangannya' pada Renjun, saat sadar siapa orang yang kini datang menghampiri mereka. "A-ada se-sesuatu yang kau, err, kau butuhkan??" Dia sangat terkejut mendapati seorang Lee Jeno, mendadak hadir ketika dia tengah sibuk melancarkan goda pada incarannya. Dan, hei... kenapa Jeno jadi terlihat mirip karakter antagonis utama dalam film-film psikopat-gore? Sikap boleh saja serupa air tenang, namun tatap mata itu tidak dapat membohongi.

"Dia bersamaku, jadi cepatlah menyingkir."

Kalimat Jeno jelas sekali penuh intimidasi. Tanpa protes dan banyak bicara, pemuda berambut hitam tadi angkat tangan menyerah. Keringat dingin masih menuruni tengkuk sewaktu ia ambil langkah seribu meninggalkan lokasi. Lebih baik mengalah daripada lehernya patah. Lagipula masih banyak kucing binal-manis pesta yang bisa dia rayu dengan mudah.

Untuk beberapa waktu, tidak terjadi apapun selain hening dan samar musik up-beat dari lantai bawah. Mereka berdiri berhadapan di koridor lengang dengan deretan pintu besar berukir ornamen rumit.

"Kau juga menguntitku sampai kemari?" Meski kalimatnya berkesan sinis, tapi tak ada nada menghakimi di sana.

Dahi Jeno berkerut, satu dengus pelan hampir keluar disertai tatap tidak percaya. Menguntit? Yang benar saja! "Aku terlebih dahulu ada di sini. Jadi tuduhanmu tadi sama sekali tidak terbukti, invalid."

Bibir Renjun mengerucut. "Well, maafkan aku, insting manusia kadang muncul terlebih dulu ketimbang akal sehat." Jubah mandi semakin dirapatkan saat tatap penuh minat jatuh pada lekuk tulang selangka tak tertutupi. "Aku hanya membela diri."

Kepala Jeno mengangguk tanda setuju. "Memang benar, tapi tidak semua orang dapat langsung kau cap sebagai kriminal." Kedua tangan segera bersedekap, lalu sebuah ide untuk menggoda Renjun mendadak lewat tanpa diminta. "Nah, bagaimana jika kukatakan, kalau aku sudah merencanakan ini semua dan memang benar-benar menguntitmu sampai kemari?" Tawa pelan meluncur ketika wajah pemuda di hadapannya berubah kesal.

Manusia mesum di mana-mana sama, tidak sia-sia Renjun curiga!

"Hei, tenanglah. Aku hanya bercanda, jangan berpikiran aneh."

"Justru setelah kau berkata begitu, aku malah jadi berpikir yang macam-macam."

"Berpikirlah yang positif kalau begitu," katanya seraya berbalik untuk meninggalkan tempat mereka berdiri. "Karena kalau boleh jujur, aku merasa tertarik padamu."

Kau juga merasakan hal yang sama, bukan?

Dua pipi Renjun memanas dan tiba-tiba saja dipenuhi goresan merah muda. Mulutnya hendak terbuka demi melancarkan protes dan rasa tidak suka, namun ia urungkan. Bagaimanapun, pemuda asing ini telah menyelamatkannya dari keadaan kurang menyenangkan.

Sebelum Jeno benar-benar berlalu, ia mendengar ucapan sayup lepas ke udara. Walau tak diucapkan secara langsung kepadanya, Jeno dapat merasakan ketulusan tergambar di sana.


"Umh, terima kasih banyak untuk bantuannya."


.


Tbc~


.


.


1. Birds of a feather flock together: orang-orang yang memiliki kemiripan, cenderung berkumpul bersama atau membentuk kelompok sendiri.


Hola, saya kambek ke sini en malah nulis Our Serendipity (yang tadinya buat menyambut ultah Renjun, tapi gagal, hehehe :') Jadi teringat lagi setelah tadi sore liat komen, wkkss, maafkeun yak, en terima kasih sudah mengapresiasi tulisan ini (lovelove).

Reprise final chapter sepertinya bakal dipost abis lebaran (mudah-mudahan bisa) sama Lovesick terus Serpent juga menyusul...

Fic ini (mungkin) akan ada warning ooc untuk para pemeran, m-preg ke depannya, dan implisit rated scene, jadi bakal dilanjut juga abis lebaran (mudah-mudahan sama lancarnya, jadi nggak gitu janji) kyahahaha...

Sekian dulu, sampai jumpa en ciaoo!!

Continue Reading

You'll Also Like

325K 9.7K 105
Daphne Bridgerton might have been the 1813 debutant diamond, but she wasn't the only miss to stand out that season. Behind her was a close second, he...
189K 4K 26
-KILLUA X GON KILLUA X GON KILLUA X GON. this story is where killua and Gon become collage roommates and yeah. ~~~~ •[note]This story is actually sh...
8.1K 142 11
First Hazbin oneshot book. Strictly fluff/hurt comfort for now. Possibly smut/lemon in future fics. No angst because I hate hurting my boys! Trig...