Erotomania [Tamat]

بواسطة triviaindriani

171K 22.5K 2K

Pernah dengar erotomania? Atau sindroma de Clerambault? Istilah sederhananya adalah delusi jatuh cinta. Salah... المزيد

1. Merinding
2. Arvin Itu Gila
3. Kebenaran
4. Cobaan Hari Pertama
5. Sebuah Pengakuan
6. Hadiah Kecil
7. Masalah
8. Kenangan yang Tersimpan
9. Perjuangan
10. Ciuman Pertama
12. Terbongkar
13. Goyah
14. Merawat Arvin
15. Penyihir
16. Ketakutan Besar
17. Posesif
18. Benar atau Salah
19. Sisi Tergelap
20. Berakhir
21. Kehidupan Baru
22. Tentang Masa Lalu
23. Lisan dan Nurani
24. Hilang Arah
25. Kesempatan Terakhir
26. Terima Kasih, Erotomania [End]

11. Detak Jantung

5.4K 801 37
بواسطة triviaindriani

Pergerakan tangan Lova kian melambat setiap detiknya. Hingga akhirnya berhenti, tepat di bagian punggung kucing abu-abu yang saat ini tidur di pangkuannya. Syal yang sedang ia rajut juga jadi terbengkalai karena isi kepala Lova yang sedang tidak karuan. Ya, semenjak kejadian di petshop tadi sore, Lova jadi tidak bisa fokus untuk melakukan apapun. Dan yang patut di salahkan di sini, tentu saja Arvin.

"Ini semua ... bukan pertanda aku mulai ... emm ... suka ...." Lova menghentikan kalimatnya. Dia melotot dan membanting punggungnya ke sandaran kursi keras-keras. Perbuatannya itu bahkan sampai membuat kucing di pangkuannya terlonjak. "Sadar, Lova! Sadar!" Sekarang, tangan Lova sendiri sudah memukul kepalanya. "Ingat, tujuan kamu dari awal itu buat bantu Kak Arvin. Jangan aneh-aneh. Jangan belok ke tujuan lain, Lovata!"

"Meong."

Lova lantas menunduk, mendapati sepasang mata yang sedang menatapnya. Kucing itu seakan ikut berusaha menyadarkan Lova untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dia lakukan. Dan dalam perkara ini, sesuatu itu adalah menyukai Arvin yang memiliki banyak strategi untuk membuatnya bahagia. Itu menjadi tugas Lova untuk lolos dari strategi itu.

"Kalau kenyataannya aku suka sama Kak Arvin, gimana, Snow?"

Benar, yang dipanggil Lova sebagai 'Snow' di sini adalah kucing berwarna abu-abu yang sedang memandangnya. Memang tidak cocok, bahkan sempat menjadi bahan perdebatan Lova dan Arvin tadi sore. Namun, pada akhirnya, Lova yang menang. Atau lebih tepatnya, Arvin yang mengalah. Kucing bernama Snow tidak hanya selalu memiliki bulu berwarna putih, kucing berbulu abu-abu juga punya hak yang sama.

"Jadi, kamu mulai suka sama pacar pura-pura kamu itu?" Sebuah suara membuat Lova memutar kepalanya. Di ambang pintu, ada Vanka yang sedang berdiri sambil tersenyum penuh arti. "Wah ... kakak enggak nyangka kalau akhirnya bakalan kayak gini. Udah mirip cerita novel fiksi."

Dengan cepat, Lova memindahkan Snow menatap meja belajar. Dia berlari untuk mengunci pintu, lalu menarik Vanka duduk di ujung kasur. "Sssut! Kak Vanka ngomongnya jangan keras-keras. Bahaya kalau ketahuan sama ayah bunda." Lova ikut duduk di sana, tepat di samping Vanka. "Kak Vanka pernah suka sama cowok?"

"Kalau mengagumi pernah, sih. Sama ayah, sama mahasiswa berprestasi di kampus, sama dosen baik hati, kakak mengagumi mereka. Tapi, untuk perasaan suka sebagai lawan jenis, kayaknya enggak pernah." Rasanya, Vanka ingin tertawa kencang melihat wajah gusar adiknya. Wajah Lova seperti akan menghadapi Ujian Nasional. "Enggak usah tegang gitu, Va. Enggak salah kalau kamu suka sama Arvin. Dia tampan, baik, kayak yang sayang banget juga sama kamu."

Lova membanting tubuhnya ke atas kasur. Mengambil oksigen sebanyak mungkin, berharap jantungnya nanti bisa baik-baik saja kalau bertemu dengan Arvin lagi. "Aku merrasa salah aja, Kak. Niat aku dari awal kan cuma buat bantu Kak Arvin sembuh. Kalau aku malah suka sama dia, kesannya enggak tahu malu banget."

"Terus, dia yang tiba-tiba mengklaim kamu sebagai pacarnya, itu bukan enggak tahu malu namanya?" Vanka geleng-geleng kepala. Dia juga ikut berbaring, menatap langit-langit kamar Lova. "Kalau kalian sama-sama suka, kenapa enggak coba jalani hubungan yang sebenarnya aja? Selama itu enggak melanggar hukum sama norma, Kakak rasa enggak ada yang salah. Dan menurut kakak, belum tentu ada yang mau mengerti keadaan Arvin sekarang, kecuali kamu."

Diam-diam, Lova tidak menyetujui perkataan kakaknya. Secara kasat mata, tidak ada kekurangan yang menempel pada Arvin. Dia memiliki wajah tampan, otak cemerlang, bakat yang terus terasah sempurna, lahir dari keluarga berada, tulus pada orang lain. Para gadis akan begitu mudah menaruh hati padanya. Serta ada satu nama yang muncul di kepala Lova, seseorang yang mungkin saja akan menerima Arvin lengkap dengan sakitnya. Tamara.

"Aku merasa enggak pantas aja buat Kak Arvin," cicit Lova. Dia tahu, kakaknya sedang menatap dengan penuh bingung. "Kak Arvin ganteng, pintar, kapten tim basket sekolah. Sedangkan aku? Banyak yang bilang kalau aku enggak cocok sama dia, Kak."

"Kayaknya, semenjak kenal sama Arvin, kamu jadi lebih banyak menilai diri kamu sendiri, ya, Va? Lovata yang selama ini Kakak kenal biasanya enggak peduli juga sama omongan orang lain." Vanka mengembuskan napas panjang. Dia berpura-pura saja di depan adiknya. Padahal, Vanka juga sering merasa kecil karena lidah orang lain. "Iya, sih, kakak juga setuju kalau kamu enggak cocok sama dia. Kalian terlalu banyak perbedaannya. Tapi, kalau kenyataannya perasaan kalian mengatakan satu hal yang sama, masih harus peduli dengan perkataan orang lain?"

Refleks saja kepala Lova menggeleng. Benar juga apa yang dikatakan Vanka. Tidak peduli seberapa banyak orang yang mengatakan bahwa Lova dan Arvin tidak cocok, jika hati mereka mempunyai perasaan yang sama, orang-orang itu bisa apa? Mungkin hanya Lova saja tenang harus mempersiapkan tangan untuk menutup telinga, mental kuat untuk tindakan mereka yang kurang menyenangkan, serta tekad untuk tetap biasa di samping Arvin.

"Kalau mau jatuh cinta, tinggal jatuh aja. Enggak usah kebanyakan mikir. Sakit itu udah pasti ada, bahagia pasti didapatkan kalau orang itu juga mempunyai perasaan yang sama." Setelah mengatakan itu, Vanka bangkit dari tidurnya. Dia masih memiliki beberapa tugas yang harus di selesaikan. "Kakak ke sini mau pinjam flashdisk. Punya kakak enggak tahu di mana, lupa lagi nyimpen."

Lova juga melakukan hal yang sama. Bangkit dari kasur dan segera bergerak untuk mengambil flashdisk dari dalam tasnya. "Makasih buat semua solusinya, ya, Kak."

Vanka tersenyum. Tidak peduli seberapa banyak perdebatan yang terjadi di antara mereka, keduanya tetap adik kakak yang saling menyayangi. "Iya, sama-sama. Kalau mau cerita apa-apa, langsung aja ke kakak. Diledek dikit doang enggak apa-apa, lah, biar komplit." Vanka tergelak saat Lova mencebikkan bibirnya, kemudian dia segera keluar dari sana, meninggalkan Lova yang kembali termenung.

Dulu, Lova pernah bertanya pada Agus. Memangnya, setiap hubungan pacaran harus dilandasi perasaan? Dan sekarang, di saat kemungkinan perasaan itu menghiasi hubungannya dengan Arvin, Lova justru jadi uring-uringan sendiri. Bukan apa-apa, Lova hanya merasa kalau dia tidak akan mampu bertahan dari segala pesona, kebaikan, dan ketulusan Arvin.

Ting!

Lova bergerak untuk mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Pesan dari Arvin.

Kak Arvin : Lagi ngapain? Kangen gue, gak?

"Kenapa Kak Arvin bisa sesantai ini, sementara aku di sini uring-uringan?" Lova bicara pada ponselnya, seakan-akan itu adalah wajah Arvin. Jika menjatuhkan hatinya pada Arvin begitu mudah seperti yang dikatakan Vanka, lalu mengapa Lova bisa masih resah sekarang? "Yang namanya jatuh pasti sakit, 'kan, Kak? Termasuk jatuh cinta juga, ya?"

Saat Lova sedang bicara sendiri, dia dikejutkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Terpampang dengan jelas bahwa Arvin sedang menghubunginya lewat panggilan video. Sontak saja itu membuat Lova menjadi super bingung. Tangannya bahkan sampai bergetar. Lova merasa darahnya mengalir lebih cepat dari batas normal. Dan karena terlalu panik itulah, Lova tidak sengaja menggeser ikon hijau di layar ponsel.

"Lov?"

Lova mengedipkan matanya berulang kali. Di sana, ada wajah Arvin yang tampak begitu segar. Wajahnya berseri, rambutnya basah, sebuah handuk putih kecil juga menggantung di lehernya. Lova tahu, Arvin baru selesai mandi. Dan sialnya, penampilan laki-laki itu kembali memicu serangan jantung untuk Lova.

"Lo sakit?" Arvin kembali bersuara.

"Hah?!" Lova malah kaget sendiri dengan pertanyaan Arvin. Dia menggeleng kuat, berusaha mendapatkan kembali ke kesadarannya. "Enggak, kok! Aku sehat. Sehat banget malah!"

Arvin memicingkan mata, tidak percaya dengan jawaban Lova. "Lo demam, ya? Wajah lo merah, Lov. Coba periksa suhu lo, siapa tahu tinggi. Atau lo mau ke rumah sakit aja? Gue jalan sekarang." Arvin langsung bangkit dari duduknya. Dia berjalan tergesa-gesa mendekati meja.

"Eh ... enggak usah, Kak. Aku beneran gak apa-apa, kok. AC di kamar rusak, jadinya gerah. Wajar aja kalau wajah aku agak merah, 'kan?" Lova bernapas lega saat Arvin langsung diam. Beberapa saat yang lalu, dia bisa mendengar dengan jelas suara kunci. Arvin tidak pernah main-main dengan perkataannya. "Aku baik-baik aja, Kak. Enggak usah khawatir kayak gitu."

"Gak bisa." Arvin kembali bergerak. Sekarang, dia sudah keluar dari kamarnya. "Gue gak akan tenang kalau gak lihat kondisi lo secara langsung. Tunggu di sana, gue nyampe 10 menit lagi."

Lalu, panggilan berakhir. Ini semua salah wajah Lova yang merona karena melihat wajah Arvin!

***

Tidak mau lagi menimbulkan kesalahpahaman untuk kedua kalinya, begitu Arvin kembali dari lapangan, Lova segera memberinya minuman beserta handuk kecil. Dia juga tersenyum. Antara tulus atau untuk menutupi kegugupannya. Dan sepanjang Arvin latihan tadi, Lova sesekali melirik ke arah lapangan, sesekali juga membaca novel online di ponsel untuk mengalihkan perhatiannya dari Arvin. Meskipun banyak yang terus berbisik membicarakannya, Lova berusaha untuk tidak peduli.

"Nanti jadi buat ngerjain tugas biologi, 'kan?" Tanya Arvin sambil mengelap keringatnya yang bercucuran. Bahkan, punggungnya sudah basah sempurna. Tidak perlu khawatir, tubuhnya sama sekali tidak bau. Masih tercium wangi parfum maskulin yang selalu dia pakai.

Lova mengalihkan pandangannya saat mendapati Arvin sedang menatapnya intens. Dia benar-benar berharap Arvin tidak akan mendengar detak jantungnya yang menggila. "Aku gimana Kak Arvin aja, sih. Kalau bisa dan emang enggak keberatan, sore ini juga boleh." Selanjutnya, Lova bisa merasakan kalau Arvin duduk di sampingnya. "Emang latihannya udah beres, ya?"

Arvin tidak langsung menjawab, dia malah sibuk memperhatikan Lova yang sedang memainkan kedua kakinya. Kepalanya tertunduk, berulang kali membenarkan posisi kacamata yang merosot. Dia merasa perlu memastikan sesuatu. Bergerak untuk menyelipkan anak rambut Lova yang menjuntai, yang dia dapati justru tatapan tajam dari kekasihnya.

"Lo ... lagi coba buat menghindari gue, ya?"

Ayolah, salah jika Lova berusaha menyembunyikan sesuatu darinya? Arvin mengenal Lova luar dalam, dllia tahu segala sesuatu tentang Lova tanpa harus diberi tahu. Lova menolak untuk berpegangan tangan saat menuju lapangan tadi, Lova berkata dia risi dipanggil sayang oleh Arvin, dan dia sama sekali tidak mau bertukar pandang dengan Arvin saat bicara. Jelas sekali kalau Lova sedang menghindarinya.

Dan lihatlah, Lova kembali menunduk sekarang.

Tidak kehabisan akal, Arvin bergerak untuk berlutut di hadapan Lova. Dia menghiraukan pandangan orang-orang yang ada di sana. "Gue bikin salah sama lo, ya? Lo lihat gue ngobrol sama cewek lain? Atau lo berubah pikiran, enggak mau gue ikut turnamen ini?" Semua pertanyaan Arvin hanya dibalas gelengan oleh Lova. "Kalau gitu, jawab gue, dong. Lo kayak lagi usaha banget buat enggak melakukan kontak apa pun sama gue."

"Aku ... malu," aku Lova dengan suara kecil. "Aku malu sama Kak Arvin."

Rahang Arvin jatuh seketika. Keningnya tidak bisa ditahan untuk tidak mengerut. Dia berpikir keras, berusaha menerjemahkan keajaiban Lova yang kesekian ini. "Kenapa lo malu sama gue? Lo pake baju, wajah lo enggak cemong, badan lo juga enggak bau. Malu kenapa, hm?"

"Kak Arvin enggak bakalan ngerti!" Lova mulai frustasi. Dia juga tidak tahu akan apa yang sedang dia katakan ini. Lova hanya berusaha untuk menyampaikan perasaannya. "Aku malu buat lihat mata Kak Arvin, aku juga enggak bisa kontak fisik sama Kak Arvin. Dada aku rasanya mau meledak."

Kebingungan Arvin berubah seketika. Bibirnya tersenyum miring, matanya berbinar. Tangannya bergerak untuk meneruskan kegiatan tadi, merapikan rambut Lova. Tidak peduli jika semua pasang mata yang ada di sana sedang memperhatikannya, atau teman-teman anggota tim basket yang nanti akan menertawakan, Arvin tidak peduli. Yang menjadi pusat semestanya saat ini adalah gadis yang ada di hadapannya, gadis sederhana bernama Lovata Auristela.

"Jantung lo deg-degan, gak?" Ada kebahagiaan tersendiri untuk Arvin saat Lova mengangguk malu-malu. "Itu artinya, lo lagi jatuh cinta ... sama gue."

"Hah?" Kepala Lova terangkat. Dia memandang Arvin penuh tanya. "Jadi bener, kalau jantung aku deg-degan kayak gini, artinya aku lagi jatuh cinta? Kak Arvin tahu dari siapa?"

Tangan Arvin yang lainnya terulur untuk menarik tangan Lova. Dia meletakkan tangan kecil itu di dada kirinya, di mana posisi jantung berada. "Sama hebohnya kayak punya lo, 'kan?" Lova mengangguk dengan matanya yang membulat sempurna. "Gue tahu karena gue juga mengalami hal yang sama. Gue jatuh cinta, sama lo."

"Ooh." Lova mengangguk paham. Tangannya masih di sana, di dada Arvin. Dia seperti menikmati setup jantung mereka yang saling bersahutan, tanpa manusia lain ketahui. Dan tak bisa dipungkiri, Lova juga senang mengetahui jantung Arvin berdegup secepat ini saat bersamanya.

Sementara itu, Arvin masih setia memperhatikan setiap perubahan yang dilakukan Lova. Dia seperti enggan melewati wajah lugu itu meski hanya sedetik. Mata bening yang ada di balik kacamata tebal itulah yang telah menjungkirbalikkan dunianya. Ukiran wajah di hadapannya inilah yang sudah membuatnya gila. Dan gadis di hadapannya inilah yang hanya mampu melakukannya. Hanya Lovata.

"Lo jatuh cinta udah kayak orang yang mau ditagih hutang sama rentenir aja, linglung banget." Arvin kembali bersuara setelah menikmati kebisuan di antara mereka.

"Vin."

Baru saja Lova hendak menimpali perkataan Arvin, tapi harus tertahan saat segerombolan orang-orang datang menghampiri mereka. Dari pakaiannya saja, Lova bisa tahu kalau mereka semua adalah anggota tim basket sekolah. Bukan hanya di lapangan, mereka juga kompak untuk menatap Lova penuh bingung sekarang. Dan kedatangan mereka itu membuat Arvin mememindahkan tangan Lova, dari dadanya menjadi ke pangkuan gadis itu. Tentu saja tanpa melepaskan pegangan mereka.

"Kenapa?" tanyanya sambil kembali duduk di samping Lova.

Sejenak, Julian melirik Lova. Dia tidak bisa berhenti berpikir negatif tentang gadis itu setelah melihat semua perlakuan Arvin terhadapnya. "Kita semua mau makan di kafe depan sekolah. Lo kapten, jadi harus ikut. Enggak usah dengar kata orang luar." Dengan sengaja, Julian menekan 'orang luar' saat matanya bertemu dengan milik Lova. "Kita jalan sekarang."

"Sorry, gue gak bisa," tolak Arvin secara tidak terduga. "Gue udah janji buat bantu ngerjain tugas sama cewek gue. Gimana kalau besok?"

"Maksud lo, kita harus nahan haus sama lapar sampai besok sore, gitu?" Sebelah alis Julian terangkat. Untuk kesekian kalinya, dia terkejut akan keputusan Arvin yang jauh lebih mementingkan gadis dulu itu dibandingkan yang lain. Seakan-akan tujuan hidup Arvin saat ini hanya untuk mengabdi pada gadis bercakamata tebal itu. "Vin, lo sadar enggak kalau lo makin ke sini makin enggak asik? Lo udah jarang hang out lagi sama kita, jarang kasih saran di grup, kurang perhatian sama pemain yang lain juga. Lo yang sekarang, bukan Arvin yang kita kenal."

Arvin mengernyit, merasa kurang paham dengan perubahan suasana yang terlalu signifikan. Kemudian, dia mendengkus. "Lo juga sadar enggak kalau makin ke sini lo makin banyak omong? Lo jadi makin rese, Jul. Biasanya juga lo selalu bawa santai semua hal. Kenapa akhir-akhir ini lo jadi serba ribet?"

"Gue banyak omong juga buat ngasih tahu kalau lo banyak berubah, Vin! Lo lebih mementingkan cewek ini dibandingkan tim kita!" Telunjuk Julian mengarah tepat ke kepala Lova. Gadis itu tersentak dan beringsut. "Gue gak nyangka lo bisa jadi kayak babu cuma karena cewek kayak dia."

"Apa maksud lo dengan 'cewek kayak dia', hah?!" Arvin maju selangkah. Dia mendorong tubuh Julian sampai limbung. Kalau kakinya tidak kuat menahan, pasti tubuh Julian sudah jatuh menyentuh tembok tribun. "Gue enggak akan pernah mau peduli sama omongan orang lain, sama penilaian dunia. Ini hidup gue, ini perasaan gue, kalian semua enggak punya hak buat ikut campur."

Setelah mengatakan itu, Arvin segera membereskan semua peralatannya. Dia pergi dari sana sambil menggenggam tangan Lova kuat-kuat. Arvin sama sekali tidak keberatan kalau harus kehilangan sahabatnya, teman yang tumbuh bersama dari kecil. Asalkan, bukan Lova yang membuatnya merasa kehilangan.

*
*
*
Kayaknya, Arvin mau putus aja sama Julian deh. Haha ...

Bini Ceye,
23 Maret 2020
Repost : 12 Oktober 2020

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

6.7K 771 25
Lea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama...
117K 13.6K 21
Kinata Aria menyukai apa-apa saja yang berasa manis. Namun, sejak Kina mulai dekat dengan seorang Aliandra Kalvi, ia baru tahu ternyata ada rasa yang...
945K 45.8K 66
Brigitta terkejut bukan main saat ia terbangun dalam pelukan seorang laki-laki asing dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Apa orang patah hati se...
My Sexy Neighbor بواسطة F.R

قصص المراهقين

815K 11.5K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+