100 Days Evidence

De aulizas

70.9K 6.4K 745

Mengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima... Mai multe

Unprolog
1 Day After, evening time;
2 Days After, evening time;
3 Days After, morning time;
3 Days After, afternoon time;
3 Days After, evening time;
4 Days After, predawn time;
12 Days After, morning time;
12 Days After, day time;
12 Days After, evening time;
14 Days After, afternoon time;
14 Days After, night time;
15 Days After, morning time;
22 Days After, lunch time;
22 Days After; afternoon time;
22 Days After, night time;
23 Days After, afternoon time;
26 Days After, morning time;
26 Days After, day time;
26 Days After, evening time;
27 Days After, morning time;
29 Days after, evening time;
29 Days After, night time;
32 Days After, day time;
33 Days After, afternoon time;
34 Days After, afternoon time;
39 Days After, day time;
39 Days After, evening time;
40 Days After, afternoon time;
40 Days After, evening time;
41 Days After, lunch time;
41 Days After, evening time;
41 Days After, night time;

40 Days After, morning time;

937 93 5
De aulizas

[Katelyn Millia]

Seminggu sebelumnya, aku menerima e-mail yang memintaku untuk datang ke tempat ini, sebuah restoran Turki yang dari spanduknya jelas masih seumur jagung. Seperti yang dapat kautebak, restoran itu memiliki bernuansa Timur Tengah yang kental. Cat cokelat muda seperti warna gurun pasir, lampu-lampu berbentuk gelas terbalik yang bergantung di kanopinya serta lantai yang terbuat dari batu. Sekalipun tidak terlalu luas, posisi perabotan serta perpaduan warnanya akan membuat pengunjung merasa nyaman.

Jumlah pengunjung dapat dihitung jari waktu itu, sehingga aku dapat bebas memilih tempat duduk. Aku mengambil posisi di bagian tengah restoran, pada sebuah sofa berlengan berwarna merah bata. Pola geometri di permukaannya terlihat rumit dan juga klasik khas dongeng 1001 malam, menyebabkan aku berpikir bahwa ada kekuatan magis di sana.

Daftar menu merupakan hardcover yang sengaja diletakkan berdiri di tengah meja. Tak ada satu pun jenis makanan yang familiar untukku, sehingga butuh waktu lama bagiku untuk membaca satu halaman. Bahkan, sampai seorang pelayan datang menghampiri, aku masih berkutat dengan benda itu.

"Apakah saya bisa mengambil pesanan Anda?" Pria itu membuka buku kecil yang ia bawa.

"Ah." Aku cepat-cepat menelisir tulisan dan foto di buku menu.  Sayangnya, aku sama sekali tak tahu apa yang harus aku pesan.

Mungkin karena dia menyadari kebingunganku, jadi pria itu berkata, "Saya menyarankan menu andalan restoran ini, köfte."

"Baiklah. Itu saja." Aku mengangkat kepala. Pria itu sedang menulis. Rautnya fokus. Tapi karena wajah itu terlihat familiar, aku mengerutkan kening.

"Bagaimana dengan mi--"

"Joseph?"

Mata pria itu membulat, lalu tersenyum ramah tanpa menatapku langsung.

***

Aku cukup senang sewaktu mengetahui kalau aku tidak salah orang, sehingga aku tak perlu menahan malu karena asal bicara.

Setelah menyelesaikan makanku, Joseph datang menghampiri untuk duduk di hadapanku. Penampilannya yang berubah 180 derajat membuatku hampir pangling. Dulu wajahnya mulus tanpa keriput atau janggut tipis di bawah dagunya. Badannya juga berisi penuh otot, tak kurus seperti sekarang. Joseph yang kukenal punya garis muka yang kuat dan tegas, bukan lembut seperti kucing yang memerlukan kasih sayang. Satu-satunya yang tak berubah adalah mata abu-abunya yang khas.

Terakhir kali aku melihat Joseph adalah sewaktu pengadilan sepuluh tahun lalu. Kasus itu melibatkan kelompok muslim yang mengajarkan paham Islam pada Joseph. Keputusan hakim menyatakan kalau mereka tidak bersalah. Padahal, pengacara yang disewa oleh Tuan Carpenter menjabarkan banyak bukti kuat kalau kegiatan kelompok itu berhubungan dengan terorisme dan mereka mencoba merekrut orang-orang baru di kota. Aku tak pernah melihat lagi Joseph sejak itu. Keberadaannya di Maine pun kuketahui dari Richard setelah kakakku dirujuk ke rumah sakit jiwa akibat menderita depresi. Pernyataan Joseph di hari natal ternyata menyebabkan Cecile menderita PTSD.

Post Traumatic Stress Disorder atau gangguan stress pascatrauma adalah kondisi mental di mana seseorang mengalami serangan panik yang dipicu oleh trauma masa lalu. Sejak menyadari bahwa dia harus kehilangan suami yang amat dicintainya karena suatu paham, Cecile tak sanggup bila harus melihat seorang muslim. Jangankan bertemu langsung, mendengar radio berbahasa Arab saja dia akan berteriak.

Penyakit itu bertambah parah ketika Cecile mengetahui kalau Tuan Carpenter mengusir Joseph dan tak diizinkan untuk bertemu keluarganya sendiri. Cecile butuh tambahan waktu sekitar setengah tahun untuk pulih dan masih harus melakukan terapi berjalan. Ketika Cecile diizinkan kembali untuk tinggal di rumahnya sendiri, Lara pun mulai dilarang bersekolah di sekolah umum. Sayangnya, kakakku menjadi benci pada suaminya sendiri.

Aku bersyukur Cecile sudah lebih baik sekarang. Akan tetapi, aku khawatir sesuatu akan terjadi karena keberadaan Joseph di sini.

"Aku senang melihatmu, Kate." Suara Joseph membuyarkan lamunanku. "Bagaimana keadaan Richard dan Suzzie?"

"Mereka baik-baik saja."

Joseph memainkan jemarinya gelisah.

"Lara dan Cecile juga sehat."

Pria itu menampakkan senyum simpul yang canggung.

"Kau pasti penasaran bagaimana rupa putrimu sekarang."

Dia mengangguk. "Sangat penasaran. Aku ingin bertemu, tapi aku tak bisa mendekat ke rumah itu."

Rasa prihatin menderaku. Dipaksa untuk menjauhi anaknya sendiri pasti sangat berat bagi Joseph. Dia punya pilihan, tapi pendiriannya ada di kepercayaan barunya alih-alih keluarganya sendiri.

Untuk pikiran orang awam, itu termasuk hal bodoh. Keluarga adalah segalanya bagimu. Tapi, nabi saja memilih meninggalkan keluarganya yang tak bersedia ikut di jalan Tuhan. Seperti Abraham misalnya yang orang tuanya menolak ajaran yang dibawanya atau Nuh yang istri serta anaknya tewas tenggelam ketika banjir besar karena tak percaya perkataannya.

Joseph juga pasti berpikir seperti itu. Karena tak mampu membawa keluarganya ke agama yang diyakininya, dia memutuskan untuk pergi. Sama halnya dengan kami. Karena Joseph mengingkari Tuhan, maka kami melepaskannya. Menurutku, tak ada sikap yang salah di antara kedua pihak. Hanya saja ketika mereka bisa hidup rukun, kenapa mesti menjadi musuh? Dunia ini beragam dan keragaman ada untuk dihargai, bukan untuk dijadikan bahan perkelahian.

"Maafkan aku karena memanggilmu ke sini, Kate." Joseph bersuara.

"Tak masalah," balasku dengan senyum berat. "Tapi, kenapa akhirnya kau memutuskan untuk menghubungiku? Bagaimana kalau aku juga menaruh dendam kepada muslim?"

"Nyatanya tidak, bukan?"

Aku kehabisan kata-kata.

"Aku mengenalmu, Kate, sejak aku memacari Cecile di masa kuliah dulu. Aku tahu kau orang yang tidak gampang membenci. Itulah kenapa kau lebih sering menjadi penengah daripada menjadi orang yang menimbulkan masalah. Lagi pula, sewaktu ayah--maksudku, Tuan Carpenter menyatakan bahwa dia mengusirku dan tak memperkenankan aku untuk mendekati kalian, kau hendak mengangkat tangan untuk menolak."

"Itu ... aku--aku minta maaf."

"Kau tak salah, Kate. Aku paham situasimu. Menjadi minoritas itu tidaklah mudah. Terkadang, kau harus beradaptasi dan tak jarang berbohong agar dapat hidup aman." Pria itu lalu mengambil sesuatu dari bawah meja, tas belanjaan dengan logo salah satu toko di pusat perbelanjaan yang dikunjungi Suzzie kemarin. "Tujuanku memanggilmu karena aku ingin minta tolong padamu."

"Apa ini?"

"Hadiah untuk Cecile dan Lara. Bagaimana pun Lara adalah anakku dan Cecile tetap istri sahku."

Aku menatap tas belanjaan itu, memegangi kedua sisinya. "Apa kau masih mencintai Cecile?"

Joseph tampak terkejut dengan pertanyaanku, tapi dia tidak menjawab.

Pikiranku melayang, membayangkan sepuluh tahun kehidupan Joseph tanpa berada di samping putri semata wayangnya. Sebagai seorang ibu, aku tak dapat mengkhayalkan bila jauh dari anakku sendiri. Itu seperti kehilangan arah dan tujuan hidup. Seolah-olah aku berada di tengah gurun pasir asing luas yang terlihat sama dari segala arah.

Dalam tiap detik kehidupannya, Joseph pasti pernah memikirkan baik tidaknya hidup yang ia jalani. Aku tak akan terkejut bila keraguan itu pernah menghinggapinya. Dia pasti pernah bertanya pada Tuhan-nya serta menangis tatkala berdoa. Akan tetapi, Joseph tetaplah manusia. Dia punya batas untuk bertahan. Dan, dia memilih waktu sekarang untuk merusak tembok itu.

Terkadang aku bertanya-tanya. Seandainya di rapat keluarga waktu itu aku mengutarakan pendapatku, mungkin Joseh tak akan duduk di hapadanku sekarang. Cecile juga tak harus merasakan rumah sakit jiwa. Lara pun tak perlu tumbuh tanpa mengenal ayahnya. Apakah ini kesalahanku?

Aku meneguk liur. "Aku benar-benar minta maaf, Joseph," kataku dengan suara bergetar. "Aku--"

Air mataku mengalir tanpa peringatan.

Kedua tanganku menutup wajah. Dadaku sakit dan perutku melilit-lilit. Jantungku seakan ingin keluar dari rongganya, seolah keempat biliknya tak akan mampu memompa darah ke seluruh tubuhku yang bergetar akibat adrenalin kesedihan. Perasaan membuncah itu ingin kutahan, tapi tubuhku menolak menuruti perintah.

Joseph hanya terdiam memandangiku menumpahkan semua emosi yang kutahan selama sepuluh tahun terakhir. Syukur karena restoran kala itu sudah kosong. Selain kami, hanya ada teman Joseph yang memandangi kami dari meja kasir.

Pria berkulit eksotis itu mendekat ketika Joseph memanggilnya. Di tangannya ada talang berisikan secangkir minuman. Dia meletakkan minuman mirip kopi itu ke hadapanku, lalu menarik kursi kayu untuk duduk di samping Joseph.

"Karena kau ipar Yusuf, aku memberimu minuman gratis," kata pria itu setelah tangisanku tersisa isakan. "Aku tak bisa menjamin kalau itu bisa mengurangi kesedihanmu, Nyonya. Tapi dengan meminum yang hangat, biasanya perasaanmu akan menjadi lebih tenang."

Aku mengucapkan terima kasih dengan suara yang tak jelas karena hidung yang berlendir.

"Dengarkan aku, Kate." Joseph berbicara, aku mengalihkan pandangan padanya. "Kau tak salah, begitu pun aku, ayahku, Cecile ... tak ada seorang pun yang bersalah di sini. Ini sudah suratan takdir, qada dan qadar istilahnya. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah menjalani sisa hidup kita secara sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang kita lakukan sebelumnya."

Aku mengangguk. "Aku mengerti, Joseph." Suaraku serak sewaktu berkata, tapi sudah lebih jelas dibanding sebelumnya.

"Yak." Pria berkulit eksotis menepuk talang di tangannya sekali. "Itulah kata-kata mutiara dari Yusuf Al-Farabi."

"Hentikan itu, Hameed."

Hameed tertawa, lalu berkata, "Perlu makanan penutup?" []

Continuă lectura

O să-ți placă și

35.5K 4.6K 76
Adeeva Humaira Laskar Khaizuran. Seorang wanita yang jauh dari kata agama dan tidak mengenal apa itu agama, selain tidak ada niat untuk berubah dia j...
966K 30.1K 58
Kesalahan karena kabur dari Mesir saat pendidikan membuat seorang gadis terpaksa dimasukkan ke sebuah pesantren ternama di kota. namun karena hadirny...
54K 2.1K 27
Serpihan cinta Gus Al dan Ning Syafa yang berakhir abadi🌹 Sebuah perjanjian yang membuat dua insan di persatu kan dalam ikatan suci pernikahan, yang...
21.5K 28 7
WARNING!!18+ Jika masi dibawah umur,kebih baik jangan membaca cerita ini,karena cerita ini berisi tentang hal vulgar yang dapat membangkitkan n*fsu...