Time Turner: First Love Never...

Von owlery99

46.1K 5.1K 589

"Coba saja hidup seperti ini! Bahkan kekasih sempurna saja sulit menghapuskan fakta bahwa cinta pertama tidak... Mehr

Blurb
Prolog
CHAPTER 1: Not the Beginning
CHAPTER 2: Full of Emma
CHAPTER 3: Interview Again
CHAPTER 4: Florist and Call For a Sudden?
CHAPTER 5: Just Like First Meet
CHAPTER 6: The Portkey
CHAPTER 7: Where the Bloody Place are We?
Hogwarts Cast
CHAPTER 8: Night at Hogwarts
Note
CHAPTER 10: The Ancestor
CHAPTER 11: Hogwarts Classes
CHAPTER 12: What Exactly G.M is
CHAPTER 13: Aleria S. D
CHAPTER 14: A Slytherin Girl
CHAPTER 15: Transfiguration
CHAPTER 16: Tree House
CHAPTER 17: The Pieces of Two (Part I)
CHAPTER 18: The Pieces of Two (Part II)
CHAPTER 19: Friends
CHAPTER 20: Tom's Suspicion
CHAPTER 21: Potter's Favorite White Rat
CHAPTER 22: The Tea Has Spilled

CHAPTER 9: The Beginning

1.3K 173 7
Von owlery99

Bonus video!!
*Gak ada hubungannya sama cerita ini siih tp its such a good video for fanfiction! Dan kira2 gambarannya ga jauh beda lah sama ff ini:D Recommended Dramione ff pokoknya, buat yang belum tau judulnya What the Room Requires di ff.net hehehe. Enjoy yaaaa!

o-o

Tom menghabiskan malam harinya di ruang rekreasi prefek yang luas dan hangat di dekat perapian dengan peta perompak di pangkuannya. Ya, dia mendapatkan benda itu dari Daniel dengan bersusah payah tidak terlihat gugup karena kecurigaan yang terpampang di wajah laki-laki itu, dan Tom tidak bisa melupakannya sampai sekarang.

"Maksudku.. apa kau punya peta perompak?"

"Tentu saja, aku punya. Memangnya baru berapa banyak kita menggunakan peta itu untuk mencari jalan rahasia? Sudah puluhan kali." Tukas Daniel yang masih berdiri di depan lukisan kesatria berzirah tadi.

"Oh— yeah, kau betul."

"Ada apa memangnya?"

"Aku memerlukannya, Potter." Tom menelan ludah, ia baru saja lupa dengan berakting seperti Draco. "Mau kau apakan? Benda itu tidak ada hubungannya dengan peristiwa tadi, kan?" tanya Dan curiga.

"Tidak. Well, kau tahu aku siapa, kan? Aku ketua murid. Kalau kau tidak memberikan—"

"Ini." Sesuatu dari balik jubahnya ia lempar ke hadapan Tom yang dengan sigap ditangkapnya.

"Gunakanlah seperlumu. Aku benci kalau kau sudah menggunakan kekuasaanmu— maksudku, kita teman, kan.." Tom mendadak merasa tak enak.

"Aku pergi dulu. Dan satu lagi, kau sangat aneh hari ini, Tom. Sejak kapan kau memanggilku Potter?" Tapi Daniel tidak menunggu jawaban apapun melainkan langsung berbalik, "sampai jumpa, Tom!"

Begitulah bagaimana peta perompak itu bisa di tangan Tom, sehingga ia berharap Daniel tidak akan mencurigainya sampai esok hari. Tadi ketika masuk ke ruang rekreasi, Tom tak henti-hentinya berkata amazing, wonderful, bloody hell dan serentetan kata takjub lainnya karena menemukan berbagai hal mustahil yang hanya bisa ia lihat di dalam film. Bahkan tentu saja segalanya lebih sempurna daripada di film. Ruangan yang Tom masuki itu begitu luas. Sekelilingnya ditata dengan bangku-bangku berlengan dengan warna masing-masing asrama Hogwarts, sementara di sudut tampak sebuah pintu kayu kecil yang bertandakan toilet, dan tidak jauh beberapa meter di sampingnya terdapat dua pintu yang bersebelahan. Pintu pertama tergantung tulisan RRP yang di bawahnya juga terdapat sebuah tulisan asing karena bentuknya yang bukan abjad. Sementara di pintu sampingnya tertulis The Heads, yang ia yakini sebagai ruangan khusus ketua murid, meski di bawahnya juga terdapat tulisan asing yang sama seperti pada pintu di samping. Jujur saja sebenarnya ia sama sekali tidak tahu bahwa ruangan prefek itu ada, bahkan di buku karangan J.K Rowling pun seingatnya begitu. Ia hanya tahu mengenai kamar mandi prefek yang disebut pada buku keempat, dan sekarang semuanya benar-benar tidak terduga. Ia tidak bisa menebak lagi hal apa saja yang akan ia jumpai esok, dan mengingat soal kelas dan jadwal-jadwal pelajaran yang tadi dibicarakannya dengan Dan, ia sungguh tak sabar. Tapi yah, tidak tahu juga apakah besok dia masih ada disini atau tidak.

Sebelumnya Tom sudah mencoba untuk masuk ke dua ruangan tersebut, namun ia menemukan bahwa kamar itu terkunci. Sehingga Tom hanya menghabiskan waktunya di bangku Slytherin berlengan dengan beberapa tumpuk buku di meja. Buku-buku itu bukan berasal dari rak besar yang terletak disana, melainkan dari tas yang Tom temukan di bangku yang sekarang ia duduki. Tas kulit berwarna hitam yang belum diketahui siapa pemiliknya, tapi Tom pikir bisa jadi pemiliknya itu adalah salah satu dari prefek. Di sebelah peta perompaknya itu tersimpan dua buah buku kecil yang tampak seperti jurnal dan buku harian. Sebetulnya ia sama sekali belum membuka peta perompak, karena Tom lupa atau bahkan tidak tahu bagaimana cara membukanya.

Perkamen persegi panjang yang penuh lipatan dan masih terlihat bagus itu—satu-satunya hal yang membuat ia tak habis pikir sejak tadi—terus menampilkan kertas kosong. Ia hanya mengingat cara menyelesaikan membaca peta itu dengan terus menggumamkan mischief managed, tapi tentu saja tak ada efek. Dan sialnya, kedua buku yang ditemukannya sama sekali tak memberi petunjuk apapun, kecuali selembar perkamen kecil tanpa nama yang berisi jadwal pelajaran lengkap terselip di bagian tengah salah satu buku. Sementara di buku harian yang satunya Tom hanya menemukan dua huruf kecil bertuliskan G.M di bagian bawah sampul depan yang ditulis dengan tinta perak, karena seluruh halamannya bersih kosong, tak berbekas. Tentu saja itu tidak membantu Tom menemukan sesuatu. Bahkan malah membuat kepalanya semakin pusing. Tom hanya menggerutu menatap buku harian itu, dan lama-lama merasa tergoda untuk mencari tahu. Diambilah buku harian yang berada di pangkuannya itu.

"Baiklah, aku sungguh bersumpah bahwa aku berniat tidak baik. Tak ada lagi yang bisa kulihat. Buku-buku di rak sana sama sekali tak terlihat menarik." Katanya pada diri sendiri sambil membuka sampul yang bertanda G.M itu. Namun belum sempat Tom menelisik halaman pertama yang kosong, matanya sekilas menangkap gambar dan tulisan-tulisan kecil yang muncul bergerak membentuk kalimat di atas peta perompak.

Mr. Moonie, Wormtail, Prongs dan Padfoot

Dengan bangga mempersembahkan Peta Perompak

Tom terbelalak. Peta itu baru saja muncul. Ia mengingat-ingat. Apa yang baru saja dikatakannya? Tom pun terdiam, dan sesaat kemudian air mukanya menunjukan takjub seakan menemukan jawaban. "Yeah. Aku tahu sekarang." Katanya lagi mengangguk-angguk dengan bersemangat. Seakan-akan kegalauannya sejak beberapa jam yang lalu sirna begitu saja.

'Ya, aku sungguh bersumpah bahwa aku berniat tidak baik. Itulah kata kuncinya!' Dalam hati Tom. Ia pun segera menaruh kembali buku yang ada di genggamannya dan membuka isi peta itu. Peta Hogwarts yang sesungguhnya membentang disana. Ya, ini bukan peta palsu yang biasa ia lihat di dalam film. Dalam peta itu, letak keempat asrama ditandai dengan warna bendera masing-masing. Seperti Gryffindor yang terletak di menara tertinggi, di atasnya terpajang bendera kecil singa Gryffindor berwarna merah, begitupun dengan asrama lain. Tom memperhatikan berbagai tempat dengan teliti seperti anak kecil yang baru menemukan mainan. Tapi karena malam sudah larut, ia tidak menemukan siapapun yang berkeliaran, bahkan ia tidak menemukan Emma sama sekali. Hatinya mulai gelisah tak karuan. Tom bangkit dari duduknya. Kemana Emma pergi? Haruskah ia keluar mencari Emma? Tetapi tidak mungkin. Ia tidak tahu harus mencari kemana dan terlalu bahaya berkeliaran di kastil, karena besar kemungkinan Hogwarts yang sebenarnya lebih menyeramkan dari apa yang selama ini ia tahu. Ia lalu berjalan mondar-mandir sambil masih memegang peta itu. Bagaimana ini? Seandainya Tom punya jubah gaib, mungkin sudah sedari tadi ia memutuskan keluar. Tom mengecek lagi peta itu, dan akhirnya menemukan sebuah nama yang sedang berdiri di ruangan prefek tempatnya berada. Seseorang itu adalah Thomas Malfoy. Tom terperanjat dan refleks melempar peta itu ke kursi. Seingatnya tidak ada siapapun di dalam sana kecuali dirinya, dan yang membuatnya lebih terkejut adalah bahwa kedua nama itu sangatlah tidak asing. Siapa dia? Mungkinkah Thomas Malfoy itu dirinya?

**

Emma berusaha mengingat-ingat adegan sekolah yang ada di dalam film, barangkali memang tak ada bedanya Hogwarts yang ini dengan yang ada di layar. Karena setidaknya ia tahu kemana akhirnya kakinya membawanya. Ia membutuhkan tempat yang sepi dan tenang, dan sebuah dinding di suatu koridor yang lebar tiba-tiba menarik perhatian Emma. Ia terhenti disana. Memperhatikan dinding itu dan sepertinya ia benar-benar tahu akan kemana dirinya sekarang. Ya, Ruang Kebutuhan.

Emma memejamkan mata. Berjalan melewati tembok kosong itu sebanyak tiga kali. Menelusuri hasrat terdalamnya saat ini. Sesungguhnya ia sendiri tidak tahu apa yang diinginkannya, tapi barangkali ruangan ini jauh lebih tahu dibandingkan dirinya sendiri. Setelah dirasa cukup lama, Emma pun membuka mata dan sama sekali tak menemukan sesuatu yang muncul disana. Ia pun menarik napasnya perlahan, menenangkan diri. Emma berpikir mungkin saja ia telah salah dan sebenarnya kamar itu hanyalah fiksi, tetapi ia malah terdiam sesaat di depan tembok itu. Mengingat-ingat lebih dalam apa yang diucapkan buku tentang Ruang Kebutuhan.

"Buku ketiga... Tidak, tidak ada ruangan itu di dalamnya. Empat, lima.. Enam, ya! Enam. Tapi.. ' katanya kepada diri sendiri, sambil masih mondar-mandir di depan dinding itu, 'sepertinya bukan enam. Tidak dijelaskan tentang bagaimana memasuki ruangan ini. Kalau begitu pasti lima, ya! Dumbledore's Army! Dijelaskan di buku." Ia terus mengingat-ingat bagaimana cara tepat menemukan ruangan itu. Kemudian beberapa kata seakan terlintas di benaknya.

Emma tidak ingat persis apa kalimat yang tertera di buku, tapi ia rasa ia mulai ingat bahwa salah satu cara untuk menemukan ruangan itu adalah dia harus tahu apa yang dibutuhkannya. 'Ruangan itu tak bisa menentukan apa yang kita butuhkan,' pikir Emma. Maka ia berkonsentrasi keras pada apa yang diperlukannya.

"Aku perlu suatu tempat yang dapat menjelaskanku tentang semua ini, atau aku harus pulang. Tidak, tidak.. Itu terlalu gegabah. Aku harus tahu Hogwarts, kastil ini, dan siapa aku sebenarnya. Ya.. Siapa aku sebenarnya.."

Setelah merasa yakin dengan apa yang diperlukan, ia pun kembali mencobanya. Emma mengulang hal yang sama. Berjalan melewati tembok itu tiga kali dan berkonsentrasi terhadap kebutuhannya. Tak berapa lama, betapa terkejutnya Emma ketika mendengar sebuah desis suara di samping kanannya. Sebuah pintu yang terpelitur halus muncul di tembok itu. Emma menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia tidak percaya. Sungguh. Emma pikir harusnya butuh beberapa kali lagi sebelum ia bisa benar-benar memastikan bahwa dirinya bisa menemukan ruangan ini, bahkan ia nyaris saja menyerah dan memutuskan tidak mempercayai adanya ruangan itu jika percobaannya tak kunjung berhasil. Ia menggeleng-geleng tak percaya. Tapi daripada diam lama sambil terkagum-kagum memandangi objek itu, Emma pun memutuskan untuk masuk sebelum ada orang lain yang memergokinya.

Emma tidak bisa melihat apapun selain bayangan dari bentuk rak-rak yang menjulang tinggi dalam kegelapan. Bunyi derit pintu yang baru saja ditutup seakan menambah kesan horror. Seketika Emma teringat sesuatu. Ia lalu merogoh-rogoh saku jubahnya, dan mendapat tongkat—yang entah bisa dikatakan miliknya atau bukan. Ia masih ingat mantra-mantra yang dikenalinya dalam buku dan film. Namun ia ragu, apakah mantra-mantra itu akan bekerja? Toh kata-kata itu hanyalah ciptaan seorang penulis yang hebat, bukan berarti ia bisa menggunakannya di kenyataan seperti ini, kan? Tunggu, tetapi bukankah ia baru saja melakukan apa yang ada dalam buku itu? Bodoh. Ia pun segera melerai perdebatan dalam pikirannya yang sudah kemana-mana dan memutuskan untuk mencoba. Karena tidak ada sama sekali pencahayaan di dalam sana, maka Emma pun menarik napas perlahan dan menyerukan, "lumos!"

Ujung tongkat itu seketika memunculkan cahaya. Emma lagi-lagi menutup mulut dengan tangannya yang bebas. "Bisa! Aku bisa!" Meski ia bisa merasakan bahwa hanya dirinyalah yang ada di ruangan itu, Emma tetap berkata serendah mungkin menahan teriak karena takjub. Ia kemudian mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi. Bayangan berbagai rak tinggi yang sebelumnya ia lihat kini menjadi cukup jelas. Emma melangkahkan kakinya perlahan, mengamati deretan rak itu. Berbagai perkamen yang bertumpuk-tumpuk di dalamnya, juga buku-buku tebal di salah satu rak. Emma menyusuri ruangan itu. Melewati macam-macam rak yang sama bentuk. Awalnya ia pikir ruangan ini adalah perpustakaan, sehingga Emma sempat ragu apakah ia benar-benar menginginkan perpustakaan di saat seperti ini. Tapi anggapannya itu berubah ketika ia menyadari bahwa tulisan-tulisan yang tertempel di setiap barisan rak itu bukanlah sebuah judul buku, melainkan merupakan nama-nama beserta tahunnya. Dan ia mulai sadar, memang inilah yang ia butuhkan. Ruangan administrasi! Ia lalu mengangkat kembali tongkatnya dan berujar, "lumos maxima!". Ia membutuhkan pencahayaan lebih.


Pukul 6.30 pagi, jam besar yang bertengger di dinding ruang rekreasi berdenting keras, mengagetkan Tom hingga ia terguling dari sofa panjang Hufflepuff yang digunakannya untuk tidur. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, lalu melihat sekilas cahaya yang mulai agak terang dari jendela. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Perutnya mulai berbunyi. Ia lapar sekali, dan di saat seperti ini pikirannya kembali teringat pada Emma. Tetapi, di sisi lain ia juga mulai memikirkan tentang bagaimana kehidupan orang-orang disini memulai pagi hari mereka. Apakah wajar jika ia langsung pergi keluar begitu saja? Cukup lama Tom terduduk lunglai di lantai dengan pikiran yang berdebat soal pergi makan atau mencari Emma, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana dengan membawa tas yang ia temukan semalam beserta peta perompak yang dimasukan ke kantong jubahnya.

Tom dengan langkah pelan menyusuri koridor lantai empat yang masih sepi. Sesekali ia mencari kesempatan untuk menengok isi peta yang kini ia selipkan di jubahnya, takut kalau-kalau ada yang memperhatikan. Tetapi rasanya percuma saja melakukan hal itu, karena tidak ada satupun yang ia temui di koridor sana selain seekor tikus putih yang mondar-mandir melintas seenaknya. Akhirnya dikeluarkan saja peta itu dengan leluasa. Tom masih tidak bisa lupa dengan kejadian semalam dimana ia menemukan sebuah nama yang mestinya tidak asing lagi di telinganya. Ia pun menusuri letak dimana dirinya berada, melewati beberapa nama lain yang tersebar di sudut-sudut kastil, sampai tepat di belokan koridor menuju tangga pualam, ia kembali menemukan nama itu. Di tempat persis dirinya berada. Tom menelan ludah. Ia hampir tidak percaya. Isi perutnya yang sebenarnya belum diisi pagi ini mendadak seperti jatuh berguling ke lantai. Ia harus mempercayai ini, bukan tidak mungkin lagi bahwa sosok itu adalah dirinya, karena tidak ada siapapun disana sekarang. Ya, ia adalah Thomas Malfoy. Seseorang yang mesti ia cari tahu identitasnya. Tom lalu dengan sedikit berlari melanjutkan langkahnya. Tujuannya sekarang adalah ke Aula Besar. Siapa tahu ia bisa menemukan Emma disana.

**

Gadis berambut cokelat dengan jubahnya yang melambai terbawa angin itu terlihat muncul dari sebuah koridor. Langkahnya sedikit tergesa-gesa. Tangannya yang kecil menjinjing tas berukuran sedang, membuatnya tampak seperti akan memasuki kelas. Setiap kali ia menemui persimpangan, entah di ujung atau pertengahan koridor, ia akan berhenti terlebih dahulu seakan memastikan mana jalan yang benar menjadi tujuannya. Sampai ketika ia tiba di belokan menuju tangga utama, seseorang memanggilnya dari belakang.

"Emma!" Segera saja ia menoleh, dan mendapati sosok berambut merah dengan wajah bingung sekaligus khawatir.

"Err, Rupert?"

"Dari mana saja kau semalaman ini?" katanya sambil mendekati Emma.

"Mm, ak— aku baru saja dari ruang prefek."

"Semalaman kau disana?"

Emma mengangguk ragu. Ia terpaksa berbohong.

"Grace bilang kau tidak ada di kamarmu semalam, dan kupikir kau memang ada disana. Syukurlah kau tidak apa-apa." Rupert seolah meyakinkan dirinya sendiri dengan memperhatikan Emma dari kepala hingga kaki. Emma lagi-lagi hanya tersenyum kikuk.

"Kau mau kemana sekarang?"

"Aku akan sarapan di Aula. Rasanya jadi cepat lapar setelah kejadian kemarin. Kau sendiri?"

"Aku juga akan kesana, tentu saja. Kita harus memulai sarapan dengan baik bukan kalau tidak ingin mengantuk di kelas?" kata Rupert sambil tersenyum jahil. Emma tertawa menanggapinya, "kurasa justru sebaliknya."

Merekapun segera menuruni tangga yang sudah bergerak, menuju lantai dasar. Kalau Emma perhatikan, rasanya tidak ada yang berubah dari Hogwarts. Ia mengamati sekeliling dengan tertegun, karena semalam dirinya sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekitar. Dan tampaknya suasana hati Emma sudah mulai membaik, membuat pagi kali ini menjadi sedikit berbeda dari sebelumnya. Walaupun sudah melewati berpuluh-puluh tahun lamanya, ternyata Hogwarts tetap seperti yang ia tahu. Meski ada beberapa bagian yang memang dibangun ulang dan ditambah, seperti lift khusus untuk para staff termasuk kepala sekolah di bagian bawah jam raksasa, dan masih banyak sekali bagian yang tidak bisa ia temukan di dalam buku. Sesampainya di lantai dasar, murid-murid yang berkisaran tingkat satu sudah mulai terlihat berlalu-lalang dengan seragam mereka.

"Ya ampun, mereka rajin sekali! Ini masih sangat pagi bukan, Em?" Rupert tiba-tiba berbisik keras di telinganya. Matanya terbuka lebar-lebar seakan sedang memelototi anak-anak itu, sehingga dari mereka ada yang mempercepat langkah menghindari Rupert. Emma tertawa kecil.

"Yah, mereka pasti sangat antusias." Balasnya sambil berbelok menuju aula.

Belum lama ia sampai di depan pintu aula yang menganga lebar, seseorang dengan rambut platina yang khas mengalihkan perhatian Emma. Tom tampak duduk di ujung meja Slytherin sambil memandang sebuah perkamen yang ia tutupi setengahnya dengan tas hitam—yang seakan-akan miliknya. Tanpa sadar Emma memperlambat langkahnya menuju meja Gryffindor, dan Rupert yang menyadari itu pura-pura tak acuh dengan duduk segera di tengah meja, menyambar sepiring kue pie yang masih penuh.

Sementara itu Tom masih menatap peta perompak di tangannya. Ia mendapati dua nama yang dikenali, yakni Emmyra Granger dan Rupert Grant tampak berjalan memasuki Aula Besar. Dalam sekejap Tom bisa melihat Emma yang sudah berdiam di tempatnya melalui peta itu. Ia juga bisa merasakan bahwa wanita itu sedang menatap ke arahnya. Emma sama sekali tidak mengalihkan pandangannya sampai mata Tom dan miliknya bertemu. Mereka pun terdiam sesaat. Emma bisa melihat mata Tom yang tak ramah, dan jantungnya seakan berpacu begitu keras. Di bayangannya saat ini Tom akan datang menghampirinya dan marah-marah tentang peristiwa semalam. Tapi apa yang dia harapkan ternyata salah. Tom malah cuek, melipat perkamennya dan memasukan ke tas, lalu bergegas pergi dari sana. Mengabaikan Emma yang masih berdiri tak berkutik. Apakah dia marah?

Ketika Tom sudah benar-benar melewatinya, Emma baru menyadari bahwa tak seharusnya mereka bersikap seperti ini. Ia pun segera mengejar Tom yang dengan cepatnya sudah keluar dari aula, sampai-sampai tak sadar bahwa ia hampir saja menabrak Matthew yang sedang berjalan ke arahnya, terkejut.

"Ouch! Ada apa dengannya?" Tanya Matthew pada Rupert sambil memegangi dadanya. Rupert yang menoleh hanya mengedikan bahu. "Entahlah."

Di luar aula, Emma segera memanggil Tom ketika melihat lelaki itu akan berbelok menuju tangga utama. "Tom! Tunggu!" Serunya. Tom pun menghentikan langkahnya kemudian berbalik, namun ia sama sekali tak menjawab.

"Kau mau kemana?" Emma bertanya ragu.

"Aku ada kelas." Jawab Tom singkat.

"Sepagi ini?"

"Ya. Apa maumu?"

"Apa mauku? Ada apa denganmu?" Emma mengerutkan alis, sementara Tom yang mendengar pertanyaan itu hanya mengangkat kedua alisnya singkat. "Apa maksudmu, Tom?" Tanya Emma lagi. Ia sungguh tak habis pikir, sejak kapan Tom berani bicara seperti ini? Apa dia benar-benar telah merubah dirinya menjadi seorang Malfoy? Tetapi, oh, ia kembali ingat, sejak semalam Tom sudah berubah menjadi bukan yang ia kenal.

Tom kemudian mengedikan bahu. Emma hanya menghela napas melihatnya. Menatap Tom yang seperti ini sungguh tak nyaman dan tak biasanya. "Kita harus bicara."

"Kita sedang bicara." Tom benar-benar menunjukan wajahnya yang dingin.

"Maksudku, kita harus pergi dari sini. Ada yang ingin kubicarakan."

"Aku memang akan pergi sejak tadi, Emma. Bahkan aku akan pergi dari tempat ini kalau bisa." Tom ketus.

Emma lagi-lagi menghela napas berat. "Tom, kumohon, aku tahu kau mengerti maksudku. Kita harus bicara sesuatu. Tapi kalau kau memang marah padaku, jangan seperti ini."

"Marah? Kenapa aku mesti marah?"

"Baiklah, kalau kau memang tidak marah. Tapi kita harus bicara di tempat lain."

"Memangnya kenapa kalau disini?"

"Tidakkah kau lihat tempat ini sudah mulai ramai? Bagaimana kalau ada yang mendengar?" Emma nyaris berbisik namun tak membuat raut kekesalannya hilang. Tom melirik sekitar, dan akhirnya menyerah kali ini. Apa yang dibilang Emma memang benar, meski hal ini sedikit bertentangan dengan argumennya semalam. Toh setelah dipikir-pikir, dia belum siap juga menghadapi masalah seperti itu. Karena tiba-tiba saja Tom ingin mengenal Hogwarts lebih dulu.

"Baiklah. Aku tahu tempat yang bagus." Kata Tom akhirnya seraya melanjutkan langkahnya, menunggu tangga yang sedang berputar menghampiri dengan Emma mengikuti di belakang.

Keduanya saat ini sudah berada di ruangan prefek. Sebelum memasuki tempat itu, mereka berhati-hati sekali menyusuri koridor lantai empat, memastikan bahwa tidak ada prefek yang juga sedang atau akan datang kesana.

"Bagaimana kau bisa tahu tempat ini?" Tanya Emma curiga, memperhatikan buku-buku tebal yang bergerak-gerak kecil di raknya—satu-satunya objek pertama yang ia datangi di ruangan itu.

"Ceritanya panjang." Tom membalas ogah-ogahan lalu duduk di sofa Slytherin berlengan. Ia bertingkah seakan sudah lama menempati tempat itu. Emma segera menengok ke arahnya, menyipitkan kedua mata. "Sepanjang apa?" Sindirnya seakan menyadari bahwa waktu semalaman tidak bisa dibilang panjang untuk bisa menciptakan sebuah cerita.

"Well, tidak panjang juga. Tapi itu bukan sesuatu yang harus kuceritakan." Emma kali ini mengangkat sebelah alisnya.

"Ayolah, Emma. Aku tidak mengajakmu kesini untuk membicarakan itu. Kau tidak perlu khawatir, aku mendapatkan ini legal."

"Okay, baiklah." Katanya seraya duduk di kursi merah dengan ornamen singa yang berada di depan Tom.

"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?"

"Aku punya kabar bagus." Tom mengerukan kening, membiarkan Emma melanjutkan pembicaraannya.

"Tapi, sebelum itu, aku ingin minta maaf soal semalam. Aku sama sekali tidak berpikir jernih saat pergi dari sana. Jujur aku sangat kesal padamu, Tom. Kau seolah-olah bersikap bahwa aku orang yang tidak bisa kau percaya. Dan—"

"Sudahlah, aku tidak mau membahasnya. Itu bukan salahmu." Tom berkata sambil masih menunjukan sikap dingin. Membuat Emma kehilangan kata-kata. Ia berpikir bahwa apa yang dikatakan Tom barusan adalah permintaan maaf tidak langsung. Tapi bagaimana bisa ia mengatakannya tanpa wajah penyesalan?

"Em." Panggil Tom.

"Ya?" Sahut Emma setengah terkejut.

"Kalau maksudmu mengatakan itu adalah berita yang bagus, sebaiknya kau pergi."

"Aku belum selesai bi—" Tetapi Emma segera menghentikan kalimatnya, ia menghela napas, menunduk dan tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "baiklah, aku pergi." Katanya seraya bangkit dari kursi.

Tom tampak terkesiap, "ada apa? apa yang sebenarnya mau kau ceritakan?"

"Tidak penting." Emma berdiri di tempatnya sementara Tom mendongak menatapnya. Alisnya berkerut, "jadi, kau mempermainkanku?"

Emma mendecak sebal, "mempermainkanmu? Memangnya siapa yang dipermainkan disini?"

"Apa maksudmu?"

"Sudahlah, aku tidak ingin bertengkar denganmu. Sebaiknya aku pergi." Emma hampir saja menggendong tasnya keluar sebelum Tom mencegahnya. "Kau yang memintaku bicara dan sekarang kau malah pergi? Apa sebenarnya yang kau inginkan?"

Tetapi Emma tidak menjawab apapun melainkan menatap Tom sinis seakan memberi tanda, dan laki-laki itu, seakan sudah mengerti dengan sikap Emma, ia segera melepas genggamannya.

"Dengar, Tom, kalau kau memang marah padaku soal peristiwa semalam, aku minta maaf. Tapi kalau kau marah padaku atas semua yang sedang terjadi, kau harus tahu bahwa aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Kita sama-sama ada dalam posisi yang sulit. Kau tahu itu."

Tom menghela napasnya, "baiklah, aku minta maaf." Sebenarnya ia merasa biasa saja pada gadis itu, tapi mungkin Emma tidak merasa demikian.

"Dan satu lagi, jangan sombong begitu hanya karena kau memiliki peta itu di tanganmu, Malfoy." Katanya ketus sambil menyampirkan tas, lalu berbalik meninggalkan Tom. Tom melirik peta perompak yang terbentang di meja, menyeringis. Yah, sebenarnya ia tidak berniat sombong, apalagi bermaksud menyembunyikannya dari Emma, tapi baguslah kalau wanita itu bisa tahu lebih cepat.

"Tunggu, Em, kau mau kemana?"

"Kelas!" Emma menyahut sambil tetap berjalan membelakangi Tom.

Sekarang Tom hanya memandangi punggung Emma yang sedang menuruni lubang lukisan. Ia bersumpah kalau Emma sudah melewati malam dengan segudang pengetahuannya tentang Hogwarts, maka ia harus mengakui bahwa ia gagal. Ia telah gagal menjadi laki-laki satu-satunya yang Emma miliki disini. Ditambah dengan rasa penasarannya terhadap apa yang ingin Emma katakan. Ia pun segera meraih peta itu dan menyampirkan tasnya. Meninggalkan ruangan.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

479K 7.3K 82
A text story set place in the golden trio era! You are the it girl of Slytherin, the glue holding your deranged friend group together, the girl no...
250K 16.3K 21
"you might not be my lover, but you still belong to me" "crazy, you don't even love me but you want to claim me as yours? have you lost your mind jeo...
182K 6.5K 93
Ahsoka Velaryon. Unlike her brothers Jacaerys, Lucaerys, and Joffery. Ahsoka was born with stark white hair that was incredibly thick and coarse, eye...
132K 5.5K 99
a sister who's actions are untamed, and a brother who's feelings are untamed. With complete different personalities, yet an awesome bond, the sibling...