SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

Bởi SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta Xem Thêm

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

6

4.3K 431 12
Bởi SophieAntoni

***Hi guysss....thank u buat komentarnya yang bikin semangat...seperti biasa harap maklum dengan typo ya...happy reading!


Erick Leitner

Hari masih gelap saat mobil perusahaan membawa aku dan Heru menuju bandara. Masih pukul 4 dini hari. Aku mengecek ponselku, tersenyum membaca pesan Dara, kakak iparku, yang mengabarkan kalau Gia, ponakanku sedang ngambek karena tidak bisa bertemu denganku. Aku akan menelepon gadis kecil itu setibanya di Jakarta, setidaknya aku akan berjanji membawakan oleh-oleh untuknya dari penerbanganku ke Bangkok nanti sore. Mataku kemudian terpaku pada pesan Ava yang sejak semalam belum membalas pertanyaanku. Dari mana dia tahu aku kehilangan buku itu? Apa mungkin aku pernah bertemu dengannya sebelum ini? Ini sungguh membingungkan.

"Kenapa Rick? Tampang lo putus asa banget." Heru, partner terbangku kali ini, menggugah lamunanku. "Lo nggak dikasih jatah sama yang di Bali?"

"Sialan lo." Aku tertawa kecil dengan candaan Heru. "Ponakan gue ini."

"Ponakan!" dia mengulang kata itu kemudian tertawa keras seakan aku baru saja melakukan stand up comedy dengan tema anatomi tubuh kesukaannya. Percuma aku menjelaskan toh Heru tidak akan percaya padahal aku sudah pernah mengenalkannya pada Alex, sepupuku, beserta putrinya Gia. Pada dasarnya Heru selalu menyangsikan setiap alasanku karena ia sangat tahu kelakuanku di luar sana.

Heru sendiri sudah berkeluarga dan dia adalah ayah dan suami yang baik sepengatahuanku meski dia jarang pulang. 'Kebandelan' Heru yang aku tahu, karena aku lama terbang bersamanya, adalah joke-joke dan candaan joroknya yang tidak jauh seputar anatomi tubuh, tapi tentu saja itu hanya diantara kami berdua atau di antara teman pilot lain yang memang suka bercanda.

Saat ini aku sendiri sedang tidak berkencan dengan siapapun, kecuali Michelle, itu pun bukan suatu hubungan yang serius. Dan Tania? Seperti yang sudah kujelaskan pada Ava, kalau aku sama sekali tidak punya perasaan apa-apa pada kakaknya itu. Tania cantik, aku akui tapi tentu saja dia adalah tipe perempuan yang rumit dan sebisa mungkin aku tidak mau masuk ke dalam sebuah hubungan yang punya potensi rumit. Sejauh ini kami masih berteman. Setelah pertemuan kami di Lucy yang tidak berakhir baik, karena Tania begitu mabuk, kami sekali lagi bertemu di Mulia dengan kondisi Tania yang sehat walafiat. Perlu diingat sebenarnya saat itu aku sudah tidak mau menemuinya namun ia memaksa karena katanya ia hanya ingin membalas kebaikanku. Oke.

"Aku minta maaf untuk yang kemarin. Entah ada apa sama aku, aku begitu memalukan." Tania berkata setengah menunduk. Dia terus menyalahkan dirinya sehingga membuatku harus menghentikan aksinya itu.

"Rick, aku nggak pernah menyangka aku bisa seterbuka ini sama kamu. Kita bahkan berkenalan dalam situasi yang..." dia tertawa sedikit malu. "Tapi entah kenapa aku begitu merasa nyaman sama kamu...plis...kamu jangan terbebani dengan kata-kataku ini. Aku nggak punya maksud lain, aku hanya suka pertemanan ini."

Dia menatapku dengan sinar mata penuh kehati-hatian seakan ia mencoba tidak membuatku takut dan melarikan diri dari hadapannya. Bagiku yang sudah terlibat dengan banyak perempuan dengan segala bentuk hubungan yang biasanya sering kudefinisikan sendiri sebagai hubungan tanpa komitmen, tipe perempuan rapuh dan bermasalah seperti Tania harusnya segera kujauhi. Perempuan seperti mereka berpotensi menjadikanmu sandaran dan itu tentu tidak bagus untukmu yang belum bisa melihat perempuan itu sebagai bagian dari masa depanmu.

"Gue lebih senang lo ber-lo-gue." Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku dan seketika menciptakan senyum lega di bibir Tania.

Ini kesalahan berikutnya yang kubuat. Namun entah kenapa aku seperti tidak bisa mundur untuk terus melakukan kesalahan ini. Dan aku sendiri sudah tahu buah dari kesalahanku, Tania menyukaiku? Itu berdasarkan pernyataan Ava semalam.

Setelah itu Tania banyak bercerita tentang dirinya dan mengapa dia sampai babak belur saat pulang dari Singapura waktu itu. Aku hanya menjadi pendengar tanpa berniat memberikan pendapat apalagi solusi. Dan cerita Tania pun mulai menjalar ke kisah keluarganya. Termasuk tentang Ava.

"Ada sesuatu sama lo." Heru menepuk bahuku sebelum turun dari mobil. "Lo kelamaan diam. Itu berbahaya." Aku hanya berdesis menimpali kata-kata Heru. Setelah melewati security check point, kami berjalan menuju briefing room melakukan hal rutin bersama FOO yaitu pengecekan NOTAM, ramalan cuaca, rencana penerbangan dan hal-hal lain yang wajib kami lakukan sebelum penerbangan.

Dan sebelum naik ke pesawat aku sempat menulis pesan lagi untuk Ava karena sejak semalam ia masih belum menjawab pertanyaanku. Jujur aku cukup terkejut semalam bisa bertemu Ava dan aku bahkan menyebut namanya cukup lengkap.

"Gue pernah nanya ke Papa kenapa Ava nggak menggunakan nama belakang Papa. Waktu itu gue belum tahu sejarah Ava masuk dalam keluarga gue. Papa hanya bilang Ava lebih butuh nama Argani agar di masa depan, Ava akan jadi anak yang pemberani dan nggak takut apapun. Dan sekarang gue ngerti."

Cerita Tania ternyata tertanam kuat di otakku hingga nama itu mengendap dalam alam bawah sadarku. Entah kenapa aku bisa bertemu dengan dua perempuan dari keluarga rumit ini. Aku mencoba tidak peduli namun ternyata selalu ada hal lain yang menarikku kembali kepada mereka. Seperti sekarang.

Kamu menemukan buku itu? Bisa kamu kembalikan? Please, buku itu sangat penting. Makasih.

***

Ava Argani

Aku terpaksa membuka mataku akibat bunyi pintu yang digedor dengan nada yang menyebalkan. Aku melirik jam dinding di depanku. Pukul 8. Ternyata sudah tidak pagi lagi.

"Pintu nggak dikunci." Aku berseru dengan tenaga yang belum terkumpul sempurna. Tanganku bergerak mencari-cari ponsel namun tidak berhasil menemukannya. Aku berdecak kesal karena mau tak mau aku harus memaksa tubuhku bangkit. Dan ternyata ponselku sudah tergeletak di lantai.

"Gue bolos. Lo mau kemana hari ini?" pintu terbuka dan Desi masuk sambil membawa dua cangkir di tangannya. Aku meraih ponselku dan mengelus-elusnya pelan. Desi mengulurkan satu cangkir berisi cappuccino instan di depanku.

"Gue nggak ada ide mau kemana." Aku menjawab Desi kemudian kembali menarik guling dan membenamkan wajahku ke sana.

"Ke pantai Karma Kandara yuk."

Aku mendesah mendengar kata-kata Desi.

"Lo kebanyakan duit ya." Aku menyindir Desi mengingat semalam dia mengeluarkan duit yang cukup banyak hanya untuk melakukan misi gagal dan kalau benar ia mau mengajak aku ke salah satu resort dengan private beach-nya itu tentu saja aku bisa bilang kalau Desi memang kebayakan duit.

"Eh...gue ngajak lo ke sana dengan gaya orang miskin. Gue juga ogah kali bayar go pek ceng hanya untuk masuk doang." Desi mencibir dan membuatku tertawa kecil dan mengangkat wajahku memandangnya.

"Emang gimana cara orang miskin?"

"Ntar habis makan siang kita kesana sekalian nunggu sunset."

"Okelah...gue ikut aja."

Setelah Desi keluar dari kamarku aku segera mengecek ponselku dan melihat ada satu pesan masuk yang belum terbaca. Aku langsung ingat kalau semalam aku tidak membalas pertanyaan Erick.

Iya, aku menemukan bukumu. Bagaimana cara aku mengembalikannya?

Setelah mengetikkan balasan untuk Erick aku bangkit dari ranjangku dan berjalan ke kamar mandi. Desi mengajakku untuk sarapan di warung langganannya yang tidak jauh dari kontrakannya setelah itu ia mengajakku menemaninya mencari sneaker di Bali Galeria. Kami kembali ke Nusa Dua untuk mengambil pakaian ganti kemudian melanjutkan rencana kami ke pantai Karma Kandara.

"Gue kira lo udah pernah." Seruku saat tahu kalau Desi sendiri belum pernah ke pantai itu. Pantai yang menurut beberapa situs dan majalah travel sebagai salah satu pantai terindah di dunia.

"Masuk kesana harus bayar, selama ini belum ada yang mau bayarin gue. Jadi gue cari yang gratis dong." Mobil Desi mulai menyusuri jalan menuju bukit ungasan yang cukup menanjak dan terkadang membuat truk dengan muatan besar harus terhenti di tengah jalan karena kehabisan daya. Otomatis mobil-mobil lain termasuk mobil kami harus menjaga jarak yang cukup agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini otomatis menciptakan kemacetan lagi. Desi menyemburkan napasnya kesal.

"Gimana nanti kalau kamu ketemu Erick lagi, Va?" Desi tiba-tiba menyebut nama Erick. Aku meliriknya sekilas dan memutuskan untuk tidak menceritakan padanya kalau sebenarnya aku dan Erick sedang saling kontak saat ini. Aku hanya malas menciptakan story. Desi pasti akan penasaran dan bertanya terus menerus dan lebih buruk dari itu dia bisa saja menduga-duga dan menjalin skenarionya sendiri tentang hubungan aku dan Erick. Sedangkan aku sendiri tidak menganggapnya sesuatu yang istimewa. Orang yang terlebih dulu mengenal Kak Tania tentu saja tidak akan punya waktu untuk melirik ke arahku. Itu kenyataan, karena aku bicara berdasar fakta yang sudah terjadi selama ini.

"Nggak lah..."

"Dia kan temannya Kak Tania."

"So?"

"Ya...kan bisa saja."

"Ya kalau ketemu ya ketemu aja." Jawabku ringan.

"Kalau dia naksir lo?"

Aku langsung tertawa mendengar kata-kata Desi yang menurutku tidak pernah belajar dari masa lalu.

"Emang lo pernah dengar ada teman Kak Tania yang naksir gue? Gue hanya dijadikan mereka sebagai alat buat deketin Kak Tania. Gue hanyalah adek kecil yang selalu diseyumin, ditepokin kepalanya, trus dikasih coklat." Aku memandang Desi. Sahabatku itu hanya bisa mengangguk dengan senyum kecil menghias bibirnya.

"Lo sebenarnya nanya apa emang lo sengaja mo ngejek gue?"

"Idih...segitu sensitifnya. Lagian dulu lo emang adek kecil...sekarang lo udah gede dan cantik. Dokter lagi."

Kembali kata-kata Desi membuatku tergelak. Bahkan saat ada bersamanya saja, laki-laki pada umumnya akan melirik Desi dan bukan aku. Hei, aku sama sekali bukan tipe orang yang rendah diri hanya saja aku terbiasa melihat realita.

"Eh lo ingat nggak waktu kita baru masuk SMP? Ya pas kita baru temenan."

"Iya?"

"Lo ingat nggak lo ngajak gue main ke rumah lo terus kita intipin cowok tetangga sebelah."

Aku mengerutkan kening mencoba mengingat.

"Aduh...masa nggak ingat sih? Itu cowok lo bilang bukan tetangga lo sih tapi ponakannya atau siapanya gitu? Cuma lagi liburan atau lagi main. Masa nggak ingat sih?"

"Ummm."

"Ih...payah banget ingatan lo! Padahal lo sendiri yang bilang lo naksir tuh cowok waktu lo liat pertama kali lewat jendela kamar lo. Masa story tentang cinta pertama sama sekali nggak berbekas di ingatan lo sih? Cewek aneh!" Ledek Desi.

"Ah iyaaa..."

"Ingat kan?" Desi mersepons dengan cukup antusias. "Lo nggak bertanya-tanya kemana tuh cowok?"

"Ah...gue aja nggak pernah tau siapa namanya. Apalagi ingat mukanya. Nggak ada story lah! Jadi wajar kalau gue nggak ingat."

"Iya juga sih. Cowok itu tiba-tiba ngilang gitu aja ya dari perhatian kita."

"Kan dia cuma ponakan tante Nia dan hanya beberapa kali ke rumahnya."

"Emang sih, tapi kok gue yang penasaran ya...dimana sekarang dia? Padahal gue hanya liat dia sekali, tapi waktu itu dia oke banget sih. Keren aja meski dari jauh. Iya kan Va?"

Aku mengangguk setuju sambil mencoba lagi mengingat sosok yang beberapa kali sempat menghibur hatiku kala sedih karena perlakukan Mama padaku. Meski hanya melihatnya dari jauh. Dari balik jendela.

Kami kemudian terdiam. Desi mulai berkonsentrasi di jalanan setelah kami akhirnya terbebas dari macet. Mobil Desi meluncur mulus melewati jalan yang masih naik turun dengan pemandangan hutan-hutan yang diselingi dengan rumah penduduk dan villa-villa. Akhirnya kami tiba di ujung jalan, yang artinya jalan itu memang berakhir di tepi jurang tapi tentu saja tidak seseram yang dibayangkan karena di tepi jurang itu berdiri hotel dan restoran mahal yang salah satunya merupakan jalan masuk ke pantai Karma. Desi memarkir mobilnya di pinggir jalan dekat pintu masuk menuju Pura.

"Katanya tangga yang menuju pantai tuh di samping Pura. Ayo turun." Desi menarik ransel berisi pakaian ganti kami dan kami mulai menyusuri tangga yang dimaksud. Aku cukup takjub saat menyusuri tangga yang dibuat menembus hutan menuju pantai itu. Beberapa kali kami bertemu dengan monyet yang bergelantungan di antara pohon-pohon. Desi beberapa kali menjerit karena kaget melihat mereka. Aku cukup menikmati perjalanan menuruni tangga yang tampak mencekam bagi mereka yang tidak biasa. Untung Desi seorang arsitek yang sudah terbiasa menemui medan-medan berat seperti itu sedangkan aku sendiri selalu suka dengan bentuk petualangan seperti ini.

"Gue nggak bisa bayangin gimana capeknya kalau kita balik." Aku takjub sendiri saat berbalik dan menatap barisan tangga yang sudah ratusan kami lewati.

"Karena itu kita perlu berlama-lama di bawah." Desi menjawab dengan napas yang sedikit tersengal. Dan aku mulai bisa melihat bayangan pantai di bawah sana. Beberapa menit kemudian kami akhirnya sampai. Aku dan Desi benar-benar seperti menemukan surga, kami berenang dan bercanda sepuasnya tidak peduli dengan para tamu resort yang pada dasarnya orang-orang kaya yang menganggap pantai ini pantai pribadi, meski kami tidak berenang lebih mendekat ke arah mereka. Tapi memang hanya ada beberapa orang tamu resort yang sedang berenang namun seperti sudah ada garis batas tak terlihat di laut ini. Aku dan Desi sama-sama tertawa saat menyadarinya.

"Beda kasta coy!" seru Desi. "Pantai mah milik umum...nggak ada itu yang namanya pantai pribadi." Sambung sahabatku yang nyablak itu. Aku memutuskan untuk kembali ke pantai terlebih dulu. Mengambil ponsel dari tas dan mengabadikan beberapa sudut yang memukau dari pantai ini.

Namaku akan menjadi dokter Rama...bagus kan?

Tiba-tiba kalimat ini kembali terngiang. Aku menurunkan ponselku. Usaha Desi tadi untuk membuatku mengingat cerita masa awal SMP kami yang sudah memicu otakku untuk menelusuri kembali cerita kami di masa itu.

"Oh my God!" seruku tertahan. Aku memang tidak pernah tahu nama cowok itu. Cowok yang aku liat pertama kali lewat jendela kamarku. Setahuku Om Reno dan Tante Nia, tetangga kami, tidak punya anak. Dan cowok berseragam SMA yang kulihat siang itu menurut Bi Imah, asisten rumah tangga kami, adalah keponakan mereka.

"Oh Mas itu...aduh bibi lupa namanya. Itu ponakannya Bu Nia. Si Asih yang bilang." Asih adalah asisten rumah tangga Tante Nia.

"Kenapa emangnya neng Ava? Naksir ya?"

"Ih bi Imah sok tau!"

"Iya neng Ava naksir nih. Ntar bibi cari tau ya jadi itu...umm...informan."

Aku tertawa kembali mengingat obrolanku dengan bi Imah saat itu. Semuanya baru muncul begitu jelas sekarang. Aku tiba-tiba teringat semuanya. Dan ingat dengan kejadian itu saat aku menghambur keluar dari rumah karena habis dimarahi Mama. Aku jatuh tepat di depan rumah Tante Nia. Lutut dan sikutku berdarah namun saat itu aku seperti tidak merasakan sakit karena rasa itu sudah tertutup dengan rasa maluku. Aku jatuh tepat di depan cowok itu dan saat itu aku masih mengenakan rok seragamku. Bayangkan bagaimana posisiku saat jatuh waktu itu.

"Kamu nggak apa-apa?"

Aku mencoba pergi dari hadapannhya namun perih dilututku membuatku meringis kesakitan. Tangannya menarikku ke halaman rumah tante Nia. Dan aku hanya bisa menurutinya tanpa bisa protes.

"Tunggu di sini ya."

Beberapa menit kemudian dia membawakan kotak obat. Ia membersihkan lukaku dengan kapas beralkohol. Aku sama sekali tidak berani mengangkat wajahku memandangnya.

"Aku pengen jadi dokter." Dia tiba-tiba berkata seperti itu. Aku sama sekali tidak bereaksi dengan kata-katanya. "Namaku akan menjadi dokter Rama...bagus kan?" dia mencoba mencari mataku namun aku berhasil bersembunyi darinya aku terlalu malu untuk membiarkannya melihatku setelah adegan jatuhku tadi.

"Kamu Ava kan?" Aku hanya mengangguk masih tidak mau memandangnya. Dia mengoleskan betadine dilukaku dan aku berdesis perih.

"Udah selesai."

"Makasih." Aku bangkit dengan tergesa meski lututku perihnya luar biasa.

"Hati-hati Ava!" teriaknya mengiringi langkahku keluar dari halaman rumah tante Nia.

Aku terduduk di atas pasir dan berdecak tak percaya. Apa mungkin dokter Rama adalah cowok itu? Aku memang tidak pernah jelas melihat wajahnya untuk bisa mengenalinya setelah bertahun-tahun. Dan aku bahkan tidak menceritakan pertemuanku dengannya pada Desi waktu itu karena aku terlalu malu untuk menceritakannya. Kisah ini berlalu begitu saja bahkan hampir terlupakan.

Kalau memang benar dia dokter Rama, maka aku tidak sabar untuk kembali ke Ende untuk menanyakan langsung padanya. Aku  tersenyum sendiri. Aku bahkan tidak peduli dengan kesanku terakhir pada dokter itu. Aku hanya sedang begitu bersemangat. Salah satu kenangan kecilku yang saat ini terasa begitu manis untuk dikenang.

"Desi!" Aku menjerit memanggil Desi. Tanganku melambai-lambai memintanya untuk kembali ke pantai. Aku sudah tidak sabar untuk menceritakan semua ingatan ini.

*NOTAM: Notice to Airman, isinya pemberitahuan pada bandara-bandara yg perlu diketahui pilot, (ramalan cuaca) yg didapat dr BMG setempat (yg berisi ramalan2 cuaca di bandara keberangkatan, bandara tujuan, dan bandara alternatif kalau memang harus mendarat darurat)

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

2.1K 122 20
Hidup Raka sempurna. Mahasiswa S2, wartawan surat kabar lokal, serta memiliki pacar cantik dan pengertian. Hingga suatu hari, pacarnya menyebut seder...
17M 755K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
13.2K 480 32
Gentala Indrayana terpaksa harus menikahi seorang Mentari Ranjana, Gadis yang baru di kenalnya selama kurang dari dua hari, semua itu karena insiden...
1.7M 83K 42
Seanno Hydar Smith. Pria tampan berhati iblis. Setiap ingin berhasil mendapatkan tujuan, ia akan memanfaatkan semua keadaan. Katrina Azella. Gadis ca...