LOOKING FOR MOONLIGHT

Galing kay Authorable_ID

3.5K 285 75

By @yooahra03 [Setiap Minggu] Mulai Agustus [Jia] Kamu adalah duniaku, seperti namamu, Sekai- dunia. Aku tahu... Higit pa

Opening : Jia's Diary
1. Percakapan di Sore itu.
2. New Classmate
3. Dia Memang Aneh
4. Rasa Bernama Kesepian
5. Mencari Sebuah Perhatian
6. Teman
7. Cahaya Bulan
8. Dalam sebuah kesendirian
10. Jarak
11. Perasaan
12. Antara Kita
13. Memahami
14. Perasaan (2)
15. Sesuatu tentang masa lalu
16. Hal yang tak terduga
17. Hujan Meteor
18. KITA
Penutupan (Jia's Diary)
19. Bulan

9. Ingin Bertemu

126 8 1
Galing kay Authorable_ID

Terkejut.

Belum pernah Alden merasa seterkejut ini hanya karena melihat seseorang. Melihat Jia. Gadis itu sudah berada di kelas ketika Alden baru tiba. Ada yang aneh lagi dalam dadanya. Terasa berdesir, kemudian berdebar-debar. Ia jadi gugup. Salah tingkah ketika sepasang mata milik gadis itu menoleh ke arahnya.

"Pagi..." Jia menyapanya. Untuk pertama kalinya.

Alden hanya senyum aneh dan menaruh tasnya di meja. Ia mulai menghindari tatapan gadis itu tetapi anehnya, ia justru ingin melihat ke arahnya lagi. Kenapa terasa merepotkan begini? Alden merutuk dalam hati.

Ketika pelajaran dimulai, Alden menjelma menjadi pendiam. Tak lagi mengoceh hal-hal tak penting. Dalam diamnya, ia melirik Jia. Saat sadar kalau gadis itu tengah memperhatikannya, ia tersentak dan mengalihkan pandangan dengan cepat.

Ketika Jia sudah kembali fokus dengan penjelasan guru di depan kelas, Alden kemudian melirik ke arah gadis itu. Matanya seolah terkunci pada sosok itu. Aneh. Perasaan macam apa ini? Ia senang, gugup, gelisah dan merasa berdebar-debar dalam waktu yang bersamaan.

Jia menoleh cepat. Alden tak sempat menghindar. Ekspresi wajahnya mirip seseorang yang ketahuan mencuri. Jika Alden boleh menginterupsi, justru dirinya-lah yang merasa bagian dirinya sudah dicuri. Oleh gadis ini.

"Kamu kenapa, sih, Al?"

Alden melongo lalu membuang muka. Ia menopang dagu hingga menutup mulutnya. Perasaan ini kian aneh hingga mampu membuatnya tersenyum sendiri.

***

Jia tidak fokus pada makan siangnya. Begitu pula dengan Alden di sebelahnya. Sekai belum kembali sejak pamit mau membeli makanan. Alden tak mengira kalau saat ini berdua dengan Jia menjadi momen yang membuatnya gelisah.

Dalam diamnya, Jia sedang memikirkan sesuatu. Ia melihat event pada sebuah majalah remaja.

Rika Oriana yang dulunya alumni dari akademi model pada majalah itu akan menjadi juri untuk ajang pemilihan model. Seperti sebuah kebetulan, acara akan dilangsungkan di Jakarta Selatan, kota tempat tinggal Jia. Ia merasa ini sebuah kesempatan baginya untuk bisa melihat ibunya secara langsung—atau bisa bertemu langsung dengannya.

Dalam diamnya, Alden melirik ke arah Jia. Memperhatikan detail wajah gadis itu. Matanya bulat dengan bulu mata tebal, dipayungi oleh alis hitam yang teratur. Hidungnya mancung. Bibirnya mungil berwarna merah, tampak mengilap oleh lipgloss tipis. Ia beralih pada rambut gadis itu. Hitam, tebal dan bergelombang. Digerai seperti biasa tanpa hiasan pita. Sederhana tapi cantik.

"Sekai kok lama, ya?" tahu-tahu Jia menoleh.

Alden tersentak. Ia membuang muka.

Jia mengerutkan alis. Merasa sikap Alden berubah.

Tak lama Sekai tiba. Namun ia tak sendirian, Kinal tampak akan bergabung dengan mereka.

Jia memandang ke arah Kinal sebelum meminta penjelasan lewat isyarat pada Sekai. Cowok itu hanya senyum.

"Mulai sekarang Kinal bareng kita," ucap Sekai.

Kinal tak mengatakan apapun. Ia duduk lalu mulai makan. Ia sudah memikirkan semuanya matang-matang. Ia butuh perubahan, seperti yang dikatakan Sekai. Dengan berinteraksi dengan orang lain, itu mungkin akan mengisi kekosongannya pelan-pelan.

"Eh? Siapa?" Alden baru sadar ada Kinal di meja mereka, namun Alden tidak begitu mengenali siapa gadis itu.

"Ini Kinal, temen sekelas kita. Masa nggak tahu?"

"Oh ya?" Alden memperhatikan wajah Kinal yang menunduk pada makanannya. Cowok itu mengangguk-angguk. "Halo, Kinal. Salam kenal."

Kinal hanya diam, tapi kepalanya mengangguk pelan.

Alden tersenyum.

Jia melihatnya. Sikap Alden biasa saja pada orang lain tetapi kenapa berubah terhadapnya? Ia ingin tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi pada cowok aneh ini.

"Elo sih, Al. Kenalnya cuma sama Zee aja."

Alden menoleh ke arah Jia dan kaget karena baru sadar gadis itu sedang memandangnya. Dengan cepat Alden mengalihkan pandangan. Menyeruput milkshake-nya kuat-kuat. Sekali lagi Jia hanya bisa bertanya-tanya kenapa Alden seperti itu padanya.

***

Jia mengepal kedua tangannya, menguatkan tekad untuk masuk ke dalam gedung mall tempat di mana audisi pencarian model dilakukan. Acara dilangsungkan di lantai dua, Jia menaiki eskalator menuju ke sana. Dan terlihatlah keramaian. Di tengah-tengah spot yang luas terdapat panggung catwalk. Acara sudah dimulai sejak dua jam yang lalu.

Jia mengenakan kacamatanya dan berbaur dalam keramaian itu. Sangat sulit menembus pagar betis yang padat. Namun ia tak mau menyerah karena hanya ini kesempatannya untuk melihat Rika Oriana. Melihat ibu kandungnya.

Dengan susah payah dan mendapatkan omelan sebal beberapa pengunjung, akhirnya Jia sampai di barisan depan. Tak begitu dekat dengan panggung. Ia kemudian mencari di mana para juri. Ia menoleh ke samping lalu terkejut karena di situlah para juri duduk. Ada lima orang, termasuk Rika Oriana. Perempuan itu duduk di paling ujung. Sedang fokus memperhatikan peserta yang berjalan di catwalk.

Jia tercengang. Tak menyangka akhirnya bisa melihat sosok perempuan itu secara langsung. Dia cantik. Seperti yang ia lihat di majalah dan televisi. Bola matanya bulat, persis seperti mata Jia. Gadis itu tersenyum. Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Rika Oriana barang sedetikpun. Ia memperhatikan gerak-gerik ibunya itu. Terkadang ia akan menunduk untuk menulis score di selembar kertas, lalu berbincang dengan juri lain di sebelahnya.

"Eh? Zianka?" seseorang mengejutkan Jia. Saat ia menoleh ditemukannya Alin, teman satu kelasnya.

"Kamu mau ikut modeling juga?" tanya Alin. Jia menggeleng cepat. Alin tampak heran lalu mengangguk. "Aku lagi nemenin temen di sini. Tadinya mau ikutan audisi tapi kriterianya kurang. Tingginya nggak menuhi syarat."

Jia hanya mendengarkan. Matanya kembali melirik ke arah Rika Oriana. Masih di sana dengan kesibukannya. Acara ini akan selesai sekitar dua jam lagi. Jia berencana mengikuti ke mana Rika Oriana akan pergi. Mungkin ia akan tahu di mana ia tinggal.

"Aku kira kamu ikutan. Soalnya kamu cocok loh jadi model." Alin rupanya mengamati penampilan Jia saat ini. Jia memang punya bentuk wajah yang proposional. Ia juga cantik. Tubuhnya lumayan tinggi untuk ukuran gadis berusia 17 tahun.

Jia selalu tak nyaman dengan jenis pembicaraan yang berhubungan dengan modeling. Ia hanya menanggapi ucapan itu dengan senyum aneh. Alin melihat lurus ke arah panggung.

"Wah, mereka cantik-cantik ya. Eh, Zi kamu pernah nggak sih kepikiran buat jadi model? Aku kadang kepikiran tapi yah...sadar sendiri sih. Badanku terlalu kurus dan gak bisa dibikin berisi." Alin kemudian melihat ke dadanya yang kecil. Ia mendesah kecewa.

"Eh, habis acara ini ikut bareng kita-kita yok?"

Jia menoleh. Apa yang dimaksud Alin dengan 'kita-kita'? Apakah Alin datang membawa rombongan teman-temannya? Yang Jia tahu di sekolah Alin jarang terlihat bersama teman-temannya. Jia bahkan tak pernah tahu kalau Alin punya teman. Pasalnya gadis itu sering menghilang saat jam istirahat. Di kelas ia hanya bicara sebentar dengan teman sekelas. Tidak akrab seperti yang lain.

"Aku ke sini bareng temen SMP-ku, mereka rame kok. Mau ikutan?"

Jia tersenyum aneh. Ia tidak akan ikut dengan Alin. Bukan karena Alin ingin mengajaknya bergabung dengan teman-teman yang asing. Tetapi karena Jia punya misi hari ini. Bukan hanya untuk melihat Rika Oriana, namun juga untuk mengikuti ke mana ia pergi. Jia ingin bertemu dengan perempuan itu.

Usai berakhirnya acara, satu persatu juri beranjak dari kursinya. Jia kelabakan. Ia pun mulai bergerak. Rika Oriana berjalan ke backstage, setelah itu ia tak terlihat lagi. Jia tak punya ide. Ia tak mungkin mengikuti sampai ke sana. Ia pasti akan dicurigai sebagai penguntit. Maka yang bisa Jia lakukan adalah berdiri di depan pintu ke luar mall yang menjadi akses utama menuju area parkir.

Dua jam berlalu, akhirnya Rika Oriana muncul bersama asistennya dan make-up artist. Jia yang semula hampir frustasi menunggu sigap berlari, menaiki taksi yang parkir. Untungnya taksi itu sedang kosong. Tak terbayang jika taksi itu sudah diisi penumpang lain.

"Pak, ikutin mobil yang itu ya." Jia tak pernah membayangkan kalau ia akan melakukan hal nekad yang pernah dilihatnya di televisi. Ia menguntit. Tetapi ia tidak melakukan kesalahan. Orang yang ia ikuti adalah ibunya.

Mobil van putih itu melaju dengan kecepatan sedang. Di belakangnya taksi yang membawa Jia masih mengikuti. Jia tak tahu di mana mobil van itu akan berhenti. Ia hanya berharap destinasinya adalah tempat tinggal Rika Oriana. Dengan begitu akan mudah bagi Jia untuk menemuinya. Bagaimanapun, ini kesempatan satu-satunya. Ia tak tahu apakah punya kesempatan di lain waktu.

Van berhenti di depan sebuah hotel mewah bintang lima dengan bangunan setinggi duabelas lantai. Pada bagian depan tertulis dengan besar 'LAVENDER'. Hotel yang dikabarkan sedang mengembangkan cabangnya ke taraf internasional. Salah satunya sudah dibangun di Kuala Lumpur.

Jia tercengang. Ia sama sekali tidak mengira kalau akan menginjakkan kaki di kawasan ini. Ia berpikir betapa berkelasnya ibunya.

Rika Oriana turun. Dua orang yang bersamanya tidak ikut turun. Tampaknya ia memang tinggal di sini untuk sementara waktu—sebelum kembali ke Singapura untuk pemotretan dengan majalah D'Mode Asia.

Rika Oriana memasuki hotel. Lalu menghilang di balik pintu kacanya yang berputar.

Jia tidak ikut turun. Tentu saja bukan ide bagus untuk mengikuti Rika Oriana ke dalam hotel itu. Pertama karena ia masih anak di bawah umur. Kedua, ia tidak merencanakan apapun. Ia tak mau melakukan hal yang ceroboh. Jadi untuk saat ini, ia cukup tahu kalau Rika Oriana tinggal di hotel Lavender. Besok, ia bisa kembali ke tempat ini, dengan sebuah rencana.

***

"Zi, bentar deh!" Alin menahan langkah Jia yang akan ke luar kelas bersama Sekai. Alden masih menyimpan bukunya sebelum menyusul mereka untuk pergi makan siang.

"Kenapa?"

Alin mengeluarkan secarik kertas yang sedikit tebal. Label TeenAble berwarna oranye terlihat jelas. Itu nama majalah yang kemarin melakukan audisi model. Acara yang didatangi Jia demi melihat Rika Oriana.

Jia tak mengerti.

"Kemarin di acara audisi itu ada agen model yang nyamperin, dia nanya tentang kamu karna kebetulan merhatiin kita di dekat stage. Ini kartu namanya, dia minta tolong sampein ke kamu. Kalo kamu tertarik jadi model, hubungi aja nomor teleponnya."

Jia tersentak. Sekai dan Alden juga ikut kaget. Terlebih Sekai yang sama sekali tak tahu kalau alasan Jia tidak di rumah kemarin adalah karena ia pergi ke acara audisi tersebut.

"Ah, aku nggak tertarik." Jia mendorong kartu nama itu ke arah Alin. Ia menoleh ke arah Sekai—yang seolah meminta sebuah penjelasan.

"Kai... nanti.. nanti aku jelasin di rumah. Ya?" lalu gadis itu ke luar kelas lebih dulu. Alden tak terima. Ia hendak menyusul.

"Hei, jelasin ke aku juga. Aku penasaran."

Namun Sekai menahannya. Alden menoleh tak senang.

"Lo harus sabar nunggu Zee percaya sama lo, Al."

Alden memberengut lalu melangkah pergi.

Sekai kemudian melihat ke arah Alin yang bingung. Ia tak perlu menjelaskan mengapa Jia menolak tawaran itu. Ia beralih pada Kinal yang diam di meja mereka. Cowok itu menghela napas.

"Kamu nggak ikut makan siang, Nal?"

Kinal menoleh, agak kaget lalu beranjak dari kursinya. Sekai tersenyum. Tampaknya Kinal masih belum terbiasa dengan pertemanan yang ia tawarkan.

Sepulang sekolah, di rumah Sekai, Jia menepati kata-katanya. Ia memberikan penjelasan mengapa ia pergi ke acara audisi pencarian model itu.

"Jadi kamu ketemu sama mama kamu?" Sekai tampak sangat kaget.

"Ketemu. Tapi yah, cuma aku yang liat. Mama nggak liat. Dan emang nggak sadar ada aku di sana."

Sekai memandang sahabatnya itu. Ia sendiri sudah tahu latar belakang keluarga gadis ini. Bahwa ibu Jia adalah seorang model—yang meninggalkan keluarga demi karirnya.

"Aku pengen ketemu dia, Kai tapi aku bingung." Suara gadis itu berubah pelan. Sekai tak menyahut. Ia tahu Jia ingin berkata lebih banyak lagi.

"Aku mikir apa mama juga pengen ketemu aku? Sakit kalo mikirin apa orang lain ngebutuhin kita atau enggak. Capek terus menebak-nebak apa yang dipikirin orang lain tentang kita. Sementara kita nganggap dia berharga." Jia diam-diam melirik Sekai, memikirkan perasaan tersembunyinya pada sahabatnya itu. Sekai tampak masih diam.

"Jadi apa rencana kamu? Masih mau stalking?"

Jia mengiyakan.

"Tapi beresiko kalo kamu pergi ke hotel itu, Zee."

"Iya aku tahu, tapi mau gimana lagi. Cuma di situ tempat yang tepat untuk ketemu. Aku nggak mungkin muncul di acara audisinya karena di sana ada wartawan."

Sekai menghela napas. "Aku cuma khawatir."

Jia melirik. "Khawatir tentang?"

Sekai hanya senyum. Aneh. Ia memikirkan sebuah kemungkinan di mana sahabatnya ini akan kecewa setelah bertemu Rika Oriana. Selalu ada kemungkinan seperti itu bukan? Bagaimanapun kenyataannya ibunya bercerai karena lebih mementingkan karir modelnya.

"Andai aku bisa ikut ke sana." Sekai tampak menyesal. Besok ia pergi ke kebun untuk survei tanaman bersama ayahnya. "Atau aku minta batalin pergi sama Ayah ya?"

"Nggak usah, Kai. Kali ini biarin aku sendiri ngadepin masalah. Lagian ini kan masalah keluargaku, Kai."

Sekai mengerti, walau masih menaruh khawatir.

"Tapi kalo ada apa-apa kamu langsung hubungi aku ya."

Jia mengangguk. Bahkan tanpa diminta ia pasti akan memberitahu Sekai, karena hanya padanya Jia menaruh kepercayaan, juga separuh dari hatinya.

***

Pulang sekolah tanpa kegiatan membuat Alden mudah diserang bosan. Ia meletakkan stik PS-nya sembarangan. Dua jam sejak kembali dari sekolah yang ia lakukan hanya bermain game. Dulu waktu kecil, bunda akan melerainya karena terlalu sering main, sekarang ketika ia bisa memainkan game itu sepuasnya, ia malah bosan. Ia malah rindu dengan omelan bundanya.

Alden tertawa hambar lalu membaringkan tubuh di atas karpet kamarnya. Ia memandang langit-langit dengan lampu yang menggantung. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Rasanya sangat membosankan, sendirian di dalam rumah sebesar ini.

"Den Dante, makan dulu. Dari pulang sekolah belum makan kan?" suara bi Uti terdengar dari balik pintu kamar. Alden hanya menyahut malas.

"Oia, Den. Bapak lagi di rumah." Sambung bi Uti lagi. Alden tersentak. Refleks ia bangkit dan ke luar dari kamar. Bi Uti masih di depan pintu kamarnya.

"Papi di rumah?"

"Iya, tapi masih di kamarnya, Den."

Alden merapikan dirinya lalu turun ke lantai bawah. Ke ruang tengah. Ia akan menunggu ayahnya di sana. Biasanya jika sudah di rumah, ruang tengah selalu menjadi tempat pertama yang dihampiri ayahnya—untuk sekadar minum kopi atau membaca koran.

Kemunculan ayahnya dari lantai atas membuat Alden menegakkan duduknya. Menunggu beliau sampai dan duduk di sofa yang sama. Namun harapan Alden pupus ketika ayahnya hanya melintasi ruangan itu untuk kembali ke pintu utama.

Alden melihat pakaian ayahnya yang masih rapi. Tampaknya akan kembali bekerja. Sebab Alden melihat pak Rudi—sopir pribadi ayahnya—membantu membawakan koper. Alden kecewa. Seolah mengerti apa yang dirasakan majikan mudanya bi Uti menepuk pelan pundaknya.

"Mungkin masih ada sisa kerjaan yang belum selesai, Den. Soalnya Bibi dengar, Bapak mau istirahat di rumah."

Alden hanya tersenyum, untuk menghargai usaha bi Uti menghiburnya. Ia kemudian berjalan ke lantai atas. Saat akan melewati pintu kamar ayahnya, ia berhenti. Ia memandang pintu yang bergeming itu. Ia ingat betapa seringnya dulu mengetuk pintu itu untuk mencari perhatian ibunya.

Alden kemudian meraih kenop pintu dan membukanya. Kamar yang terasa dingin. Dulu saat masuk ke kamar ini, ia selalu mencium harum bunga yang lembut. Harum kesukaan ibunya. Namun kini harum di kamar ini terasa hambar. Alden mendapati dinding yang semula diisi pigura besar foto pernikahan ayah dan ibunya kini sudah kosong. Sepertinya sudah lama diturunkan.

Setelah ke luar dari kamar itu, Alden mendengar bi Uti yang berlari ke arah dapur dengan sebuah amplop. Lalu terdengar suara yang menandakan ia sedang kebingungan. Alden turun dan melihat apa yang terjadi.

"Aduh, Pak ini gimana suratnya Bapak ketinggalan. Sana susulin ke hotel. Tadi Bapak udah pesen." Bi Uti merecoki pak Joko yang hari ini kurang sehat.

"Apa yang ketinggalan, Bi?" tanya Alden. Bi Uti menjelaskan.

Alden berpikir sejenak lalu memutuskan supaya dia saja yang pergi memberikan file itu pada ayahnya.

"Den Dante nggak apa-apa?"

Alden hanya mengangguk. "Papi di hotel utama kan?"

Bi Uti mengiyakan. Alden kemudian mengambil kunci motor matic-nya dan pergi ke luar.

***

Sudah sekitar tigapuluh menit sejak ia tiba, Jia masih berdiri di depan gedung hotel Lavender. Ia ragu untuk masuk. Juga merasa takut jika malah dihalau satpam karena dipikir tidak pantas memasuki hotel mewah itu. Namun ia tak akan tahu apa yang terjadi jika belum mencobanya.

Jia menarik napas lalu membuangnya pelan-pelan. Sebelum Rika Oriana kembali dari acara audisi, ia harus sudah di dalam hotel. Lalu menyapanya dan mulai bicara. Jia menguatkan tekad lalu melangkah masuk. Seorang satpam menghampiri, ia khawatir. Namun ternyata satpam itu hanya menanyakan apa yang dapat dibantunya. Jia berkata kalau ia menunggu seseorang di tempat ini. Lalu ia dituntun di kursi tunggu. Jia sempat takjub, bagian dalam hotel ini sangat berkelas. Lobi yang luas dengan meja resepsionis berwarna cokelat tua. Lima orang resepsionis terlihat sibuk melayani pengunjung.

Jia duduk di sofa panjang berwarna merah gelap dengan meja kaca berisi vas bunga lavender yang harum. Gadis itu mengamati sekelilingnya. Terasa berbeda berada dalam ruangan ini. Pengunjung hotel tampak dari golongan atas. Mereka berjalan menuju lift sembari memegang tablet—mengurus jadwal pertemuan. Lalu ada wanita paruh payah dengan anaknya, mereka baru saja ke luar dari lift untuk mendapatkan kopi di Coffee-Corner yang ada di lobi tersebut.

Jia melirik jamnya. Rika Oriana mungkin akan sampai sekitar setengah jam lagi. Ia mengetahui itu karena pada profilnya Rika Oriana menuliskan kalau ia selalu mematuhi waktu. Termasuk waktu sitirahat. Baginya waktu istirahat penting untuk kondisi tubuh dan penampilannya.

Jarum jam sudah berputar. Setengah jam berlalu. Sesuai prediksi, Rika Oriana sampai di hotel. Ia mengenakan long-dress hijau muda dengan blazer putih. Pada kaki jenjangnya terpasang high-heels setinggi 15 senti. Di tangannya tersampir tas berwarna krem. Seperti kemarin, hari ini ia masuk ke hotel seorang diri. Kini ia menuju ruang resepsionis, tampaknya ingin mengurus sesuatu.

Jia memandangi sosok itu. Kakinya gemetar. Bagaimanapun bukan mudah melangkah ke sana, menyapa Rika Oriana lalu mengajaknya bicara sebentar. Belum lagi karena Jia bertanya-tanya akan seperti apa reaksinya jika Jia mengaku kalau ia adalah putrinya? Namun rasa inginnya bertemu. Rasa inginnya mendengar langsung suara ibunya itu membuatnya mengesampingkan segala kekhawatirannya. Ia tak akan punya kesempatan seperti ini lagi.

Ia akhirnya beranjak dan melangkah ke arah Rika Oriana—yang masih berbincang dengan salah satu resepsionis. Namun langkah Jia terhenti karena kemunculan seseorang yang tiba-tiba di sebelah Rika Oriana. Seseorang yang ia kenal.

"Mbak, tadi Papi ketinggalan bawa amplop ini. Papi di sini kan?" tanya Alden pada seorang resepsionis. Perempuan itu kaget dan tak mengerti.

"Papi?" ulangnya.

Alden mendecak. Seharusnya ia tak menggunakan sebutan itu di sini karena tidak banyak yang mengenalnya. Ia berdeham kemudian.

"Maksud saya Pak Hadi Widana."

Barulah si resepsionis paham. Ia menerima amplop cokelat itu dan mengatakan akan segera memberikannya ke ruangan Hadi Widana.

"Kamu...Dante kan?" tak terduga Rika Oriana bertanya pada Alden. Ia menoleh dan memandang heran ke arah perempuan di sebelahnya. Kenapa orang ini tahu namanya? Siapa dia?

Rika Oriana tersenyum. "Kamu sudah besar ya sekarang? Masih ingat saya?"

Alden mengamati kemudian menggeleng. Namun perempuan itu tetap tersenyum.

"Dulu waktu kamu kecil, kita pernah ketemu—mungkin empat atau lima kali."

Alden tak mengingat sama sekali. Kenangan masa kecilnya tak menarik, karena dulu ia dan Varo sering menghadiri pesta yang diadakan hotel serta kolega ayahnya. Pesta yang membosankan dalam balutan musik klasik yang membuat Alden selalu memgantuk. Satu-satunya kenangan yang menarik dan tak akan ia lupakan hanyalah kenangan bersama ibunya.

"Saya Rika Oriana, teman ayah kamu."

Rika Oriana. Alden pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Tapi ia tidak pernah memperhatikan siapa dan bagaimana wajahnya. Ayahnya juga tak pernah menyinggung soal teman-temannya. Terlebih kenyataannya Alden maupun Varo memang tak pernah dekat dengan ayah mereka sendiri.

"Oh. Halo." Hanya itu yang bisa diucapkan Alden, demi menghargai. Ia menoleh ke belakang, untuk mengalihkan perhatian. Alden kaget begitu melihat Jia. Ia mengerjapkan mata untuk memastikan kalau ia tidak salah melihat orang. Jia mengenakan bowl-hat cokelat dan kacamata bulat, seolah tengah menyamar.

"Jia? Ngapain kamu di sini?" tanya Alden. Rika Oriana ikut menoleh ke arah yang sama. Jia melirik ke arahnya. Kini ia benar-benar melihat Rika Oriana dalam jarak yang dekat. Namun hatinya berdesir sakit saat tak ada reaksi berarti dari perempuan itu. Ah, tentu saja. Sejak kecil ia sudah ditinggalkan dengan ayahnya, mana mungkin Rika Oriana bisa mengenali bahwa Jia adalah putrinya. Dan kenyataan lain, mungkin saja Rika Oriana bahkan telah melupakannya.

Alden heran. Ia melihat Jia memeluk majalah dengan wajah Rika Oriana. Ia berpikir agak lama sebelum menemukan kesimpulan.

"Ah! Kamu penggemarnya tante ini?"

Rika Oriana tampaknya tidak menduga. Namun ia melihat majalah dengan wajahnya di sampul. Jia yang terkejut tak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Tubuhnya gemetar. Jantungnya berdebar-debar. Sangat tegang. Sangat gugup.

"Halo, salam kenal." Rika Oriana menyapanya ramah. Jia mendapati senyumannya yang teduh. Jia tak tahu harus berbuat apa.

"Kamu pasti gugup ya karna akhirnya ketemu idola kamu? Eh, foto bareng dong!" Alden mengeluarkan ponselnya. Rika Oriana maupun Jia sama-sama kaget. Namun Rika Oriana lebih profesional. Sebenarnya ia tak begitu senang jika berfoto dengan penggemar saat ia di luar jam kerja. Namun ia merasa tak enak menolak permintaan Alden—yang merupakan anak dari teman yang sudah banyak membantunya.

"Ayo, Jia." Ajak Rika Oriana. Jia tersentak. Ia merasakan senang sekaligus haru saat namanya disebut oleh ibunya.

"Ayo yang akrab." Alden sibuk mengatur kamera. Rika Oriana seolah mengerti kegugupan Jia. Ia merangkul bahunya dengan tenang. Tak tahu betapa berkecamuknya perasaan Jia saat itu terjadi.

Klik! Satu foto berhasil diabadikan.

"Bagus!"

" Eh sekalian tandatangannya. Nanti kamu nyesel loh." Alden dengan kesimpulan yang ia buat sendiri mulai sibuk. Ia meminta kertas dari resepsionis dan meminta Rika Oriana memberikan tandatangan.

"Nama kamu siapa? Jia? Jiya?" tanya Rika Oriana sembari membubuhkan tandatangannya.

Jia tak menyahut. Alden yang merasa tengah melakukan hal besar untuk Jia lantas menyahut. "Tulis aja Zianka Aneila, Tante. Itu nama lengkapnya"

Jia terkejut. Begitu pula Rika Oriana.

Zianka Aneila. Baginya nama itu terdengar familiar. Bukan hanya familiar tapi ia tahu benar nama itu. Rika Oriana menoleh ke arah Jia. Gadis itu memandangnya. Tidak mungkin! Pikir Rika. Apa mungkin gadis ini..Zianka Aneila yang itu? Anaknya?

Jia sudah tidak kuat lagi menahan perasaannya. Ia pun memilih berlari dari sana.

"Loh? Jia? Hei, mau ke mana?" Alden kebingungan. Ia melihat Rika Oriana dengan wajah heran. Apa yang sudah terjadi? Apa ia melewatkan sesuatu ketika sibuk dengan foto di ponselnya?

Lalu tanpa pamit pada Rika Oriana, Alden pergi menyusul Jia. Sementara itu Rika Oriana merasakan tangannya gemetar dan jantungnya berdebar-debar. Tidak salah lagi, itu anaknya. Ibu macam apa dia, yang bahkan tidak bisa mengenali anaknya sendiri.

***

Kini Alden dan Jia duduk di bangku taman yang tidak jauh dari hotel. Ketika Alden berhasil menyusulnya tadi, ia mendapati gadis itu mengusap matanya. Tampaknya menangis. Alden sungguh tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dan ia bingung mau memberikan pertanyaan seperti apa.

Alden berdeham. Jia tak mengalihkan pandangannya dari rerumputan di hadapan mereka.

"Uhm, aku nggak nyangka."

Jia tak menyahut. Tatapannya tanpa kosong.

"Kalo kamu sampe segitu gugupnya ketemu sama idola kamu dan kabur kayak tadi."

Jia ingin marah tapi ia merasa tidak berhak melakukannya. Sebab Alden tidak tahu apa-apa tentang masalah ini. Gadis itu menghela napas. Walau sesak di dadanya tidak menyurut.

"Aku bukan fansnya."

Alden tampak bingung.

"Rika Oriana, aku bukan fansnya dia."

Alden ingin bertanya namun Jia langsung menyambung, "dia mamaku."

Alden kaget kemudian diam. Jia menoleh ke arahnya. Reaksi Alden di luar dugaannya. Ia mengira dengan mengatakan kebenaran itu paling tidak Alden terkejut lalu heboh. Namun kali ini ia diam.

"Apa kamu percaya kalo aku bilang begitu?" tanya Jia. Alden masih terdiam, tapi tak lama kepalanya mengangguk. "Kamu bukan pembohong. Itu yang kutahu." Ucapnya pelan.

Jia tertawa pelan. Sangat jelas tawanya dipaksakan.

"Lucu ya, dia kenal kamu yang bukan siapa-siapanya tapi dia nggak kenal aku." Lalu air mata yang berusaha ia tahan justru keluar dengan mudahnya. Alden hanya memandangnya. Ia tak tahu harus melakukan apa. Lalu selanjutnya yang terdengar hanya isakan tertahan gadis itu bersama air matanya yang kian deras.

Alden bertahan dalam diamnya. Tangisan yang pernah ia alami. Tangisan yang pernah ia dengar dari mulutnya sendiri ketika merasa semua orang meninggalkannya. Tangisan yang ia tahan dan ia dengar sendirian dalam ruang gelap kamarnya.

"Kamu bener-bener berani ya." Ucap Alden. Jia mungkin tidak mendengar karena isakannya.

"Aku nggak yakin bisa senekad kamu untuk ketemu sama orang yang pengen kamu temui." Ia menghela napas pelan seraya melihat langit yang biru. Membayangkan betapa luasnya langit itu. Betapa jauhnya sebuah jarak antara dirinya dan Varo. Tetapi sejauh-jauhnya jarak antara dirinya dengan kakaknya itu, masih lebih jauh lagi jarak antara dirinya dengan ayahnya.

Alden tersenyum miris lalu menoleh ke arah Jia yang mengusap matanya. Tangisannya mulai mereda. Alden ikut lega, walau ia tahu dirinya tidak membantu sama sekali.

"Mau makan es krim?"

Jia hanya melirik sesaat. Mata gadis itu tampak merah.

"Selain cokelat, es krim bisa tenangin pikiran." Alden tersenyum polos.

Lalu pada malam harinya Alden melihat ayahnya di rumah. Bi Uti tidak bohong tentang ayahnya yang akan berisitirahat di rumah. Alden masih berada di balik pintu. Melihat ayahnya yang menunduk ke arah tablet. Mungkin masih tentang pekerjaan.

Alden ingin ke sana. Menghampirinya kemudian mengajaknya bicara. Tetapi kaki Alden terasa mengeras dan merekat erat pada lantai. Ia tak bisa beranjak. Yang dilihat orang lain, jarak antara anak dan ayah itu hanya sekian meter. Namun yang dirasakan Alden, jaraknya lebih jauh dari jarak bumi ke bulan. Jauh sekali, sampai ia merasa tidak bisa menggapainya. Jarak yang membentang jauh dalam hati mereka masing-masing.

Akhirnya Alden hanya bergeming sampai ayahnya beranjak, menaiki anak tangga untuk istirahat di dalam kamarnya. Alden tersenyum miris. Ia merasa begitu kosong. Sangat kosong.

***

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

256K 24.3K 30
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
3.2M 221K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
808K 96.2K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
1.3M 114K 43
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...