Di Bawah Nol (Book 1)

De agitaputrish

712K 100K 7.7K

(Completed) Dunia kini berbeda. Badai datang dan tak kunjung berhenti. Salju pun mengubur seluruh kota serta... Mais

Prolog
HOPE
Sampai Jumpa
Hari Pertama
Serangan
Padang Salju dan Rahasianya
Si Misterius
Penyakit Padang Salju
Bunker JKT-2034
Runtuh
Bangkit
Pencarian
Jembatan Tua
Harta Karun?
Lima Puluh Sembilan Jam
Characters Illustration
Halusinasi
Reruntuhan
Terguncang
Lebih Tangguh
"Harapan?"
Menunggu
Hutan Yang Tak Biasa
Sampai Jumpa Di Padang Hijau
Selamat Datang
Sosok Lain
Tentang Sequel
SURPRISE

Berdua Menantang Maut

23.1K 3.5K 268
De agitaputrish

Dengan memaafkan, kau akan merasa tenang.

Ucapan ibunya terus mengiang di kepala Ardela. Dia bukan tipe pembenci, tapi dia sulit memaafkan orang lain. Apalagi jika berurusan dengan bagian terpenting dari dirinya... hati. Dia mempercayai El untuk menjadi teman barunya sampai pistol itu ditodongkan ke keningnya.

Ya, El menempati urutan pertama di daftar Orang Yang Ingin Ardela Cekik. Namun kenyataannya, Ardela mengendap-endap ke tenda El sekarang. Berjalan perlahan di atas salju melewati kabin lalu menyelinap di belakang tenda barang. Sudah siap dengan ransel berisi buah manggis, air minum, tali dan peta.

Dia bersembunyi di balik pohon, mengintip. Dua laki-laki berdiri menjaga pagar, mata mereka fokus ke padang salju gelap. Dia pun melangkah perlahan dan nyelonong masuk tenda.

El sedang duduk di jok pesawat, mengasah tombak dengan batu. Dia hanya menatap Ardela datar lalu kembali mengasah.

"El, kau masih ingin membunuhku?"

Dia menoleh, mengerutkan kening. "Untuk sekarang sih tidak."

"Bagus, kau ikut aku, waktu kita hanya sepuluh jam."

"Kenapa harus aku? Kau 'kan punya pengawal," balasnya. "Sepupumu dan Damar."

"Mereka menyayangiku, mereka tak akan membiarkanku pergi."

El tersenyum masam lalu mengangkat kedua tangan. Dia segera mengambil ransel, pisau lipat dan tombak di sebelah joknya. Mereka bertatap sejenak, merasakan ketegangan yang memenuhi udara. Kemudian melangkah keluar tenda.

Mereka berdua berhasil melewati tenda dan kabin tanpa ketahuan. Pagar belakang dijaga Gilen dan Juna, sepertinya El bisa menangangi mereka. El dan Ardela bersembunyi di belakang kabin, melangkah perlahan menuju pagar.

Tiba-tiba... "Hey, kalian mau kemana?" tanya Disty. Dia menahan ransel mereka berdua.

"Kami harus ke bunker sekarang," balas Ardela. "Kumohon, jangan beritau yang lain apalagi Dirga."

Disty menatap mereka berdua bergantian. Lalu menyerahkan sebuah senter untuk El dan inhaler untuk Ardela. "Baiklah, tapi kalian harus cepat," bisiknya. "Dan please, jangan bertengkar atau saling membunuh di luar sana."

El mengangguk ke Disty dan tersenyum, dokter itu langsung memalingkan mata. Ardela bisa melihat pipinya memerah di bawah cahaya bintang. Disty pun menyuruh mereka berangkat dan berjanji akan menenangkan Dirga atau Damar yang ngamuk mengetahui Ardela pergi.

Mereka berdua mengangguk ke Gilen dan Juna saat melewati pagar. Langsung menyiagakan mata dan tombak saat menginjak padang salju liar.

***

Ini jam makan malam kanibal.

Di depan ada El, menyenter menembus gelapnya barisan pohon dan salju yang berjatuhan. Ardela di belakang, mendangak ke puncak pepohonan memastikan tak ada kanibal. Langit hitam pekat seakan dicakar ranting-ranting di puncak pohon. Sesekali terdengar sesuatu menggores batang pohon, adapula suara auman menggema di kejauhan, tapi mereka tetap maju. Waktu tinggal sembilan jam.

El melompati batang pohon yang menghalangi jalan. Dia menyodorkan tangan ke Ardela, tapi dia menggeleng. Bukannya minggir, El malah meraih pinggangnya dan mengangkatnya melewati batang pohon seakan ia tidak berat sama sekali. Ardela pun lanjut jalan tanpa mengatakan apapun.

Pepohonan semakin rapat dan akar tebal merambat meliuk-liuk di atas salju. Mereka melompati akar-akarnya tanpa berpegangan. Lumut berpendar menempel hampir di setiap pohon.

Tik! Tik! Sesuatu menetes ke kening Ardela, mengalir melewati hidungnya. Terasa dingin dan berbau amis. Dia menoleh ke atas, tapi El menarik wajahnya hingga ia menatap kedua mata itu.

El mengusap noda di wajah Ardela dengan lengan mantel. Nodanya merah. "Jangan lihat ke atas."

Dia menarik Ardela kembali berjalan, menggandengnya. Ardela pun melepas tangan El, mendorongnya sampai menjauh beberapa langkah.

El hanya pasrah, matanya menatap lemah Ardela yang berjalan ngebut di depannya. Setelah kejadian kemarin, ia tak berani mencari masalah dengan gadis itu.

Belasan menit kemudian mereka sampai di ujung tebing es. Sisa-sisa bangunan tersebar belasan meter di bawah mereka, mencuat dari salju gelap. Pegunungan memagari di kejauhan, langit luas bertabur bintang membelakanginya. Sepertinya cuaca malam cerah di balik pegunungan.

Itulah tujuan mereka. Tak ada jalan tercepat. Pilihan mereka hanya terbang atau berjalan melalui kota mati.

Ardela pernah baca, sebelum badai salju populasi kota Jakarta berjumlah delapan juta. Berkurang enam puluh persen selama satu bulan berkat hipotermia, tertimpa bangunan saat badai, kelaparan dan saling membunuh karena hilang kewarasan. Sebagian bertahan di bunker milik pribadi namun mati kelaparan karena berhari-hari terjebak badai. Sebagian nekat berjalan menembus badai menuju Graha.

Mereka yang sampai ke Graha bisa hidup. Mereka yang terjebak di reruntuhan kota, mati seperti yang lain, tapi mitos di Graha bilang tidak semuanya mati. Sekumpulan orang bersembunyi di balik bukit-bukit salju, bertahan hidup dengan cara menyeramkan. Selain badai salju, orang-orang itulah alasan populasi kota ini terus berkurang.

Pak Buana—guru Biologi kelas sebelas—berpikir masih ada sisa mayat di reruntuhan kota Jakarta. Tergeletak di rumah, gedung dan jalanan. Mayat-mayat itu terpreservasi berkat salju dan suhu di bawah nol selama dua ratus tahun. Seketika Ardela merinding.

El sibuk mengikat tali ke pohon. Ia menariknya, terdengar bunyi klik berarti sudah kencang. Dia mengikat strap ke tubuhnya, seperti mengenakan baju dan celana pendek dari strap. Terakhir, menyangkutkan tali ke kait di kedua pinggang serta pundaknya. Dia segera mengenakan strap ke tubuh Ardela. Beberapa kali tak sengaja menyentuh pinggangnya, sempat memegang pahanya juga.

"Berhentilah menyentuhku."

"Waw, kau bisa bicara." El berdiri begitu dekat, menyangkutkan tali ke kedua pundaknya. "Berapa nilaimu di kelas Land Skills?"

"Aku bisa menuruni tebing, jika itu maksudmu."

Ardela melangkah ke ujung tebing, lima senti di depan adalah udara bebas menuju kota mati di bawah. Dia berbalik, berpegangan ke tali di depan perutnya. El berdiri dengan posisi sama, dia pun mengangguk.

Mereka mundur bersamaan, melepas tubuh ke udara bebas. Untuk sedetik Ardela merasa seperti melayang, tapi kemudian ia menapakkan kaki ke tebing es yang keras dan dingin. Lalu melangkah mundur sambil bertahap melepas tali. Mereka bergerak cepat, pepohonan di atas perlahan menjauh.

El sampai duluan. Dia melepas tali dari kait dan membuka strap, langsung menyiagakan tombak. Ardela pun menyusul. Kemudian mereka melangkah meski udara dingin membakar paru-paru.

Mereka berjalan di antara bangunan berlapis es. Gedung setinggi beberapa meter menjulang di kiri dan kanan, nampak berdempetan. Terlihat bagian bawahnya terkubur salju, tak taulah seberap dalam. Barisan jendela yang memenuhi dinding gedungnya bolong semua, terdengar suara deru angin di baliknya. Ada semacam tiang di atap gedung, bengkok dan parabola di ujungnya jatuh ke atas salju. Mereka berdua pun melangkah di sampingnya.

Di sebelah kiri ada gedung, tingginya hanya tiga meter. Sebagian gedungnya hancur seakan sesuatu menabraknya. Terlihat dua susun lantai di dalam, dinding kelabu yang tidak rata menutupi belakangnya. Masih ada kursi dan tempat tidur besi di sana, terbalik dan terkubur salju. Ardela tak tau harus takut atau sedih membayangkan apa yang terjadi.

Tung! Ardela jatuh mencium salju. Dia segera berdiri untuk melihat apa yang menyandungnya. Ia menggali salju, menemukan semacam bulatan terbuat dari kaca. Di dalamnya terdapat bohlam yang sudah pecah. Itu lampu jalan. Ia pernah melihat foto kota Jakarta di tahun 2024, lampu jalan berbaris di sepanjang jalan raya. Bedanya, dulu bohlam itu berada tinggi di atas.

"Kau tak apa?"

Ardela berdiri, melangkah meninggalkan El. Kali ini ada pagar beton menghalangi, memanjang di kiri dan kanan sejauh mata memandang. Tingginya sepinggang, bagian bawahnya tenggelam di salju. Di balik pagarnya ada jalanan yang putih tertutup salju. Beberapa meter di depan ada pagar beton lagi. Jalanan ini membelah dua kompleks gedung.

Mereka melompati pagarnya. Ardela menggali salju dengan kaki dan menemukan jalanan aspal di baliknya. Tak jauh di sebelah kanan, sebuah tiang besi patah menghalangi jalan, masih ada tiga lampu bersusun di ujungnya. Sementara El menemukan sesuatu. Lempeng besi besar berwarna hijau tergeletak di bawah salju, tulisannya MENTENG.

"Kita memasuki pusat kota."

"Ya." Ardela kembali melangkah. "Berarti tiga jam perjalanan lagi."

Hujan salju tiba-tiba deras diiringi angin yang berderu kencang. Lima meter di sekeliling mereka mendadak tak terlihat. Mereka berdua pun berlari melompati pagar beton, mencari sisa gedung untuk berteduh.

Ardela berlari sambil memeluk tubuhnya sendiri, dia mulai menggigil. El berlari di sebelahnya, menahan hood di kepala Ardela agar tak lepas terkena angin. Mereka bisa merasakan salju menebal di kaki mereka dan memendam sepatu bot sampai betis, tapi tetap tak terlihat tempat berteduh. Hingga mata Ardela berhasil melihat menembus hujan salju.

"Di sana! Masuk sana!" Tangan Ardela bergetar menunjuk bangunan di sebelah kiri.

Mereka pun berlari memasukinya. Gedung itu tenggelam dalam salju, hanya menyisakan sedikit celah dan atap. Atapnya memanjang berbentuk persegi. Di tengahnya ada segitiga besar berwarna putih disangga dua tiang beton sewarna. Mereka merunduk melewati barisan huruf berwarna emas yang terpasang di bawah segitiga itu. Bertuliskan BANK INDONESIA, sebagian hurufnya dipenuhi salju. Lalu mereka memasuki celah berbentuk setengah lingkaran.

Ini semacam ruangan, atap beton hanya satu meter di atas mereka. Ruangannya cukup luas didominasi warna putih. Di tengah ruangan menggantung sebuah chandelier kristal, besar dan setengah bagian bawahnya sudah terkubur salju.

Sangking besarnya, El sampai bisa memanjatnya. Dia duduk di paling atas, di lingkaran besi tempat lampu-lampu kristal menggantung, kepalanya sampai menyentuh atap. Ardela pun ikut memanjat dan duduk di sebelahnya.

Hanya ada suara deru angin di luar. Mereka berdua terus membisu sampai El hampir gila.

"Aku belum minta maaf secara resmi."

"Tak perlu, sudah kumaafkan," balas Ardela dengan bibir sepucat porselen. "Tapi bukan berarti kita berteman."

El tertawa kecil. "Kau tau, sifat keras tapi manismu itu membuat banyak laki-laki di kemah terpesona. Kau bodoh jika tak menyadarinya."

"Ya, dan kau bodoh jika tak menyadari dokter termanis se-Graha menyukaimu."

"Aku sadar kok." Dia mengangkat alis. "Semua gadis menyukaiku."

Wajah Ardela berubah drastis menjadi marah. "Aku tidak!"

El tertawa, tak kunjung berhenti sampai matanya memejam terhimpit pipi. Tawanya begitu hangat dan menyenangkan, membuat Ardela tanpa sadar ikut tertawa. El masih tertawa, Ardela pun meninju pundaknya sedikit.

Dia cengengesan sambil menatap Ardela. Terus menatap, memperhatikannya yang memeluk tubuh sendiri. Perlahan cengenges El berubah menjadi senyuman. Bibirnya melengkung begitu sempurna.

Kedua matanya mempelajari wajah Ardela dari samping. Sesuatu membuatnya tak mau berpaling. Cara dia menggerling dan bibirnya yang sesekali ia gigit karena kedinginan. Memandanginya membuat El mendadak lupa ia sedang terjebak badai di tengah kota penuh mayat.

"Del, kurasa bukan hanya mereka yang terpesona." 

***

Ardela jatuh mencium salju. Lagi. Kali ini karena ketiduran sambil jalan. Kelopak matanya seakan memaksa menutup sekuat apapun ia melawan. Dia segera bangkit sebelum El menariknya dan kembali melangkah.

Hujan salju mereda tapi suhu tetap luar biasa dingin. Mereka sampai menutup mulut dan hidung dengan kain. Gedung-gedung masih mengapit mereka, El menyenter satu persatu, memastikan tak ada apapun. Sejak badai usai, dia terus mengeluh merasa diikuti dan mendengar suara seseorang berlari di dalam kegelapan. Ardela bilang ia hanya berhalusinasi karena mengantuk.

Ardela menyingkirkan butiran salju dari peta. Lalu menujuk ke kiri, mereka pun berbelok, kali ini gedung yang mengapit mereka tak begitu rapat.

Di depan sesuatu menghalangi mereka. Bangunan berbentuk persegi panjang, jatuh miring menimpa gedung di seberangnya. Setengah gedung sudah tertutup salju tapi beberapa lantai paling atasnya masih ada, menghalangi jalan mereka. 

El bilang tak ada cara lain, mereka harus menembus gedung itu. Masuk ke dalamnya. Mereka pun menyenter ke depan, perlahan memasuki gedung melalui lubang di jendela.

Rasanya aneh. Ruangan ini miring, terasa berbentuk jajar genjang karena atap berada di samping. Tentu saja mereka bisa jalan lurus karena salju menumpuk sampai jalanan rata. Sepertinya dulu gedung ini tempat tinggal. Ada meja dan kerangka kasur terguling bersimbah salju.

El sempat tak sengaja menginjak sesuatu, bertumpuk dan keras. Ternyata setumpuk buku, semua tulisan di kertasnya sudah pudar.

Di dinding, Ardela menemukan beberapa kertas ditempel. Salah satu kertas bergambar gunung biru dengan rumput hijau membentang di bawahnya. Di sebelahnya tergambar tiga orang dari garis dan lingkaran, ada tulisan KELUARGKU menggunakan krayon warna-warni di atasnya.

Dia melangkah mundur dan tersandung sesuatu, tapi tak sampai jatuh. Dia langsung melotot melihat apa yang menyandungnya. Itu sebuah tangan. Hanya bagian siku sampai jemari, mencuat bengkok dari tumpukan salju. Jemarinya nampak membuka kaku berwarna pucat kebiruan, sebagian tak berkulit dan menunjukkan tulang. Dia mundur terus dan mengejang saat menyentuh tangan lagi. Kali ini tangan El.

"Kita harus lanjut, tapi sebelumnya aku punya sesuatu untukmu." Dia mengambil tangan Ardela dan meletakkan sesuatu di telapaknya. Terbuat dari besi keperakan. Berbentuk elang dengan dua sayap membentang ke atas.

"Eaglet." Ardela tersenyum ke El. Selama di kemah tak ada yang memanggilnya eaglet, kecuali ibunya saat di radio. Dia rindu panggilan itu, tapi kemudian dia segera sadar, senyumannya pun lutur dan ia berpaling, melangkah duluan.

Setelah satu jam berjalan dan hampir gila sangking bosannya melihat salju, mereka sampai di depan pegunungan. Sempat melamun karena ternyata ini bukan pegunungan.

Barisan gedung memanjang memagari mereka, berdempetan satu sama lain dengan tinggi beragam. Bagiah bawahnya sudah terkubur salju, tapi masih ada puluhan lantai yang mencuat. Es kebiruan melapisi dinding semua gedungnya. Pantas saja terlihat seperti gunung es dari jauh.

Tinggi gedung-gedung ini mungkin lebih dari tiga puluh meter. Memanjatnya atau memutarinya akan memakan berjam-jam. Sementara waktu mereka tinggal tujuh jam.

El mengetuk lapisan esnya. Tak ada suara memantul, esnya terlalu tebal untuk dipecahkan. Dia pun hanya melamun.

"Ini kacau," katanya. "Kau punya ide, Nona Penjaga?"

Ardela menyusuri gedung-gedungnya, sesekali mengetuk dinding esnya untuk mencari yang tipis. El pun ikut melakukannya di arah sebaliknya, tapi mereka tak menemukan apapun.

Hingga kemudian Ardela menemukan hal lain. Serangkaian jejak di atas salju, berbentuk oval dengan lima bulatan di ujungnya. Seperti kaki manusia. Jejaknya datang dari arah kompleks gedung lalu menyusuri beberapa gedung dan hilang begitu saja. Jejaknya berhenti tepat di depan sebuah pintu besi bertulisan LORONG VENTILASI. Dia berasumsi pintu ini tembus ke sisi lain, ke balik pegunungan.

"Manusia." El menyentuh jejaknya. "Manusia macam apa yang bertelanjang kaki di atas salju?"

Mata Ardel berbinar karena pintu itu tidak ditutupi es. Seakan seseorang menggerus es dan membuat lubang menuju pintu itu. Jejaknya berlanjut ke sana.

Ada yang aneh dari pintunya. Bercak kecoklatan memenuhi hampir seluruhnya. Ardela kira itu noda karat biasa. Setelah ia mendekat dan menyentuh pintunya, terasa lengket berbau amis. Noda coklat kemerahan pun menempel di jemarinya.

"Darah." Dia dan El bertatap ngeri. "Aku tau siapa yang tinggal di sini."

El menggeleng. "Aku tau tatapan itu! Del, Aksa tak akan mendapat antibiotik jika kita habis dimakan kanibal."

"Kau punya ide lain?"

Cowok itu terdiam. Ardela pun memutar tuas pintunya dengan dua tangan, agak berat karena sudah berkarat. Ngik! Perlahan pintunya terbuka diiringi bunyi decit. Bau amis bercampur tulang busuk seketika menyeruak keluar, membuat mereka berdua terbatuk. Dia membuka pintunya sampai lebar, hanya ada kegelapan.

Ardela hendak masuk, tapi El menghalangi dengan tangan dan melangkah duluan. Lalu ia menggerling sok tampan "Jika aku mati, tolong jaga penggemar-penggemarku ya."

---

Thanks for reading!! Akan diupdate tanggal 29 Agustus 2016 :)

Continue lendo

Você também vai gostar

117K 28.9K 118
Kisah-kisah yang entah puitis, humoris, sarkastis, atau optimistis; bercokol di antara enigma dan ambiguitas :.:.: ( ~'-')~ Oracular: 30 Daily Writ...
174K 36.9K 65
[Pemenang Watty Awards 2019 Kategori Mystery & Thriller] Orang bilang Klub Jurnalistik dijuluki "Klub Jurik" karena ruangannya berhantu. Kalau itu be...
26K 4.5K 27
Roumeli penuh keingintahuan, namun di Terra Firma ada satu pertanyaan terlarang: "Mengapa dengan dunia?" Tidak ada yang bisa menjawab kecuali Beyaz...
Avenir [COMPLETED] De Natasha

Ficção Científica

263K 18.5K 25
🏆 Reading List WIA Indonesia Periode 1 Setelah selamat dari ledakan di sebuah laboratorium Kota Moorevale, Chloe Wilder dihantui dengan penglihatan...