Romance Suspense Short Story...

By vienasoma

1.2M 22.9K 1K

Romance Dark! Enjoy! Indonesia Langue! Be Nice or Leave ^^! PS: karena mulai tanggal 19/9/2018 cerita private... More

1. BEHIND
2. BEHIND - Second Chance (EKSKLUSIF)
3. GRAZE
4. GRAZE - GAMOPHOBIA (EKSKLUSIF)
5. TWO SIDES
6. PRIVATE PUNISHMENT
7. YOU'RE MINE
8. CRAZY - Guilty Pleasure part 1
9. CRAZY - Guilty Pleasure part 2 END
10. MONO-Drama
11. I WAS ONCE BY YOUR SIDE
12. HATRED
13. DON'T SPEAK
15. SAYONARA HITORI
16. AND I'M HERE
17. DEPTH OF MEMORY
18. MASTER'S MAID
19. TRAPPED IN A BOX
20. TRAGIC LOVE
21. WRITER'S BLOCK
22. HYPNOSIS
23. OBSESSION
24. PAIN OF LOVE
25. MY LIVY
26. FORBIDDEN
27. WAITING
28. ROAD END
29. ROAD END - The Misconceptions of Us (EKSKLUSIF)
30. THE MOMENT
31. ADVICE

14. BEYOND REPAIR

21K 605 14
By vienasoma

Main Cast: Lucas, Sascha

===========================

I know my love is hard. But I still want to hold on.

I'm sad... I'm sick... But I still have to let you leave me.

I can never forget about you.

Lucas POV.

Karena tak ada bahagia di sana. Hanya ada duka.

Karena tak ada tawa di sana. Hanya ada tangis.

Karena tak ada apa-apa...

Selain kekosongan...

Kepedihan...

Penderitaan...

Aku sudah berjuang dari titik saat aku mampu memulai hingga pada batas aku mampu bertahan. Tak ada jalan keluar. Di tepi ini aku menghadapi dinding yang begitu tinggi dan kokoh. Aku mengetuk. Mencari celah agar aku bisa membuat lubang dan menerobos masuk.

Namun tak ada...

Aku berjuang keras.

Menitikan keringat dan tangis yang melebur di pijakan kakiku.

Aku berdarah.

Memaksa kepalan tanganku bertemu dengan baja sempurna di depan mataku.

Aku sudah berlutut.

Mendongak pada langit dan memohon agar menurunkan keajaiban pada kegersangan hati dan harapanku.

Tak ada....

Tak ada... kau berada di balik dinding besar itu. Yang seakan mengejek usahaku untuk menggapai dan membawamu.

"Lupakan dia..."

"Aku tak bisa!"

"Demi Tuhan, Lucas!! Sadarkah kau apa yang telah dia lakukan padamu. Yang telah keluarganya lakukan terhadapmu? Apa kau tak punya hati? Tak punya malu?"

Aku menggeleng keras. Menekuk kaki dan merosot menyandarkan punggungku ke dinding. Lenganku menutupi wajahku. Tindakan pertahanan yang bahkan membuatku malu. Aku tampak lemah.

"Lucas..."

Aku mendengar rasa kasihan yang kental.

"Tidak! Aku tidak perlu kau kasihani Domian."

"Kalau begitu kasihanilah dirimu sendiri. Kau tampak kacau!"

"Aku baik-baik saja."

"Omong kosong! Aku melihatmu! Kau harus makan. Kau harus melupakannya."

Aku menutup telingaku.

Aku tak ingin mendengar lagi. Kalian tak ada yang mengerti. Rasa sakit menggerogotiku, seperti lintah-lintah kecil yang tak pernah puas sekali saja menghisap darah. Di bawah kulitku terasa gatal menyakitkan.

Siapapun tak akan tahu pedihnya menjadi diriku.

Kalian tak berhak menasehati apa lagi menilai tindakanku. Tusuk dirimu dan rasakan bagaimana perihnya. Bagaimana hampanya ketika melihat darah mengucur dari luka yang tak seharusnya berada di sana.

"Aku merindukannya..."

"Shit, Lucas!!! Kau harus bisa bangkit."

Aku mendongak.

"Bagaimana?"

"Berusaha!"

"Bagaimana aku bangkit jika dia membawa sebelah kakiku? Bagaimana aku meraih jika dia membawa sebelah lenganku? Bagaimana aku bernafas jika dia membawa sebelah paruku. Dan bagaimana aku bisa melihat jika dia membutakan sebelah mataku?"

"Luc..."

"Aku cacat, mate. Aku hanya sebuah struktur tulang dan daging yang melekat tanpa dia."

"She is not worthy!"

"But she is..." ujarku lemah. Dan Domian tetap tidak memahami kebutuhan besarku akan dirinya. "Tak ada yang tak akan kulakukan demi dia."

Domian mendengus marah. Wajahnya memerah dan dia memalingkan muka. "Aku tahu apa saja yang kau lakukan untuknya dan aku tahu apa yang dia lakukan padamu sebagai balasannya."

"Dia tak memiliki pilihan."

"Hooo, jangan berikan omong kosong itu kepadaku. Dia tahu apa yang dia lakukan. Dia tahu konsekuensinya. Dia membunuhmu perlahan. Dia menikmatinya. Dia iblis manis yang sangat mengerikan."

"Kau tak memahaminya."

"Aku sudah cukup menilainya." Domian mengutuk kesal.

"Aku yang melepasnya."

"Karena dia membuatmu melakukannya."

Aku terdiam.

Mengingat kembali hari dimulainya neraka dalam hidupku.

Ketika dia menangis. Ketika dia mencoba membuatku membencinya. Cintaku sangat besar, tak ternilai, tak bisa dijabarkan. Tubuhku bergetar, menarik dagunya dengan ujung telunjukku dan melihat wajah piasnya dengan taburan airmata. Aku tak menyukainya. Setiap tetes yang jatuh dari kedua matanya menoreh luka dalam di tubuhku. Aku menyekanya dengan lembut, mengecup keningnya dan membisikan kalimat terakhir jika aku sangat mencintainya kemudian berbalik. Pergi tanpa pernah menoleh.

Hari itu aku tidak hanya meninggalkan kekasihku. Sebagian dariku tertinggal dan tak akan pernah kembali, apa lagi tergantikan.

"Dia terhimpit."

Domian jelas kesal luar biasa. Dia membanting kursi di dekatnya.

"Sampai kapan kau akan terus membelanya?"

Aku kembali membekap tubuhku.

"Aku hanya ingin mengingat wajah tersenyumnya, bisikan cintanya, serta sentuhan lembutnya."

"Dan menyiksa dirimu karenanya. Bencilah dia, Lucas. Benci agar kau bisa melepasnya."

Aku kembali menggeleng. "Membencinya hanya akan membuatku semakin mengingat dan menginginkannya. Membencinya hanya akan menambah lukaku yang sudah berdarah. Membencinya hanya akan memperparah sebagian kecacatan yang ditinggalkannya. Aku..." aku melihat dari balik bahu Domian. Memandang keluar kaca yang memantulkan cahaya menyilaukan dan menarik nafas yang semakin lama semakin menyakitkan. "Aku akan selalu mencintainya, aku perlu merelakannya."

"Kalau begitu relakan dia!"

"Aku mencoba." Kataku lemah. Menyandarkan pipiku ke lengan yang bertumpu di atas lipatan kakiku.

"Cobalah lebih keras lagi! Dia sama sekali tak pantas mendapatkanmu."

"Dia..."

"Dia terhimpit." Sela Domian jijik. "Dia bisa memilihmu. Dia bisa memperjuangkanmu. Dia bisa lari bersamamu ketika kau mengajaknya. Dia bisa membahagiakanmu alih-alih menusukmu. Jelas dia perempuan egois yang licik."

"Dia mencintai orangtuanya."

"Yang menjual tubuhnya demi kucuran dana yang tak bisa mereka dapatkan darimu."

Diingatkan akan kekalahanku, aku tak mempersiapkan diri menerima terjangan rasa nyeri di hati dan di ujung-ujung jemariku. Aku meringis.

"Dia mencintai orang tuanya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tak bisa."

"Dia bisa!" Domian berlari dan bersimpuh di depanku. "Demi Tuhan dia bisa. Tapi tidak, mate. Dia memberikan punggungnya padamu. Bagaimana bisa dia memilih orangtua yang begitu kejam menjual anaknya pada pria kaya pertama yang menawarkan diri ingin menikahi putri mereka dan memberikan dana untuk membangkitkan kembali usaha mereka yang gagal? Bagaimana dia bisa memilih dijadikan tumbal seperti itu pada orangtua yang menutup mata pada cintanya? Tak ada alasan yang logis untuk kelakuannya. Dia berubah Lucas. Dia pasti sama seperti orangtuanya. Dia jelas memakai nama orangtuanya agar dia tak kau salahkan. Agar dia tetap menjadi malaikat. Padahal jauh di balik sayap putihnya dia menyembunyikan sayap hitamnya."

Aku menarik nafas dan meremas kepalaku.

"Pikirkan, Lucas."

"Cinta tak mengenal logika."

"Cintanya pada orangtuanya tak perlu memerlukan logika karena jelas dia sama mata duitannya dengan mereka."

"Kau salah!" kataku keras kepala, menghalau bisik-bisik yang kuredam dan kemudian dibangkitkan lagi oleh Domian. Meragukan cinta Sascha. Meragukan pengorbanan yang kulakukan karena tak ingin melihatnya menderita.

"Dia menangis, berusaha keras membuat dirimu membencinya."

"Yah..."

"Bagaimana jika itu semua hanya sandiwara?"

"Tidak! Kau lupa, Domian. Dia berusaha membuatku membencinya. Dia bahkan tidak memberitahu jika dia melakukan semua itu karena orangtuanya."

"Bagaimana jika itu semua memang sudah dia rencanakan?"

"Tidak Domian! Sascha tidak seperti itu! Aku yang melepasnya. Dia sudah putus asa karena aku tetap mempertahankan dia tidak peduli betapa besar dia melukaiku dengan kata-katanya. Aku memperpanjang waktu ketika mengetahui realita dari sikapnya. Mencari cara keluar dari lubang yang ingin menguburku. Aku sudah membujuk bahkan memohon di depan mereka, tapi tidak. Aku ditolak. Mereka ingin menikahkan Sascha pada pria yang lebih mampu membahagiakan putri mereka..."

"Yang lebih mampu memberi mereka uang sebanyak yang mereka butuhkan." Sela Domian penuh kebencian.

"Dan akhirnya aku mencapai batasku, aku melepasnya, karena sudah tak ada jalan keluar. Dinding itu terlalu tinggi dan tebal. Aku melepasnya ketika dia menangis mengatakan tak mencintaiku. Tak pernah mencintaiku. Bahwa tangisannya saat itu dikarenakan rasa kasihannya melihatku."

"Lucas..."

"Tinggalkan aku sendiri Domian." Kataku lemah, menyembunyikan kepalaku di balik lengan.

Aku mendengar suara tarikan nafas tertahan. Domian membelai lenganku.

"Kau tahu kau bisa mengandalkanku."

Ketika mendengar langkah kaki menjauh, pintu yang dibuka kemudian ditutup sedemkian pelannya. Aku menghirup udara sekeras yang kumampu.

Kukira...Semakin lama aku berpisah dengannya maka semakin baik keadaanku. Tak ada komunikasi dan sentuhan fisik mampu mengobatiku namun nyatanya tidak. Rindu untuknya tak bisa lagi kubendung. Kepedihan karena tak bisa memilikinya membuat tubuhku mendingin di setiap malam. Aku tak lagi pernah berjumpa dengan kenyamanan mimpi. Aku tak lagi bisa terlelap.

Duniaku telah membeku.

.

.

.

Author POV.

Suara dering ponsel membuat Sascha bangkit dan meraihnya di atas meja rias. Dia memekik dan tarikan nafasnya memburu ketika melihat caller id yang masuk. Kakinya goyah. Dia terhuyung, menyandarkan sebelah pahanya ke kursi.

Deringan itu mati dan selang beberapa detik berirama kembali.

Menarik nafas dia menerima panggilan yang tak disangka-sangkanya itu.

"Sascha..."

"Kenapa kau melakukan ini?" katanya sangat dingin. "Aku sudah mengingatkan, jangan menghubungiku lagi."

Suara desahan menggelitik telinga Sascha.

"Aku ingin mendengar suaramu."

"Demi Tuhan, Lucas. Berhenti menyiksa dirimu sendiri."

Sascha menggeram. Genggamannya pada ponsel androidnya mengencang hingga urat tangannya tampak keluar di balik kulitnya yang putih, "Kau merusak suasana." Lanjutnya tanpa belas kasihan.

Ada jeda yang menusuk. Wajah Sascha menegang.

"Aku tak tahu lagi apa yang harus kupercayai." Bisik Lucas lirih.

Sascha menarik kursi. Menatap wajahnya yang terpantul di depan cermin. Seperti boneka porselen yang baru saja dirias. Dia tampak luar biasa cantik. Matanya yang coklat membalas tatapannya.

"Itu bukan urusanku lagi." Ujar Sascha tak acuh, mengamati gerak bibirnya di cermin. "Pilihan semua ada di tanganmu Lucas. Dan kusarankan agar kau melupakan delusimu."

Sascha menaruh tangannya di atas meja. Dia mendengar dekingan kecil dari seberang saluran.

"Delusi?"

Sascha mengepalkan tangannya. "Delusi Lucas. Benar sekali."

"Apa benar selama 3 tahun kita menjalin hubungan kau sama sekali tak mencintaiku?"

"Tidak!" jawab Sascha cepat tanpa keraguan.

"Aku tidak percaya." Lucas bersikeras.

Sascha mengejek. "Tentu saja kau tidak percaya. Kau dan delusi cintamu. Apa kita akan membahas ini saja? Aku memiliki jadwal yang padat. Aku tak bisa meladenimu."

Hening sejenak.

Sascha siap dengan amarah Lucas. Tapi mengenal pria itu. Sascha tidak yakin jika pria itu akan memakinya. Dia dan hati malaikatnya serta kepercayaannya terhadap orang lain sungguh di luar nalar.

"Apa dia mencintaimu, Sascha?"

"Sangat! Dia sangat mencintaiku."

Genggaman tangan Sascha semakin kencang.

"Apa kau bahagia Sascha?"

Kuku Sascha mulai membuat luka di telapak tangannya.

"Lebih dari bahagia."

"Syukurlah." Dan suara tawa tulus Lucas hampir menghancurkan topeng yang setengah mati Sascha kenakan.

"Untunglah. Aku sangat lega mendengarnya. Setidaknya satu diantara kita merasa bahagia. Itu cukup membuatku bertahan."

"Lucas... Sebenarnya apa yang kau lakukan?"

"Aku mencoba melupakanmu." Suara Lucas mengecil hingga Sascha harus menahan nafas agar tidak melewatkan satu katapun. "Aku butuh meyakinkan diri jika kau bahagia. Jika kau tak menderita. Agar aku rela membiarkanmu pergi,"

Airmata yang sebelumnya dianggap Sascha sudah tidak ada, meleleh dari kedua sudut matanya.

"Aku bahagia! Sangat, sangat bahagia." Katanya berurai tawa yang kaku.

"Aku lega. Berbahagialah Sascha, untuk bagianmu dan bagianku juga. Aku akan selalu mencintaimu."

Klik. Tut... Tut... Tut...

Ponsel Sascha terlepas dari genggamannya.

Dia mencengkram ujung meja menahan berat tubuhnya.

"Tidak! Tidak lagi!"

Dia tidak boleh menangis. Tidak lagi.

Setelah dia memilih kedua orangtuanya alih-alih kekasihnya.

Lucas yang sangat dicintainya. Lucas yang begitu mempesona dan begitu baik hatinya.

Pria yang akan selalu menempati hatinya.

Pria yang membawa separuh jiwanya.

"Lucas... Lucas..."

Dia dihadapkan pada dua pilihan yang sulit.

Orangtuanya dan Lucas.

Sebagian mungkin langsung memilih kekasih mereka. Tapi Sascha tak pernah lupa. Selain seorang kekasih, dia juga seorang anak dari kedua orangtua yang membesarkannya.

Ayah serta ibunya tak selalu egois. Mereka pernah mencintai Sascha tanpa pamrih, mereka pernah mencintai Sascha dan rela melakukan apa saja demi kebahagiaan Sascha. Dan itu semua tak Sascha lupakan ketika akhirnya orangtuanya memilih berbalik dan membutakan mata dari cinta Sascha pada Lucas.

Ayah ibunya bekerja keras membiayai dan menjadikan Sascha seorang wanita seperti sekarang. Ketika tak ada yang mempercayainya Sascha bisa mengandalkan orangtuanya. Ketika Sascha terpuruk sebelum bertemu Lucas, Sascha meminjam pundak mereka. Kegagalan usaha orangtuanyalah membuat mereka serakah dan tamak.

Sascha benar-benar terjepit. Dan hati nurani memaksanya untuk memilih kedua orangtuanya. Sascha akhirnya memilih menjadi anak berbakti dengan konsekuensi hidup dihantui rasa bersalah karena menghancurkan hati Lucas.

"Oh. Lucas... Kuharap kau melanjutkan hidupmu. Aku ingin kau bahagia..."

Entah berapa malam dia menghabiskan waktu menangisi cinta yang tak bisa dipilihnya. Dia harus menyakiti hati seseorang yang sangat berarti baginya.

Sascha menaruh keningnya di atas telapak tangan yang menempel di ujung meja. Dia menarik nafas dan menahan lelehan airmatanya yang semakin deras. Dia tak boleh menangis. Dia harus tegar. Dia sudah menetapkan keputusan. Walau bagaimana tanggapan orang di sekitar. Dia masih mengingat kewajibannya. Mereka tak mengerti karena mereka tak berada di posisi Sascha. Tak ada yang lebih memahami dirinya selain Sascha sendiri. Dia menutup mata, menulikan telinga terhadap tanggapan negatif dari orang-orang terdekatnya. Mereka bukan Sascha. Mereka tak mengerti. Di hari dia memilih orangtuanya, di hari dia memilih menyakiti Lucas, meninggalkannya. Dunianya membeku. Dia hanya raga berjalan, dia mati namun hidup.

Sascha memang seorang kekasih, tetapi Sascha juga seorang anak.

END.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 135 10
Malam itu harusnya tidak terjadi, Malam sialan yang menghasilkan sesuatu di perutnya. Gabriel Matteow adalah iblis berwajah malaikat Dan Abbyana tel...
Need a Wedding By Tyaa

General Fiction

3K 320 11
Setelah menjalin hubungan selama beberapa tahun, bukannya sebuah lamaran yang di dapat oleh Luna, melainkan sebuah kata putus, yang mengakhiri hubung...
66.6K 8.4K 22
💋 Sekuel istri pengganti Cyra yakin ia tidak akan jatuh cinta pada kakak angkatnya, ia semakin risih terhadap Abhie ketika usianya beranjak remaja d...
2.6M 39.6K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...