Dark Days Of Olympus

By EdEight

2.2K 51 4

SEKUEL THE LAST DEMIGODS. Tahun 2030. Kekuasaan di dunia telah bergeser ke tangan Altor Texerus... More

Dark Days Of Olympus
Chapter 1
Chapter 2

Chapter 3

246 12 3
By EdEight

Chapter 3

Pesawat tiba-tiba bergoncang hebat seperti diterpa angin topan. Sang pilot terjungkal ke samping, memberiku kesempatan. Aku berdiri dengan cepat dan berlari ke pilot itu dengan borgol di tanganku. Ia mulai sadar dan matanya membelalak saat melihatku tengah menghampirinya. Ia berusaha berdiri, namun aku menghajarnya sampai pingsan. Kurogoh sakunya dan mendapati sebuah kunci, kuharap kunci itu untuk membuka borgol sialan ini. Oke, aku yakin aku akan melewatkan Natal tahun ini. Mungkin tahun depan, jika aku masih hidup.

Begitu aku memutar kuncinya, terdengar bunyi 'tik'. Kulepas borgol ini dan membuangnya ke tanah dengan murka. Raven masih bergoncang, tapi mulai mereda. Langit berwarna hitam kelam, dan saljy-salju berterbangan sana-sini. Sementara pilot itu masih tak sadarkan diri. Sekarang, aku harus menghubungi markas untuk menjemputku. Satu-satunya cara adalah meretas saluran komunikasi pesawat. Aku mendekat dan melihat ratusan tombol yang berbeda, tidak ada satupun yang familier denganku. Raven jauh lebih rumit dari yang kuperkirakan.

Lalu aku melihat sebuah layar komputer kecil di tengah meja dan, yeah, terpujalah dewa-dewi! Sebuah kordinat tercetak di bagian atas layar, dan komputer itu juga memberitahuku bahwa aku sekarang berada di atas Rusia, yang tengah dilapisi es tebal dan kabut. Aku nyaris tidak dapat melihat apa-apa di bawah sana. Aku mengenakan headphone di kepalaku, berusaha menghubungi markas. Namun yang kudengar hanyalah suara gemerisik tidak jelas. Aku mencoba berulang kali, tapi tetap tidak terhubung. Cuacanya memang sangat tidak memungkinkan.

Badai salju masih belum juga mereda. Hari masih siang, namun langitnya tampak sangat kontras dengan itu. Aku memutuskan untuk mendaratkan pesawat ini meskipun aku tidak tahu di bawah sana ada apa. Pilot itu masih belum sadar, dan untuk pertama kalinya hal itu membuatku jengkel dan risih. Begitu aku memegang kendalinya dan berusaha mengarahkan Raven ini ke bawah, kuharap pendaratan ini 'terjadi' di es yang cukup keras dan tebal. Jika es di bawah tidak mampu menahan bobot kami, aku seratus persen yakin dalam selang waktu yang singkat kami berdua akan menjadi es dan difosilkan, lalu nasib kami akan berakhir dipajang di Museum Louvre.

Mesin pesawat berderu kencang layaknya auman singa membelah langit. Pesawat semakin tak terkendali, dan bel merah mulai menyala tanda bahwa kami harus segera keluar. Aku berlari ke ekor pesawat dan mendorong piringan besi itu sekuat tenaga, namun piringan itu tidak bergerak se inci pun. Hawa dingin telah membuatnya menjadi membeku dan mustahil untuk dibuka. Aku akan membusuk disini.

Akhirnya aku melakukan sesuatu yang diluar akal. Orang bodoh pun akan menganggap ini perbuatan aneh, namun aku tidak punya pilihan. Aku mendudukkan pilot itu di kursi berkarat tempatku tadi duduk, dan menamparnya keras-keras.

"Hei, bangun! Hei!" Aku menamparnya sekali lagi, namun masih tidak membuahkan hasil. Detak jantungnya masih terasa walau pelan, namun ekspresinya sudah seperti mati saja. Melihat bahwa semua upayaku gagal total, ada satu hal terakhir yang patut dicoba sebelum menyerah.

Aku mengambil bekas borgolku dan mengencangkannya di kedua tangan pilot itu seerat mungkin. Yang kuperlukan kini adalah bagaimana cara menyalakan setrumnya. Pemicunya pasti ada di suatu tempat di meja kendali. Aku memencet tombolnya dan dalam sekejap borgol itu langsung mengaliri tubuhnya dengan listrik berarus tidak terlalu tinggi. Aku mengaturnya agar tidak 'kelewatan' yang malah dapat mempersingkat hidupnya.

Dia kejang-kejang dan tersentak dari kursi. Aku membuka borgolnya dengan cepat, dan tangannya terlihat melepuh parah. Sedikit asap menguap begitu aku melepaskannya. Ia melakukan sebuah tusukan tajam ke perutku dengan kepalan tangannya. Pukulannya cukup terlatih bagi orang seusianya. Aku terdorong ke belakang sambil memegangi perutku. Napasku seakan terhenti selama sedetik.

"Sialan! Apa yang kau lakukan kepadaku?!!" teriaknya sambil mengancamku.

Aku berusaha tenang, masih memegangi perutku yang terasa seperti ditusuk pisau sepanjang 30 sentimeter. "Hanya memberimu sedikit kejutan."

Ia hendak melepaskan tinjunya lagi, namun aku menunduk dengan cepat, mengunci lengannya, lalu menjatuhkannya dengan kakiku. Bela diri bebas. Kesukaanku. "TUTUP MULUTMU DAN TURUNKANLAH PESAWAT BODOH INI SEKARANG!"

Ia masih berusaha melawan, namun aku mencekiknya semakin keras. Aku mulai melonggarkannya dan ia batuk-batuk tak henti-hentinya. "Oke, oke. Namun jangan pikir ini sudah selesai sampai disini saja, Oliver Blackwood."

Aku melepaskannya dan melepaskan baju zirahku, membiarkan kaus V-neck hitamku tetap berada di tempat ya. Aku tahu ini konyol, mengingat saat ini suhu mungkin di bawah 0 derajat Celsius dan ada seorang musuh ganas yang akan membunuhku jika ia punya kesempatan, namun baju zirahku membuatku gatal dan tidak nyaman. Kulemparkannya ke samping seperti sedang melakukan lempar cakram di Olimpiade.

Anak itu kini disibukkan oleh mekanisne pesawat yang terlihat rusak. "Siapa namamu? Kau belum memberitahuku." tanyaku. Entah kenapa, aku sangat tertarik dengan anak ini. Aku seakan-akan melihat refleksi diriku sendiri.

Ia mendesah kesal. "Lucien. Lucien Napolle."

Aku melancipkan bibirku. "Kau dari Prancis? Apa itu begitu nyaman untukmu?"

Ia melirikku sambil menyipitkan mata. "Apanya yang nyaman?" Kepahitan yang mendalam tercampur dalam nada suaranya.

"Menghancurkan kampung halamanmu sendiri, apa itu begitu nyaman bagimu?!" Aku mulai meneriakinya.

Ia tidak mengatakan apa-apa. Menunduk lesu mencerminkan bahwa semua yang kuucapkan benar. "Itu bukan urusanmu." ucapnya dingin seperti hawa diluar sana.

Badai terlihat mulai mereda, namun pesawat masih tidak berhenti bergoncang. Aku bisa merasakan tekanan udara menurun dan mesin pesawat mulai stabil.

"Dengar anak muda, ka-" Deru mesin pesawat membisingkan telingaku sampai aku harus menutupnya dengan kedua tanganku. "Apa yang terjadi?!"

Lucien melakukan pekerjaannya secepat kilat. Namun ini jelas di luar kendalinya. "Aku tidak tahu! Tetap tiarap!!"

Aku melakukan apa yang ia suruh. Tekanan udara kembali naik dengan drastis, membuatku nyaris kehilangan kesadaran. Paru-paruku serasa akan meledak, dan aku mulai bertindak di luar kendali. Di sebelahku, kulihat sebuah kotak penuh peledak. Aku membongkar kotak itu seperti orang sakit jiwa dan mengambil salah satu peledak, lalu melekatkannya pada piringan besi itu. Aku butuh oksigen, sekarang juga.

Namun Lucien melihatku dan berusaha menghentikanku. "Jangan!!" Namun semuanya sudah terlambat. Ia melompat dan menggulingkanku ke samping, dan peledak itu pun meledak. Aku bisa melihat piringan besi itu terlempar keluar. Angin berkecapatan tinggi beserta salju deras menghujani kabin pesawat dan tubuh kami berdua. Aku dapat mendengar Lucien mengumpat dan mengutuk meskipun tidak terlalu jelas, dan saat ini ia pasti sangat ingin membunuhku. Aku sudah mulai menenangkan diri dan tidak tahu apa tadi yang menyebabkanku melakukan hal bodoh semacam itu.

Lucien menendangku ke belakang setelah menutup kembali lubang di pesawat tadi dan aku melucur seakan-akan tidak ada gaya gesek. Begitu aku hendak berdiri, ia sudah berada di atasku dan menarik kaosku yang kini dipenuhi salju tebal. Ia menghajarku dua kali lalu melepaskanku.

"Apa otakmu tersumbat?! Tindakan yang sangat bodoh untuk seorang 'pemimpin'!" ledeknya sambil menendang jauh-jauh beberapa tumpukan salju yang tampaknya sangat menganggunya.

Aku begitu tercengang hingga tidak dapat mengucapkan apa-apa. Seseorang seakan-akan mengendalikan pikiran dan tubuhku, membuatku sesak napas dan membuatku melakukan segala hal itu. Kemampuan mengendalikan pikiran orang lain? Aku pikir tidak ada demigod yang mampu melakukan itu saat ini. Kalaupun ada yang bisa, mereka harus berada tidak jauh dari kami, namun aku tidak merasakan keberadaan siapa-siapa tadi. Zeus? Ia bisa melakukan apapun yang ia mau apalagi di dalam kawasannya sendiri, namun entah mengapa aku tahu itu bukan dia. Hades, aku yakin. Tidak ada yang sepenuhnya mengerti tentang dirinya, Zeus sekalipun.

Aku menoleh ke depan untuk melihat keadaan di luar sana, dan entah apa ini hanya imajinasiku saja atau benar-benar terjadi, aku melihat sesosok wajah di langit. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, namun tatapan matanya dan senyuman dinginnya sudah sangat jelas. Hades. Kami telah memasuki perangkap liciknya. Aku hendak memperingatkan Lucien yang tampaknya masih tidak sadar dengan itu, namun semuanya terlambat.

Pesawat bergoncang hebat, dan untuk pertama kalinya, angin berpihak pada Hades. Aku merasa seperti ditelan sebuah lubang hitam yang hanya berujung pada suatu titik, kematian.

*************

Merupakan sebuah keajaiban bagiku jika masih bisa bertahan hidup. Dan itulah yang terjadi. Raven yang sebelumnya merupakan pesawat paling canggih dan paling cepat, kini hanya menyisakan potongan-potongan badan pesawat yang bertaburan api sekaligus lumpur salju dan hancur berkeping-keping. Aku bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhku tanpa masalah, namun masih ada rasa kaku dan nyeri yang mendalam. Lucien Napolle tidak seberuntung aku. Ia pasti terlempar saat pesawat terjatuh. Ia mengerang kesakitan, badannya tertimpa ekor pesawat yang kelihatan sangat berat itu. Darah mengucur dari kaki kanannya. Pendarahannya cukup parah jika dilihat dari jauh sekalipun.

Aku merangkak dengan susah payah menuju arahnya. Meskipun aku sangat membencinya dan juga sebaliknya, namun aku masih memiliki jiwa manusia fana dan memiliki perasaan. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk sampai kepadanya. Ia sudah berhenti mengerang, namun masih bersusah payah untuk melepaskan bobot itu.

Aku berjongkok dengan satu kaki di dekatnya dan meletakkan kedua telapak tanganku di besi hangat itu. "Bertahanlah. Jika kau masih ingin hidup, lakukan apa yang kuminta oke?"

Ia memandangiku dengan wajahnya yang dipenuhi debu dan bubuk hitam bekas ledakan seakan kami sedang berada di medan perang. Ia mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Oke. Doronglah besi sialan ini sekuat mungkin dalam hitungan 3." Aku mengambil napas dalam sebelum melanjutkan hitungan mundur. "3...2....1..!"

Kami berdua dengan kompak melawan besi ini. Sekarang dewa-dewi tidak dapat menolong kami dan kami harus memperbaikinya sendiri. Aku mengangkat besi itu dengan susah payah, mengingat bahwa umurku sudah kepala 4, sedangkan anak itu menggunakan seluruh otot si tubuhnya untuk mendorong besi itu. Butuh waktu yang cukup lama, namun kami berhasil.

Lucien menggulingkannya ke samping. Napasnya terengah-engah. Matanya lebam dan wajahnya berubah menjadi pucat seperti kekurangan oksigen. Perlahan-lahan detak jantungnya mulai menurun. Butuh kurang lebih satu detik untuk menyadari bahwa ia sedang sekarat, entah karena hipotermia atau lainnya. Langit kembali mendatangkan badai salju yang jauh lebih hebat dari sebelumnya. Aku mengalami kesulitan dengan penglihatanku karena begitu banyaknya partikel es yang membanjiri pupilku.

Aku memandangi sekelilingku dengan saksama. Tidak ada satupun bangunan atau bahkan pepohonan yang dapat kulihat. Semua yang kulihat hanyalah padang salju yang kian lama kian tebal. Suhu di Rusia memang ekstrim saat musim dingin seperti ini, namun aku tidak pernah menduga bahwa akan se-ekstrim ini. Seakan-akan matahari telah mati. Lebih tepatnya, seakan-akan Apollo, dewa matahari, telah mati.

Mantel bulu dari domba terbaik sekalipun takkan bisa menghalau suhu ekstrim ini. Dan boleh dikatakan saat ini kami telanjang. Tidak ada bedanya memakai kaos tipis dengan telanjang saat ini. Jika aku tidak segera mencarikan kami tempat untuk menghangatkan tubuh, aku cukup yakin Lucien dan aku akan segera mati kedinginan.

Lucien tertawa dingin. Rambut putihnya seputih salju yang menyelimutinya. "Kita akan mati disini. Tidak ada gunanya lagi."

Saking dinginnya, aku tidak dapat berpikir jernih. Aku langsung menamparnya keras-keras. "Kau tahu, mungkin kau akan mati disini. Tapi takkan kubiarkan nasibku akan berakhir sama denganmu!! Jadi entah kau akan ikut denganku atau tetap berbaring disini seperti orang bodoh, aku tetap akan bertahan hidup!!"

Lucien menyipitkan mataku seakan-akan ia sedang mempertimbangkan apa yang baru saja kulontarkan kepadanya. Lalu ia mendesah pasrah. Ia tidak perlu mengucapkan apa-apa lagi, aku cukup yakin ia setuju untuk ikut.

Aku mengangguk pelan sambil membersihkan salju dari celanaku. Tiap partikel es yang menyentuh tubuhku sangatlah menyiksa, dan kami harus segera bergegas. "Baiklah. Kau bisa berjalan?"

Tampaknya ia berpikir bahwa aku sedang menyindirnya. "Tentu saja. Aku tidak lumpuh." Aku hendak membantunya berdiri, namun ia menolak keras-keras.

Aku melihat bintang-bintang yang membentuk sebuah formasi teratur dan juga seberkas aurora indah di barat, jadi kuputuskan kami berjalan ke arah barat. Kami berdua berjalan serentak namun menjaga jarak di antara ku dengannya. Aku berusaha berjalan lebih cepat, namun lapisan salju yang tebal sangatlah menghambat lajuku. Sama sepertiku, Lucien juga mengalami kesulitan berjalan, namun lebih dikarenakan oleh cedera nya akibat kakinya tertimpa bagian ekor pesawat tadi.

Semua begitu sunyi selagi kami berjalan. Hanya ada suara angin kutub dan salju-salju yang terus menghuni tanah tempat kami berjalan. Aku memutuskan untuk tidak membuang energi dengan berbicara. Dan sebaliknya si Napolle juga melakukan hal yang sama.

Kami baru berjalan selama 10-15 menit begitu aku mulai mendengar suara geraman makhluk hidup lain selain kami. Bukan hanya satu, lebih dari itu. Cukup banyak. Mereka semakin mendekat. Aku melakukan kontak mata dengan Lucien. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang tidak benar. Bahaya.

Lalu kulihat darimana suara itu berasal. Pertama, hanya ada sepasang mata kuning bergores hitam di tengah. Serigala. Ia sedang memandangi kami dari kejauhan. Dalam hitungan detik, sekawanan serigala mulai bermunculan di sekitar kami, menjebak kami sehingga tidak dapat melarikan diri. Mereka menutup seluruh jalan keluar kami. Mereka ada dimana-mana. Namun aku pernah mengalami yang buruk daripada ini, dan ini bukan saatnya untuk takut.

Serigala-serigala itu mendekat dengan agresif namun secara perlahan-lahan. Berbeda dengan serigala hutan yang berbulu keabu-abuan, kawanan serigala ini mempunyai kamuflase yang sangat baik. Dari kepala sampai tungkai, bulu mereka berwarna putih salju dan kurang lebih setebal bulu beruang kutub atau beruang Grizzly.

Lalu semua itu terjadi. Segalanya berlangsung terlalu cepat bagiku, kecepatannya hampir tak kasat mata. Serigala-serigala itu menyerang secara serempak, dan kami berdua tidak dapat melakukan apa-apa. Pandanganku tertuju pada Lucien yang sedang berusaha melepaskan dirinya dari kumpulan serigala di tubuhnya. Hal serupa terjadi padaku juga. Hal terakhir yang kulihat sebelum kegelapan menelanku adalah lautan darah yang segera membeku di sekitarku...

Continue Reading