It's a Life Disaster!

By NaRamadani

623K 19.7K 945

Alananda Mitha Hermawan, hidup bahagia dan santai saja selama ini. Namun kejadian nyaris bangkrut, nyaris dij... More

Prolog
2. Dia
3. Tirtan Putra Bimawangsa
4. Hitam
5. Perpanjangan Waktu
6. Posesif
7. Enggardian Suta
8. Ambang Batas
9. Menyerah
10. Sindrom Pra-Nikah
11. Halang Rintang
12. Seindah Kita
13. Hitam Itu Lagi
14. Serasa
15. Arah Hati
16. Derai Air
17. Tersadar
18. Nila Setitik
19. Maaf
20. Akhir Kisah
Epilog

1. Alananda Mitha Hermawan

33.5K 959 19
By NaRamadani

Semua bermula dari dua bulan lalu, saat bisnis tas dengan brand sendiri milik orangtua Lana merugi hingga nyaris bangkrut. Bukan karena tak ada minat dari pasar namun justru kebalikannya. Saking banyaknya minat sehingga produksi besar-besaranpun terjadi yang memakan biaya produksi yang sangat tak sedikit. Masalah kemudian datang dari bagian distribusi. Dimana alat distribusi yang digunakan adalah kapal dengan puluhan kargo barang jadi tersebut terbakar lalu tenggelam.

Lana turut berduka cita untuk semua yang yang merugi bahkan kehilangan, namun dia juga tetap merasa hidup ini tak adil. Semua barang jadi tersebut terbakar, hanyut dan tenggelam entah kemana. Yang berarti takkan ada keuntungan yang akan datang dimana cost yang dikeluarkan 'nyaris' hampir seluruh keuntungan yang selama ini dikumpulkan perusahaan tas milik papanya itu.

Klaim asuransi pun tak mencukupi untuk memulai kembali seluruh pesanan yang nyaris overload karena harus membayar ganti rugi kontrak dengan para pihak reseller, sisanya hanya cukup untuk menggaji para karyawan. Dan tentu saja tak mungkin lagi meminta pinjaman dari bank karena untuk produksi tersebut mereka telah menggunakan pinjaman dengan limit teratas dari bank. Dengan kata lain, usaha keluarganya itu nyaris bangkrut. Yang terbayang di depan mata Lana hanyalah bahwa hidupnya nanti akan lebih menyulitkan dari yang dapat dan pernah dibayangkannya.

Hingga Pak Raihan, papa Lana, pulang suatu malam dan mengajak keluarganya untuk berunding bersama. Lana yang merupakan putri tunggal keluarga Raihan Hermawan, hanya dapat menduga-duga kapan mereka semua akan pindah atau mungkin terusir dari rumah mereka yang nyaman ini.

"Lana, papa minta maaf kalau memutuskan beberapa hal tanpa persetujuanmu terlebih dahulu." Pak Raihan memulai pembicaraannya setelah berdiam diri beberapa saat.

"Lana ngerti kok Pa. Papa kan kepala keluarga kita, jadi memang semestinya papa ada hak untuk menentukan apa yang akan nantinya kita jalani kedepan." Lana berbicara dengan tercekat, membayangkan sesusah apa hidupnya nanti.

"Jadi kapan kita akan resmi menutup usaha pembuatan tas kita, Pa?" Tanya Lana lebih lanjut, penasaran dan menguatkan hati.

"Lha? Memangnya kita mau ganti usaha ya, Ma?" Tanya Papanya bingung kearah sang Mama yang sejak tadi hanya berdiam diri.

"Duh, Papa ini. Kan kita sudah mau bangkrut. Itu kan tujuan Papa mau berunding sama Lana dan mama." Lana mengambil alih dengan tidak sabar.

"Justru Karena kita tidak jadi bangkrut makanya Papa mau bicara ke kalian berdua." Pak Raihan berbicara sambil tersenyum puas.

"Kita, tak jadi bangkrut?" Tanya Lana sambil memandang bergantian kearah papanya yang tersenyum puas dan mamanya yang ikut senyum mendukung kearahnya. "Lana gak ngerti Pa, Ma. Bagaimana bisa kita tidak jadi bangkrut?" Tanda tanya semakin besar didalam kepala Lana, seakan mau meledak keluar.

"Kamu tidak senang kalau kita tidak jadi bangkrut?" Tanya Pak Raihan saat menelaah ekspresi putri semata wayangnya itu.

"Bukannya tidak senang Pa, tapi Lana hanya tidak mengerti kenapa kita tidak jadi bangkrut?" Lana berpikir dengan dahi berkerut. Pinjaman pada bank tidak akan berhasil, Lana sudah tahu itu. Lalu bagaimana bisa usaha mereka selamat?

Pak Raihan tampak lega setelah tahu putrinya itu hanya sedang dalam proses 'penyerapan informasi'. Kemudian sang mama angkat bicara.

"Lana sayang,"

"Iya, Mama sayang,"

"Jangan ngomong balik kalau orangtua bicara." Pikiran mamanya teralihkan.

"Kan Mama yang manggil Lana sayang, otomatis aku jawab Iya Mama sayang."

"Lana." papanya memperingatkan Lana untuk diam.

"Iya, papa?" Lana berbalik ke papanya. "Kenapa?"

"Duh, Gusti..." Papanya menggerutu "diam saja kenapa sih, Lana?"

"Oke-oke." Lana menyahut dengan cepat sambil tersenyum. Hidup serasa hambar tanpa lelucon. "Lanjut, Ma." Segera menambahkan melihat wajah mamanya yang cemberut level 5.

"Usaha kita bisa tetap bertahan karena bantuan dari teman papa, sekaligus teman mama juga. Pak Bima namanya." Mama berhenti sebentar. "dulu saat Pak Bima masih merintis usahanya, papa turut membantu Pak Bima dalam masalah dana." Mamanya menarik nafas, melanjutkan cerita. "Walaupun bantuan dana papa cuma sedikit karena waktu itu kita juga belum bisa memberikan bantuan yang banyak, tapi Pak Bima ini tetap mengingat jasa papa kamu."

"Kalau begitu, kenapa tidak dari awal papa minta bantuan Pak Bima, Ma?" Tanya Lana penasaran, tahu gitu dia tidak akan nelangsa selama dua bulan belakangan ini.

"Nah, usaha Pak Bima berhasil dan bisa membuka cabang yang lebih besar dikota lain sehingga mereka sekeluarga pindah ke kota tersebut." Mama menjawab pertanyaan Lana sembari bercerita. "Seminggu lalu papa baru tahu kalau ternyata Pak Bima sudah balik lagi tinggal di kota ini. Setelah dipertimbangkan, akhirnya beberapa hari yang lalu papa mencoba menghubungi Pak Bima dan ternyata berhasil."

"Jadi, Pak Bima langsung mau memberikan pinjaman ke kita?" Lana kembali bertanya, dengan nada curiga tentunya.

"Iya." Papanya yang menjawab pertanyaan kali ini.

"Memangnya, apa usahanya Pak Bima, Pa?" Tanya Lana.

"Hmm, kamu pasti tahu. Itu perusahaan software. Baru-baru ini juga merangkap di pembuatan program game."

"jangan-jangan, cluexonic ya?" Lana menebak asal-asalan.

"Bukan sayang. Kalau cluexonic itu hanya cabang baru ciptaan Tirtan, anaknya Pak Bima sewaktu mulai bekerja selepas kuliah." Papa Lana mengoreksi.

Celeguk! Lana menelan ludah dan selanjutnya hanya melongo. cluexonic merupakan perusahaan game menengah. cukup berhasil juga anaknya Pak Bima ini. Pikir Lana dalam hati.

"Kalau Pak Bima, dia menangani perusahaannya sendiri, pearsoft corp." papanya melanjutkan, "perusahaan inilah yang dulu papa bantu dalam masalah dana investasi dan program pemasarannya."

Celeguk lagi! Makmur banget berarti. Lana hanya bisa menyimpan komentarnya dalam hati.

Papanya tampak ragu-ragu mengatakan hal ini. "Mungkin kamu tidak ingat. Tapi Pak Bima dulu biasa bertandang datang kerumah ini, waktu itu kamu masih kecil, mungkin sekitar 3 atau 4 tahun. Tapi kamu sudah bisa manggil om Bima."

"Nah, apa tujuan papa sebenarnya, mengingatkan aku tentang hal ini?" Lana mulai curiga ada yang tidak beres.

Papa Lana memandang kearah istrinya, seakan meminta dukungan. "Begini Lana," akhirnya Papanya mulai berbicara. "Sebenarnya Pak Bima itu orangnya sangat baik. Tadi Pak Bima menghubungi papa, dia bermaksud menanyakan kamu."

"Maksudnya, Pa?" Lana mulai merasakan kecurigaannya entah kenapa akan terbukti.

"Nanyain keadaan kamu, sehat apa tidak?, hidungnya masih pesek atau mancung?, sudah punya pacar apa belum? Dan masih banyak lagi." Papa Lana menahan tawa melihat ekspresi putrinya yang memancarkan aura tersinggung.

"Apa sih, Pa? kok nanyanya nggak mutu banget?" Lana mencak-mencak saking tersinggungnya.

Papanya seketika langsung tertawa terbahak-bahak melihat emosi putri semata wayangnya yang harus dia akui memang cepat tersulut. "Sebenarnya, memang bukan itu persisnya yang ditanyakan sama Pak Bima." Papa Lana melirik kearah istrinya.

"Bukan, ya? Trus apa?" Lana tersegera melupakan emosinya.

Pak Raihan tersenyum melihat emosi Lana yang dengan cepatnya berganti. "Sebenarnya yang Pak Bima tanyakan itu, tentang apa kamu sudah punya pasangan atau belum?" Pak Raihan berdehem.

"Apa hubungannya? Kenapa Pak Bima ini mau tahu saja urusan pribadiku? Itukan privasiku! My privacy!" Lana menegaskan.

"Pak Bima bermaksud baik dalam menanyakannya, sayang. Sebenarnya dia berniat menjodohkan kamu dengan anaknya, Tirtan." Papa Lana buru-buru menambahkan melihat amarah putrinya yang meningkat dengan kecepatan yang mengesankan. "Hanya coba-coba saja, sayang. Kalau memang kalian tidak cocok, tidak akan ada yang memaksa kalian untuk melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius."

Lana tak sanggup berkata saking marahnya. Tersinggung dengan tawaran seorang pria yang disodorkan ke depan hidungnya. Tidak!

Lana harus mengakui, memang peruntungannya cukup buruk kalau menyangkut masalah cowok, pria, pacar, dan semacamnya. Tapi apakah peruntungannya yang buruk juga menggiringnya mendapatkan cowok gratisan yang belum pernah dia lihat batang hidungnya? Ralat! Bukan cowok gratisan, Tapi cowok gak laku-laku! Pria mana sih yang mau dijodohkan? Ck ck ck.

Setelah menata emosinya, Lana mulai angkat bicara. "Harus ya, Pa?"

"Harus apa, sayang?" Dahi papa Lana berkerut, tidak mengerti akan pertanyaan yang baru saja diajukan oleh putrinya.

"Harus menerima perjodohan ini. Kalau Lana menolak, apakah Pak Bima akan menarik bantuannya kepada kita?" Lana cukup takjub akan kesimpulannya yang tercipta seiring dengan mulutnya yang mengucapkannya.

"Astaga! Darimana kamu mengambil kesimpulan itu? Pak Bima bukan orang yang seperti itu. Dia hanya menawarkan hubungan kekeluargaan yang nyata kepada kita. toh, kalau kamu tidak mau menerimanya, Pak Bima sudah menjelaskan bahwa ini tidak berpengaruh apa-apa atas persahabatan kami." Papanya menjelaskan.

"Kalau gitu, kenapa Papa tidak tolak saja langsung? Papa tahu pasti kan, kalau Lana bakalan menolak hal ini." Lana tetap berusaha membendung emosinya.

"Semuanya tidak semudah membalik telapak tangan, Lana. Papa tidak bakalan menolak tawaran yang bagus, dan toh, kamu kan belum ketemu sama Tirtan, kan? dia itu selain anaknya sopan, pintar, sudah punya usaha sendiri, hormat pula sama orang tua," Papa Lana menyebutkan kelebihan Tirtan sambil menghitung dengan jari jemari tangannya. "Setiap orangtua yang mau menikahkan putrinya pasti tidak bakalan nolak dengan calon menantu yang perfect seperti ini."

Lana kehabisan kata-kata saking tak percayanya akan ucapan yang barusan keluar dari mulut papanya. What? Papa mau aku menikah? OMG! Dunia mau kiamat! Lana tidak pernah membayangkan dirinya bakal melalui tahap 'orangtua-yang-memaksakan-pernikahan-kepada-sang-anak'.

Mama Lana pun angkat bicara melihat pandangan mata Lana yang shock. "Lana, usia kamu sudah 26 tahun, sedikit lagi sudah 27 malah. Sudah sangat cukup untuk menikah. Tidak ada salahnya mencoba dulu. Kalian kan bukannya menikah, tapi hanya tunangan."

Lana semakin speechless mendengarkan hubungan yang ditawarkan bersama pria yang bernama Tirtan diucapkan secara gamblang oleh mamanya. Demi Tuhan di Singgasana-Nya. Tunangan? Ow, ow, ow.. Masalah! Ingin rasanya Lana menjambak rambutnya sendiri.

"Huh?" Akhirnya hanya itu yang terucap dari bibir Lana.

Pak Raihan hanya tersenyum kecil, melihat putrinya yang seakan melayang keluar dari tubuhnya sendiri. Kemudian meraih tangan putrinya dan menggenggamnya. "Lana, papa belum menyetujui ataupun menolak permintaan Pak Bima. Papa mengatakan kalau semuanya tergantung keputusan kamu." Kemudian melanjutkan, "yang papa ingin tekankan kamu harus berpikir dengan kepala dingin sebelum mengambil keputusan. Papa tidak pernah memaksakan kehendak ataupun melarang kamu melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan selama ini kan? Papa hanya ingin kamu bahagia, sayang. Jadi pikirkanlah baik-baik."

Mamanya yang duduk disebelah Lana ikut mengusap bahu Lana seolah ingin menarik kembali pikiran anaknya yang melayang. "Papa dan Mama sayang sama kamu Lana. Tapi ada saat dimana orangtua harus tegas kepada anaknya. Mama harap kamu bisa mengerti."

"Tapi, Ma, bagaimana dengan perasaan Lana? Kalau Lana tidak suka sama anaknya Pak Bima, gimana?" Lana akhirnya dapat berkata, seakan mau menangis.

"Perasaan cinta dan suka itu bisa tumbuh seiring waktu. Tapi kalaupun tidak bisa, tidak ada yang memaksa kamu untuk melanjutkan, sayang." Mamanya kembali melanjutkan begitu melihat raut Lana yang ingin mengeluarkan bantahan lagi. "Mama dan Papa hanya ingin kamu mencoba, sayang. Itu tidak berlebihan kan?"

Lana yang semula ingin membantah, akhirnya kembali terdiam. Memang, mencoba bukanlah hal berlebihan. Tapi, kalau mencoba tunangan?

Lain lagi masalahnya, Ma... keluh Lana dalam hati. Namun dengan sangat disadarinya, orangtuanya memang selama ini selalu mendukung keinginannya, selama hal itu tidak menjerumuskannya kedalam masalah. Dirinya merasa sangat egois jika menolak mentah-mentah usul orangtuanya itu.

Tidak ada salahnya mencoba kan? Lagian, mungkin tunangannya bisa mengalihkan pikirannya dari Enggar, yang saat ini berada kota lain mengejar ambisi tetapi meninggalkan cinta Lana tak terpupuk hingga layu. Lana kemudian mengangkat wajahnya yang sedari tadi ditundukkannya, "Lana pikir-pikir dulu yah, Ma, Pa?" menunujukkan tanda penyerahan diri.

Pak Raihan dan Bu Kiran tersenyum, memberi semangat kepada putri mereka. "Makasih, sayang. Makasih." Kemudian Bu Kiran memeluk Lana yang terdiam, namun juga membalas pelukan ibunya.

Sudah kuduga bakalan menyerah seperti ini. Batin Lana.

***

Lana, diusianya yang ke-26 tahun lebih sedikit adalah sosok yang membosankan menurut dirinya sendiri. Wajah yang setiap hari selama hidupnya dilihatnya di cermin rias di kamar tidurnya menurutnya hanyalah wajah yang biasa saja. Rambutnya yang hitam kelam sepunggung adalah hal yang umum bagi masyarakat Indonesia, wajahnya yang berbentuk hati menurutnya adalah hal sia-sia saja karena tidak didukung oleh mata yang sepertinya terlalu bulat, bola mata yang berwarna cokelat gelap membosankan, hidung yang tidak mancung serta bibir yang menurutnya agak tebal. Namun semua itu tetap disyukurinya dan tak ada sekalipun keinginannya untuk mengubah salah satu dari bagian-bagian wajahnya maupun tubuhnya.

Tapi untungnya tinggi badannya lumayan memenuhi standar bagi wanita asia. 159 cm menurutnya sudah pas (walaupun kadang hati kecilnya masih sering berharap melihat angka 160cm di meteran setiap kali men-check up kesehatannya). Tak pendek, juga tak terkesan terlalu tinggi bila menggunakan sepatu high heels. Badannya untungnya ramping-ramping saja, dan itu disyukurinya dengan sangat.

Saat ini, Lana tengah bingung dengan situasinya yang akan memasuki jenjang pertunangan dengan orang yang tidak diketahuinya sama sekali selain secuil informasi bahwa namanya adalah Tirtan dan ayahnya bernama om Bima serta perusahaan keluarga mereka adalah pearsoft corp.

Penyakit yang kebanyakan menyerang para anak muda negeri Indonesia tercinta ini sepertinya juga akhirnya menjangkitinya. Galau. Yah, Lana mengakui saat ini sedang galau. Ia takut dengan keputusannya yang menerima pertunangan ini, walaupun bukan berarti pasti dia akan menikah dengan... siapa itu namanya?

Tirtan.

Ya, maksudnya Tirtan. Walaupun bukan berarti pasti dia akan menikah dengan Tirtan tetap saja ia takut akan masa depannya. Bagaimana bila Tirtan tidak suka padaku?

Sabarlah.

Bagaimana bila Tirtan ternyata jelek?

Putuskan saja pertunangannya.

Bagaimana caranya?

Lihat saja nanti, tiba masa tiba akal.

Lupakan itu, bagaimana kalau ternyata Tirtan tampan?

Alhamdulillah.

Bagaimana kalau aku jatuh cinta padanya?

Utarakan saja padanya.

Ah! Aku kan tidak terlalu berpengalaman dengan pria selain Enggar. Mana mungkin aku mengutarakannya.

Terserahlah kalau begitu.

Bagaimana bila kami tidak akur?

Putuskan pertunangan ini masih bisa menjadi jalan keluar.

Oh iya. Aku lupa. Hehe. Dan yang lebih pentingnya lagi, bagaimana bila aku gila?

Maksudmu?

Karena aku berbicara sendiri sedari tadi.

"Akh!" Lana menyentakkan kepalanya sembari menyadarkan dirinya dari kegilaan ini. "Sepertinya pertunangan ini tidak baik bagi kesehatan mentalku."

Sambil bersungut-sungut Lana beranjak kekamar mandi, mencuci muka, mengganti pakaiannya dengan piyama. Sebelum tidur ia bertekad, tampan ataupun tidak, Tirtan harus mengerti bahwa ia menolak pertunangan ini. Titik.

Lana tak ingin menjadi pihak yang ditolak.

***

PS: Untuk Ainun, Selamat Ulang Tahun. Tidak tahu kapan kamu bisa baca disela-sela shift jagamu, yang penting inilah kadoku untukmu. Ahahaha. Sudah kuedit dan permak dikit sana sini dan juga sekarang dalam perjuangan untuk menyelesaikannya. Jadi nantinya jangan ada kata nagih-nagih lagi. Cukup nikmati step by step.  Hehehe.

PS: Untuk pembaca yg kebetulan baca, makasih sudah mampir. :)

Continue Reading

You'll Also Like

3K 610 7
Tara harus menemukan calon suaminya sebelum ulang tahunnya yang ke-31. Padahal Tara telanjur nyaman dengan Hasya, teman kantornya. Sementara, orangtu...
6.3K 792 7
Dalam pernikahan, kita pasti punya bayangan atau impian rumah tangga yang dijalani. Impian itu seringkali bentuk dari refleksi apa yang kita lihat se...
4.4K 792 33
Berkisah tentang Maya beserta pria yang tak di sangka akan menjadi jodohnya Eajxwendy anak_ayambiru 2023
1M 83.2K 56
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...