My Beloved Staff (TAMAT)

By jingga_senja_

2.3M 172K 2.5K

Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya d... More

PROLOG
Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Bagian 32
Bagian 33
Bagian 34
Bagian 35
Bagian 36
Bagian 37
Bagian 38
Bagian 39
Bagian 40
Bagian 41
Bagian 42
Bagian 43
EPILOG

Bagian 31

49.5K 3.5K 39
By jingga_senja_

Kemarin gak update ya, hehe. Istirahat dulu:))

•Beloved Staff•

Ketika Lova menginjakan kedua kakinya di ruangan, semua mata serentak tertuju ke arahnya. Hal tersebut membuatnya sempat tertegun selama beberapa saat, terutama mendapati sepasang mata tajam milik Via ---yang seolah siap menerkamnya. Biasanya orang-orang akan menyapanya dengan ramah, menanyakan apa dirinya sudah sarapan, dan perhatian lain sebagainya. Tetapi kini yang Lova dapat justru pandangan sinis, sindiran, dan juga perkataan kurang mengenakan dari beberapa orang.

"Masih punya muka buat masuk kantor? Kalo gue sih udah ngumpet di lemari, say!"

"Backingannya aja om-om tajir, wajar kalo dia gak takut lawan senior di kantor. Berasa punya pelindung kali ya, Wak? Padahal mah jadi ani-ani apa sih yang perlu dibanggain?"

"Lov, mantan cowok gue mau gak? Lo kan doyannya sama sampah!" Gelak tawa seketika pecah memenuhi ruangan membuat Lova menebalkan telinganya sebisa mungkin, hinaan seperti ini harusnya bukan apa-apa bagi dia, kan?

Ketika dia hendak duduk di kursinya, sebuah kaki menendang kencang benda tersebut sehingga tubuh Lova terjatuh dan membentur lantai cukup keras, gadis itu meringis kesakitan, berbeda dengan gelak tawa yang justru kian nyaring. Lova mendongak dan menatap tajam seorang perempuan yang menjadi tersangka perbuatan tersebut, justru tersenyum miring alih-alih meminta maaf apalagi membantunya.

Kedua matanya seketika langsung memanas, jantungnya masih berdebar kencang karena terkejut sampai akhirnya pandangannya beradu dengan sepasang nayanika milik Mima, wanita yang baru saja datang dan meliriknya disertai ekspresi dingin lalu melengos begitu saja, seolah tidak melihat apa-apa.

Memangnya apa yang dia harapkan?

Mima meletakan tasnya ke atas meja, diam-diam memperhatikan Lova yang kentara jelas menahan tangis. Kalau boleh jujur, rasa iba pastinya ada meski itu muncul di sudut hati Mima yang paling dalam, tetapi Mima tidak berniat untuk menghentikan apa yang orang-orang lakukan. Lova mendapatkan apa yang dia tuai, gadis itu mendapat penghakiman karena prilakunya sendiri dan Mima tidak mau ikut campur lagi. Anggap saja itu balasan.

Rosa langsung menarik kursinya untuk mendekat pada Mima dan menepuk bahunya. "Ma, lo tau gak? Katanya Bu Bella dikeluarin dari kantor." Perkataan sang sahabat barusan sukses membuat Mima terkejut.

Mima menatap Rosa dengan mata melebar. "Dikeluarin apa keluar?" tanyanya, karena dua kata tersebut memiliki arti yang berbeda dan seorang Bella yang katanya memiliki orang dalam kuat, mana mungkin dikeluarkan begitu saja.

"Dikeluarin. Kabarnya udah nyebar tau. Masa lo gak tau? Pak Arlan gak ngasih tau lo gitu? Gimana sih, katanya pacaran!" Wanita itu mengangkat sudut atas bibirnya. Ya, memang kalau mereka pacaran harus saling beri informasi seperti itu?

Namun tak lama kemudian, seutas senyuman tersungging di bibirnya.

Tapi, syukurlah. Kini kantor ini terbebas dari manusia serigala berbulu domba itu.

Saat makan siang, Mima pergi ke kantin bersama dengan dua temannya. Rasanya Mima benar-benar merindukan perasaan penasaran setiap kali menebak apa menu makan siang hari ini, sekaligus juga rindu ghibah dengan Via dan Rosa. Sensasinya selalu menyenangkan.

Di kejauhan, Mima menemukan Arlan yang sudah duduk dengan nampan makan siang penuh, tapi orangnya malah sibuk memainkan ponsel. Meski mereka kini telah resmi berpacaran, Mima tidak mau terlalu menunjukannya ditempat umum apalagi di kantor seperti ini. Jadi, sebelum Arlan menyadari kehadirannya, Mima langsung mengajak Via dan Rosa menuju tempat yang dirasa cukup jauh dari posisi Arlan.

Mima tidak mau makan dengan kondisi jantung yang berdebar tak karuan.

"Cowok gue tuh tiap ditanya kapan mau lamar, jawabnya nanti-nanti mulu! Kan gue juga pengen kepastian dari dia. Mau nikahin gue tahun ini atau masih lama!" Sejak tadi Rosa terus mengoceh, menceritakan tentang pacarnya yang masih juga belum melamar sedangkan Rosa sudah kebelet nikah.

Via pun lantas menimpali. "Kalo dia gak bisa nikahin lo tahun ini gimana?" tanyanya dengan penasaran.

"Ya gue putusin lah! Apaan anjir, udah mah LDR lebih dari setahun, suka ngalihin pembicaraan lagi pas ditanya kapan lamar. Gue mau nikah sama anaknya juragan tambang minyak, pilihan Papi gue. Lo kan tau gue suka cowok sat-set, padahal kalo dia belom siap tinggal jawab belom siap, gak usah ngalih-ngalihin! Gak ganteng pokoknya!" Mima tertawa geli pun Via yang ekspresinya sepertinya ingin menelan Rosa bulat-bulat.

"Heh! Amnesia lo? Kan lo yang cinta mati sama cowok lo, berapa ratus kali coba gue bilangin lo kalo pacar lo belum ada keliatan serius sama sekali."

"Iya sih, kan gue sekarang berubah pikiran, Vi. Gue gak mau jadi bulol, sekali-kali gue yang dibulolin!"

"Hadeuh!"

Diantara mereka bertiga, sejak dulu Via adalah orang yang paling jarang berurusan dengan hal percintaan. Tapi kalau sudah memberi nasihat pada temannya yang sudah berpacaran, Via begitu ahli seperti pengalamannya sudah banyak di dunia percintaan. Padahal dia jomblo sudah lama.

Tawa Mima perlahan surut tatkala matanya menangkap sosok Arlan yang melangkah ke arahnya, dia menelan makanannya yang belum terkunyah sempurna sehingga membuatnya tersedak dan terbatuk beberapa kali.

"Pelan-pelan makannya!" Mima menerima minum yang disodorkan ke hadapannya lalu sadar bahwa pelaku itu adalah kekasihnya sendiri. Arlan.

Kok, cepat sekali sampainya?

Tanpa berbasa-basi, Arlan duduk begitu saja di samping Mima. Pria itu mengeluarkan sebuah sapu tangan dan me-lap bibir basah wanita tersebut, membuat Rosa dan Via sama-sama memalingkan wajah.

Dengan cepat Mima mengambil benda tersebut dan membersihkan mulutnya sendiri, sebelum mereka menjadi pusat perhatian orang-orang. "Bapak ngapain ke sini, sih?" tanyanya dengan ketus, membuat Arlan menautkan alisnya.

"Aku nungguin kamu dari tadi buat makan siang bareng, tapi kamu malah kabur." Kedua kelopak mata Mima terangkat sempurna.

"Aku gak kabur!" kilahnya.

Pria itu tersenyum miring lalu memindahkan potongan ayam kecap dari nampannya, ke nampan makan siang Mima. "Kamu tau kan kalo aku gak banyak makan siang?" Kedua alis Mima menukik, matanya menatap bingung dengan apa yang Arlan lakukan.

"Kalo gak banyak makan siang, buat apa ambil menu sebanyak ini? Nanti jadinya kan malah mubazir!"

"Aku ambil buat kamu, Sayang. Kamu suka banget makan, jadi ... aku ambil supaya kamu makannya banyak. Belum aku sentuh sama sekali, kok. Abisin ya? Biar kuat!" celetuk Arlan dan mengusap pucuk kepala Mima begitu saja, mengabaikan ekspresi Mima yang sudah seperti bom siap meledak.

Mima menatap makan yang kini benar-benar banyak. Bukankah ini seperti sedang meledeknya?

"Pak Arlan pikir saya serakus itu?" Arlan memiringkan kepalanya.

"Aku gak mikir begitu."

"Ya, terus ini apa? Bapak sengaja ya mau saya gendut, makanya ngasih saya makan sebanyak ini. Bapak harus tau aja kalo saya tuh lagi proses diet, kalo makannya begini kapan saya kurusnya?!" omel Mima disertai dengan pandangan tajam, tangannya kini bergerak mengambil potongan ayam dan menyuapkannya begitu saja ke dalam mulut.

Arlan terperangah. Apa Mima melupakan kalimatnya dalam sekejap mata?

Maka sambil tersungut-sungut, Mima memakan jatah makan siangnya. Hal tersebut juga membuat Via dan Rosa merasa sedikit malu, karena suara Mima saat berkata seperti itu lumayan keras.

Mungkin orang lain berpikir, manusia apa yang katanya mau diet sambil marah-marah tapi makan selahap itu?

Sedangkan Arlan terlihat tak peduli dan fokus memandang sang kekasih. Pria itu menopang kepalanya, tersenyum manis melihat bagaimana gemasnya Mima saat sedang makan. Kedua pipinya benar-benar penuh seperti seekor hamster. Bahkan omelannya pun terdengar seperti alunan lagu di telinga Arlan yang sedang kasmaran.

•Beloved Staff•

Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, ketika Mima duduk seorang diri didepan sebuah minimarket sambil memangku tasnya. Wanita itu nampak masih menunjukan raut yang segar meski nyaris seharian berkutat dengan pekerjaan, kecuali warna lipsticknya yang sudah sedikit luntur, akibat banyak memakan makanan berminyak. Bisa stain dari pagi sampai malam begini sudah menunjukan kualitasnya yang cukup bagus.

Jalanan masih cukup ramai dan tidak akan pernah sepi meski waktu semakin larut, sehingga meski hanya sendirian Mima tidak akan merasa kesepian.

Asyik melihat-lihat kendaraan yang berlalu lalang, tanpa sengaja tatapan Mima mengarah pada seorang pria dan juga gadis muda, yang berdiri diseberang jalan. Si gadis yang menggunakan piyama terlihat memegang tangan pria di sampingnya, sedangkan di tangannya yang lain terlihat menggenggam sebuah cone es krim. Samar-samar ia mendengar suara mereka sedang berbicara.

"Pegang tangan Ayah, ya? Gak boleh lepas," kata si pria yang tak lain adalah ayah dari gadis tersebut.

Nampak si anak mengerutkan dahinya, terlihat malas. "Lagian Ayah ngapain parkir motornya didepan sana kalo tau beli es krimnya disini. Jadinya kan ribet harus nyeberang, Ayah!" Dumal gadis tersebut membuat Mima yang memerhatikan, sontak tertawa kecil.

"Ayah kan mikirnya adek mau beli es krim di minimarket, makanya Ayah parkir di sana."

"Ya sekalian aja tadi puter balik."

"Puter baliknya jauh, Dek. Lebih enakan nyebrang. Udah, Adek jangan bawel kayak Mama, ya? Kalo Adek ngomong terus nanti malah gak nyampe-nyampe."

"Adek bilangin Mama loh, ya!"

"Ya, jangan! Nanti Ayah disuruh tidur diluar kalo begitu!"

Lalu keduanya menyeberang dengan selamat dan sampai ke tempat dimana motor si ayah parkir, Mima hanya terus memandangi keduanya dengan sorot mata hangat. Ia mendadak teringat pada sosok ayahnya yang seminggu lalu menjenguknya.

Meski hubungannya dengan orang tuanya masih terbilang baik, namun tetap tidak bisa disamakan dengan saat mereka masih tinggal bersama. Kedua orang tuanya yang memutuskan berpisah saat dirinya masih berusia remaja, sudah memahami bahwa kondisi keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Namun, diusia saat itu juga Mima mulai bisa bersikap seolah dirinya kuat dan tidak sedih.

Bohong sekali jika hatinya tidak sakit saat melihat ayah dan ibunya yang memutuskan menyerah dengan rumah tangga mereka, pun mereka juga tidak bisa bertahan dengan alasan Mima sebagai anak, karena itu justru hanya akan semakin melukai banyak pihak.

Setahun setelah melajang, ayahnya kembali menikah dengan wanita cantik yang usianya tidak jauh dari ibu Mima, hanya lebih muda satu atau dua tahun. Karena sejak awal Mima tidak pernah ingin menjadi penghalang bagi kebahagiaan kedua orang tuanya, terlepas bahwa dirinya sebagai seorang anak harus menekan banyak luka seorang diri, Mima tidak melarang jika ayahnya menikah lagi. Pun hal sama juga Mima lakukan pada ibunya.

Ayahnya sosok yang tegas, memiliki selera humor yang buruk, namun Mima bersyukur beliau tidak pelit ---bahkan di usianya yang sudah dewasa serta memiliki pekerjaan pun, beliau masih memberinya nafkah. Memangnya dari mana Mima bisa membeli barang branded itu? Mengandalkan gajinya? Mima bisa tidak makan selama berbulan-bulan.

Barang-barang tersebut juga terkadang diberikan sebagai hadiah dari ibu tirinya, karena meski mereka tidak dekat, setidaknya hubungan mereka tidak jelek.

Tapi, boleh kan jika Mima mengatakan bahwa saat ini ia merindukan saat-saat bersama orang tuanya?

Kerinduan yang terus muncul meski telah bertemu dengan si pemilik rindu.

Mima rindu pada Papa yang selalu memberinya es krim jika sedang bersedih, yang selalu menyemangatinya ketika tengah lelah. Kerinduan pada Mama tidak begitu besar karena beliau masih sering mengunjunginya, sedangkan Papa? Setiap ingin bertemu ada saja alasan semua itu tak dapat direalisasikan.

Seperti beberapa bulan lalu contohnya, Mima sudah berniat akan mengunjungi Papa di hari ulang tahun adiknya, tapi tak lama Mima langsung melihat postingan sosial media ibu tirinya yang menunjukan foto bahwa mereka sedang berlibur di Paris dan merayakan ulang tahun Meera ---adik perempuannya, di sana. Bohong sekali kalau Mima tidak iri.

Memiliki saudara perempuan membuat Mima lebih sering merasakan cemburu dibanding dengan saudara laki-laki. Karena jika dipikir lagi, dibanding dirinya Meera lebih sering dirayakan dalam hal apapun oleh Papa.

Ah, tidak seharusnya Mima merasa iri terhadap anak berusia 10 tahun.

"Hey, sorry aku lama, ya?" Lamunan Mima seketika buyar oleh kedatangan Arlan yang sebelumnya pamit untuk membeli beberapa camilan didalam mini market, alasan sejak tadi Mima duduk sendirian di sana.

Dengan cepat wanita itu mengusap pipinya yang tahu-tahu sudah basah, lalu melemparkan senyum ke arah Arlan.

"Gakpapa. Gak lama, kok. Kamu beli apa aja? Wow, banyak banget!"

Sayangnya, Mima tidak begitu hebat dalam menyembunyikan kesedihannya. Karena kedua mata yang biasanya selalu berbinar itu, kali ini nampak redup dan Arlan menyadarinya.

Pria itu berjongkok dihadapan Mima lalu menangkup sebelah pipi kekasihnya. "Are you crying?" Arlan bertanya dengan lembut, membuat hati Mima serasa kembali sesak.

Ditanya seperti itu malah membuat keinginan menangisnya lebih besar. "I'm okay," lirihnya namun tak lama kemudian air matanya justru mengalir lagi hingga dengan buru-buru Mima mengusapnya.

"Apa yang ganggu kamu? Aku kelamaan buat kamu nunggu?" Arlan terlihat cemas, terang saja karena tangisan Mima yang semakin menjadi-jadi membuatnya takut jika hal buruk menimpa kekasihnya.

Mima menggelengkan kepalanya, ia tidak bisa menjawab karena tangisannya. Maka Arlan duduk di sampingnya dan menarik wanita itu ke pelukan, mengusap lembut kepala Mima sembari menyembunyikan wajahnya yang menangis pada dada Arlan.

"Nangis aja, gakpapa. Kamu bisa cerita kapanpun kamu udah siap, ya?" Hanya anggukan yang menjadi jawaban atas pertanyaan Arlan, dan pria itu sadar bahwa bukan ranahnya untuk memaksa Mima mau mengatakan apa yang terjadi.

Tugasnya hanya selalu membuat Mima merasa tenang dan juga aman. Itu saja.

Arlan membawa Mima pulang ke apartemen wanita itu dan karena rencananya semua camilan yang ia beli memang untuk Mima, sesampainya di sana Arlan langsung menyimpannya pada laci di dapur sambil menunggu wanita itu membersihkan diri. Dia bahkan menyusun semua jajanan dengan begitu rapih, memisahkannya dari tumpukan mie instan sehingga akan memudahkan Mima nantinya.

Saat kembali ke depan, ternyata Mima sudah keluar dari kamar mandi dan terlihat segar sehabis mandi. Wanita itu duduk di atas sofa sambil menekuk lututnya, wajahnya terlihat masih sembab karena menangis membuat Arlan mendekat dan ikut duduk di sampingnya.

"Better?" Mima mengangguk sambil tersenyum.

"Aku juga bingung kenapa aku harus nangisin hal yang gak perlu ditangisin. Maaf, ya? Jadinya kemeja kamu kotor kena ingus aku," jawabnya membuat Arlan tertawa pelan lalu mengangguk.

"It's okay. Jangankan ingus, muntahan pun gak masalah asal itu kamu orangnya."

Mima kembali terdiam dengan pandangan menerawang, hingga akhirnya dia menghela napas dan menatap Arlan lekat. "Malam ini ... kamu bisa gak nginep aja disini?" Pertanyaan tersebut membuat Arlan sedikit terkejut.

Arlan tidak pernah expect jika Mima akan menyuruh dirinya menginap di apartemennya.

"Sure, kalo kamu mau."

"Aku cuman lagi gak mau sendirian, lagian aku yakin kamu gak akan aneh-aneh." Lagi-lagi perkataan Mima membuat Arlan terbahak.

"Emangnya aneh-aneh apa, hm?"

Kedua pipi Mima bersemu. "Ya ... gak perlu aku jelasin juga kamu pasti ngerti, kok! Jangan pasang muka begitu, kamu jelek!" Mima menutup muka Arlan saat pria itu berlagak seperti pria mesum. Jelek sekali pokoknya!

Arlan cekikikan lalu kembali menarik Mima untuk ia peluk. Dikecupnya puncak kepala Mima dan mengusap punggung si wanita dengan lembut. "Iya, aku gak bakal apa-apa tanpa persetujuan kamu. Dan gak kepikiran juga."

Mima menyandarkan kepalanya dengan lebih nyaman pada dada bidang Arlan, dimana dia bisa mendengar jelas detak jantung pria itu.

"Aku lagi kangen sama Papa," ucapnya secara tiba-tiba membuat Arlan tersenyum. "... Padahal waktu itu udah ketemu. Gak tau kenapa malah nangis."

"Nangis karena nahan rindu itu gak enak, aku tau rasanya. Gak masalah mau kamu nangis sekalipun. Kangen sama orang tua sendiri itu gak perlu tahunan gak ketemu."

"Tapi, aku ngerasa justru tangisan tersebut sia-sia. Papa aku masih hidup, dia sehat, duit dia banyak, istrinya cantik. Dia sejahtera, buat apa aku nangisin dia coba?" Arlan mengelus rambut hitam Mima yang menguarkan harum segar.

"Kalo gitu, gimana kalo kamu jenguk Papa kamu?" usulnya.

"Aku udah pernah kepikiran mau temuin Papa, tapi selalu diwaktu yang gak tepat. Waktu aku mau ke rumahnya, pasti dia lagi liburan sama keluarganya. Aku suka ngerasa sedih karena gak diajak. Mungkin waktu itu kalo aku gak lagi kena musibah, mereka gak akan dateng." Mima memanyunkan mulutnya dengan sorot mata tajam.

Arlan menghela napasnya, ia bersandar pada kepala sofa dan membenarkan posisi Mima di pelukannya. "Apa setiap kamu mau dateng, kamu gak pernah ngasih tau Papa kamu?" Sebagai jawabannya, wanita itu menggeleng. Tangannya bergerak memainkan jemari Arlan yang panjang.

"Emangnya, seorang anak yang mau ketemu bapaknya harus banget izin apa?"

"Ya, emang itu gak salah. Cuman kan untuk menghindari kesalahpahaman, ada baiknya kalo kamu sebelumnya komunikasi sama Papa kamu. Tanggal segini kamu mau ketemu, supaya dia bisa nyesuain jadwalnya juga. Biar gak kayak yang udah-udah. Kamu mau ketemu eh ternyata dia lagi liburan, kan kamu sendiri yang ngerasa kesel. Iya 'kan?" Tanpa membantah, lagi-lagi Mima menganggukan kepalanya. "... Kalo kamu udah coba komunikasi kan seenggaknya mengurangi kadar sakit hati, supaya kamu gak berharap lebih. Bukannya gak boleh berharap pada seseorang, apalagi itu seorang ayah. Tapi, kita gak pernah tau apa yang akan terjadi. Hanya untuk meminimalisir aja," lanjut Arlan dengan panjang tanpa menghentikan usapannya pada kepala Mima.

Apa yang dikatakan Arlan memang tidak salah. Mima jarang sekali menghubungi Papa selain pada saat beliau mengirim bukti transferan, atau menanyakan ingin dibelikan oleh-oleh apa saat Papa sedang berlibur. Selain itu tidak ada pembahasan apapun lagi, seperti menanyakan kabar atau basa-basi lain.

Mima hanya merasa jika seharusnya Papa yang melakukan itu kalau masih menyayangi Mima sebagai anaknya, tanpa sadar dia semakin bersikap egois yang justru membuatnya kian larut dalam kesalahpahaman.

Wanita itu perlahan mendongak dan beradu tatap dengan Arlan. "Kamu mau temenin aku kalo aku ketemu Papa?" Arlan mengangguk tanpa ragu.

"Kenapa enggak? Sekalian aku kenalan sama beliau, 'kan?" Mima tersenyum manis lalu memeluk Arlan dengan erat.

"Makasih!"

"Jangan bilang makasih. Aku gak lakuin apa-apa. Kamu bisa panggil aku kapanpun kamu mau, oke? Sekarang kan kamu gak sendiri."

Mima semakin melebarkan senyumannya. Ya, dia sekarang tidak sendirian.

•Beloved Staff•

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 37.6K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
68.8K 4.3K 21
Katreena berubah menjadi sosok angkuh setelah penolakannya tempo itu. Sial, cintanya ditolak oleh anak pembantunya sendiri. Perasaan marah itu semaki...
Miss Rempong By UNI

General Fiction

3.9M 518K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...
3.4M 51.1K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...