Amerta

decin_scorpio द्वारा

2.1K 160 13

[Follow dulu sebelum membaca] ⚠️ Dapat membuat baper tak berujung⚠️ *** -He fall first, he fall harder- Jika... अधिक

P R O L O G
1. Sogokan?
2. Gadik Unik
3. Berangkat Bersama
4. Pojok Perpustakaan
5. Perihal Rasa
6. 5 Detik
8. Menjauh
9. 911
10. Roman Picisan
11. Saksi Senja
12. Langit Favorit
13. Payung di Kala Hujan
14. Jatuh Yang Menyenangkan

7. Pernyataan Tak Terduga

103 5 2
decin_scorpio द्वारा

Warung BUSET menjadi tempat pertama yang di tuju Bumi dan yang lainnya kala sampai di sekolah. Setelah saling menunggu di parkiran sekolah, kini kelimanya bersama-sama menuju warung BUSET.

Walau harus kena cegat pak satpam dulu. "Heh, mau kemana lagi kalian, huh? Mau bolos?"

"Astagfirullah si bapak, mau pergi jajan bentar doang di depan, belum sarapan nih." Putra menyahut lebih dulu dengan gaya dramatisnya.

"Masa sepagi ini kita udah bolos? Kalau niat bolos kita gak mungkin ke sekolah pak," ucap Tria kayak orang bener aja. Mana yang lain ikut mengangguki dengan kepercayaan diri yang tinggi.

"Tau nih pak Septi—"

"Nama bapak Septa, Kafka, Septa!" sela pak Septa galak.

"Iya-iya, salah dikit doang, sensian nih pak Septa," ucap Pati.

"Jadi boleh gak nih pak? Ke depan doang nih." Bumi kembali menawar.

"Yaudah jangan lama. 15 menit lagi bel masuk." Pak Septa memberikan izin.

"Yess! Pak Septi deh yang terbaik!"

"Septa Putra, Septa!" Astaga! Masih pagi tapi pak Septa sudah harus sabar menghadapi kelima manusia badung ini.

Sambil tertawa dan menunjukkan dua jari—jari telunjuk dan jari tengah—sebagai tanda perdamaian, kelimanya berjalan keluar menuju warung BUSET. Sebenarnya Bumi sudah sarapan tadi, cuma dia ngikut aja ajakan teman-temannya untuk nongkrong dulu di BUSET.

"Buset... burjo dong burjo!" teriak Putra gak tahu aturan.

"Bumi gak usah bu, udah sarapan soalnya," ucap Bumi.

"Ish! Untung aja kalian udah langganan di sini, kalau gak, udah gue slepet juga nih asal nyebut nama gue!" bu Siti datang dengan empat mangkuk bubur kacang hijau di atas nampan. Jangan berpikir kalau bu Siti layaknya ibu-ibu lain, karena wanita berumur itu sangat gaul—mungkin karena sering bergaul dengan anak bandel kayak mereka.

"Hehehehee... jangan gitu dong sama pelanggan setia bu," kekeh Kafka. Dia mendaptkan pukulan ringan dari nampan bu Siti di pinggungnya.

"Jangan gitu, jangan gitu, tapi plesetin nama gue terus,"ucap bu Siti berlalu.

"Becanda bu, becanda," sahut Pati tertawa. Lucu saja menggoda bu Siti.

"Hari ini yang jaga gerbang siapa?" tanya Bumi menatap yang lain.

"Gak tau deh, tapi cewek kalau gak salah tiga orang," jelas Putra. Mereka ini saking sudah sering bolos sampai bisa menghafal jadwal siapa yang berjaga di gerbang hari ini.

"Belum bel juga tuh kayaknya, masih rame yang nongkrong di parkiran." Parkiran yang di maksud Pati adalah parkiran yang berada di warung BUSET.

"Biasa juga gitu, tapi ujung-ujungnya telat," dengkus Tria.

"Yaudah sih, kayak bukan yang pertama aja," balas Kafka.

"Entar ada olahraga kan?"

"Hm," sahut Kafka menjawab pertanyaan Putra. "Kenapa, gak bawa baju lagi lo?"

"Enggak, gue tinggalin di laci dari minggu kemarin, kan gak masuk pelajaran olahraga sebelumnya."

"Anjir! Jadi baju lo seminggu di laci?" kaget Pati.

"Iya. Males gue bawa bolak-balik, berat-beratin tas."

"Dasar pemalas!" cibir Bumi.

"Pasti di kerubuni laba-laba baju lo," ujar Tria.

"Gak ada, orang tiap hari gue cek tapi gak ada," elak Putra. Hih! Sahabat-sahabatnya ini memang.

***

Bel tanda istirahat baru saja berdering, membuat kelas-kelas langsung kosong karena penghuninya yang berbondong-bondong menuju kantin—termasuk Laura, Melda, dan Zelly. Ketiganya berjalan sambil membahas tugas kerja kelompok yang akan mereka lakukan pulang sekolah nanti.

"Langsung lanjut ke rumah gue aja, gimana?" Zellyn bertanya sembari menatap kedua sahabatnya yang berada di sisi kanan dan kirinya.

"Iya langsung aja, lagian keburu malam kalau pulang dulu."

"Nah! Apalagi tahu sendiri Laura punya jam malam," timpal Melda mengingatkan tentang keadaan Laura yang memang tak bisa pulang larut.

"Beli bahan-bahannya dekat rumah lo aja Zel, ada gak?" tanya Laura.

"Ada-ada "

Sampai di kantin, seperti biasa stand-stand penjual sudah ramai oleh antrian pembeli.

"Gue antri makan, Zel beli minum, Lau cari meja." Melda menjelaskan tugas mereka masing-masing yang langsung mendapatkan anggukan dari keduanya.

Berpisah dari Melda dan Zelly, Laura berjalan mencari meja yang masih kosong. Beruntungnya ketemu, dengan cepat dia berjalan agar tak ada yang menempatinya lebih dulu.

"Laura!" baru saja menempati bangkunya, Laura sudah harus kembali menengok kala namanya di panggil seseorang.

Gilang rupanya—ketua Osisnya. "10 menit lagi ke ruang Osis bisa? Bahas acara festival."

"Oh, iya." Angguk Laura. Setelah kepergian Gilang Laura membuka ponselnya, mungkin karena dia mensilent benda pipih itu jadinya dia tidak mendapat notifikasi dari group inti.

"Sibuk amat bu?" Zelly datang sembari membawa tiga gelas es teh juga dua botol air mineral.

"Gue harus ke ruang Osis buat bahas acara festival," jelas Laura sembari meraih gelas es tehnya. "Kalau Melda balik terus gue udah pergi suruh bungkusin aja ya makanannya, entar gue makan istirahat kedua."

"Loh? Lo gak makan? Beli roti aja deh buat ganjel perut."

"Iya, nanti gue mampir ke koperasi." Masih ada setengah dari gelas es tehnya dan Laura sudah beranjak sembari memberikan uang 25 ribu ke Zellyn.

"Gue pergi dulu ya." Dan dengan tergesa Laura berjalan keluar dari kantin. Sebenarnya masih ada 5 menit lagi, tapi dia masih ada tugas untuk mengatur ruang Osis sebelum rapat.

Tak berselang lama Melda datang dengan nampan di tangannya. "Laura kemana?" tanyanya sembari keheranan karena hanya mendapati Zellyn di meja mereka.

"Biasa, ibu wakil sibuk," sahut Zellyn santai.

"Terus ini?" Melda menunjuk satu piring yang berisi makanan Laura.

"Dia suruh bungkusin aja, entar makan di istirahat kedua."

"Hadehhh... itu kenapa gue males join organisasi, ribet!" komentar Melda sembari duduk di tempatnya.

***

Kali ini Bumi tidak bisa lolos dari shalat sesi kedua dengan alasan ingin mengganti baju setelah pelajaran olahraga. Mau tau kenapa? Karena pak Tara benar-benar meneror mereka dengan menunggu di depan toilet, mana lengkap dengan rotan andalannya.

"Ya Allah, bapak ngalahin malaikat maut aja jagain kita." Putra sudah memasnag wajah cengengesan sewaktu pak Tara menatapnya dengan galak.

"Biar kalian gak kabur-kaburan. Kalian kira bapak gak tau kalian paling jarang shalat?!" bentak pak Tara.

"Mana ada pak. Kita aja yang gak mau umbar-umbar kebaikan tahu." Bumi sudah berkhotbah layaknya orang bener.

"Halah! Kamu kira bapak gak pernah dapat laporan soal kelakuan kalian. Cepet sana jalan!" Menghela napas berat, mau tak mau Putra dan Bumi kembali ke kelas untuk menaruh baju mereka. Udah kayak narapidana aja mereka di kawal pak Tara terus.

Sampai di masjid, azan baru selesai berkumandang. Putra dan Bumi segera berjalan menuju tempat mengambil wudhu, selesainya baru mereka menuju ke dalam masjid.

Jika bertanya siapa yang akan keluar lebih dulu dari masjid, maka jawabannya anak-anak bandel seperti Bumi dan Putra. Alasannya agar tidak berdesak-desakan saat ingin memakai sepatu. Padahal sebenarnya mereka ingin melipir ke kantin dulu sebelum jam pelajaran selanjutnya.

"Paling mantep ke kantin kalau sepi gini emang," seru Putra bersemangat. Padahal waktu di suruh shalat lesu banget kayak orang kena tipes, astagfirullah memang anaknya.

"Eh, ada gebetan lo tuh, Bum!" tunjuk Putra ke arah meja yang di huni Laura dan Zellyn.

Melihat sosok yang di tunjuk Putra, dengan senyum yang mengembang Bumi berjalan menuju meja Laura.

"Woi! Kita kan mau beli minuman!" tahan Putra.

"Gue nitip aja, buruan sana!" Dengan kurang ajarnya Bumi mendorong punggung Putra agar tak mengganggunya.

Melihat kedatangan Bumi, Zellyn langsung memberikan kode ke arah Laura untuk menengok ke belakang—karena memang posisi duduk Laura yang membelakangi Bumi.

"Lihat siapa yang dateng."

"Hai!" sapa Bumi sembari mengambil tempat di samping Laura.

"Keliatan jelas mau pdkt," monolog Zelly sedikit berbisik.

"Hai. Baru kelar shalat?" tanya Laura sembari menatap sekilas ke arah Bumi sebelum kembali fokus dengan makanannya—pasalnya tak lama lagi bel masuk akan berdering.

"Hm, mau tahu gak doa gue apa hari ini?"

"Emang lo sempet doa tadi Bum? Orang kita yang keluar pertama."

Sialan! Putra merusak reputasi Bumi dalam satu kalimat tak bermutunya itu. Dengan kesal Bumi mendelik ke arah sahabatnya itu. Sedangkan Zellyn sudah tertawa mendengar celetukan Putra yang baru saja datang. Kalau Laura cuma diam aja, walau sempat terkekeh sebentar tadi.

Ingatkan Bumi untuk melempar tubuh Putra dari atas rooftop, ngeselin banget sahabatnya yang satu itu.

"Hehehehee... becanda elah," kekeh Putra mengambil tempat di samping Zellyn.

"Nggak pas timing lo Put. Ngerusak acara pdkt Bumi aja," tegur Zellyn masih sedikit tertawa.

Lupakan tentang topik tadi, kini Bumi menatap ke arah Laura yang sepertinya tidak terusik sama sekali. "Baru makan sekarang?"

"Iya, tadi harus rapat dulu," jawab Laura seadanya.

Mengambil botol airnya dari Putra, Bumi lantas membuka penutupnya dan langsung menyodorkannya ke Laura. "Minum air putih dulu," ucapnya.

"Gak usah—"

"Minum aja," keukeuh Bumi.

"Bener tuh Lau," ucap Zellyn mendukung.

Akhirnya Laura mengambil air yang di berikan Bumi, meneguknya beberapa kali. "Thanks ya." Laura tahu air itu jelas milik Bumi yang diberikan cowok itu padanya.

"Anytime Lau."

Setelah menutup kembali botol minum tadi, Bumi menyimpannya di atas meja.

"Kita balik kelas duluan ya, bye!" pamit Laura sambil berdiri, di ikuti Zellyn. "Kalian jangan pada bolos lagi!" Peringat Laura yang dengan sigap di jawab dengan sebuah hormat kepadanya.

"Siap ibu wakil!"

***

Ulangan kimia baru saja selesai di laksanakan. Tak perlu tanya bagaimana nasib warga-warga di kelas Laura begitu selesai mengumpulkan kertas ujian mereka. Mau meninggoy rasanya. Tapi beruntungnya masih ada 1 jam free yang di berikan bu Liz untuk mereka. Mungkin juga karena kasihan melihat wajah-wajah ingin menangis anak-anak muridnya.

"Laura, bawa kertas ujiannya ke kantor ya, ibu mau lanjut ke kelas selanjutnya." pinta bu Liz sembari beranjak. Padahal bukan Laura pengurus kelas, tapi ada saja guru-guru yang menyuruhnya hanya karena mengenalnya sebagai wakil Osis.

"Baik bu," ucap Laura tetap menyanggupi.

Setelah bu Liz keluar kelas, Laura membereskan kertas ujian tadi di atas meja guru. Mengisinya kembali ke dalam map coklat dan segera keluar kelas menuju ruang guru.

Tak perlu susah-susah bertanya di mana letak meja bu Liz, karena selain tiap meja guru yang diberikan nama, Laura yang sudah cukup sering masuk ke ruangan ini juga sudah hafal tempatnya.

Baru saja Laura keluar dari ruang guru, pak Hardi kembali menahannya di depan pintu.

"Laura, bapak boleh minta tolong?"

Mengangguk kecil, Laura menjawab pertanyaan pak Hardi dengan senyum kecil. "Boleh pak."

"Tolong kamu ke perpustakaan ya, lihat Bumi sudah selesai kerjaiin prnya belum. Anak itu sudah menunda dua pr terakhir jadi bapak menyuruhnya untuk selesaikan di perpustakaan."

"Oh iya, baik pak. Kalau begitu saya pamit dulu."

Tak jadi mengambil jalan ke kiri untuk kembali ke kelasnya, Laura ke arah sebaliknya menuju perpustakaan. Koridor lantai 1 memang di dominasi kelas 12, alasannya katanya karena guru-guru yang mengajar kelas akhir itu sudah lanjut usia, jadi akan susah naik-turun tangga. Entah itu alasan sebenarnya atau bukan, Laura cuma mendengar dari yang lain juga.

Seperti biasa, kelas akhir itu pasti jarang free class, mungkin karena persiapan untuk jenjang selanjutnya sehingga mereka harus lebih giat lagi belajar.

Sampai di perpustakaan, Laura menyapa bu Nining—penjaga perpustakaan—sebentar sebelum lanjut menyusuri meja-meja yang letaknya di deretan depan rak-rak buku, lalu lanjut ke meja-meja yang berada di tengah-tengah antara deretan rak buku pertama dan kedua.

Ternyata Bumi berada di sana, tepat di meja ketiga—terhitung dari sebelah kanan.

"Bumi." Panggil Laura sedikit mengguncang tubuh pemuda itu. Ternyata dia hanya tidur di sini.

"Bumi!" Guncangannya sedikit kuat kali ini. Dan berhasil! Bumi bangun dengan sedikit mengerang, matanya menatap sekitar sambil memicing—mencoba menyesuaikan bias cahaya yang masuk ke retinanya. Hingga pandangannya berhenti di wajah Laura yang berdiri di samping tubuhnya.

"Lau?"

Sungguh, Laura sudah tak bisa berkata-kata lagi. Setelah menghela napas kecil, dirinya lantas mengambil tempat di depan Bumi.

"Kok malah tidur? Bukannya kerjain tugas dari pak Hardi?"

Bumi tak langsung menjawab, dirinya menguap terlebih dahulu. Matanya sedikit berair dan memerah. "Susah Lau pr kedua, gak paham-paham. Jadinya tidur aja, gak lama lagi juga jam pak Hardi selesai."

Laura berdecak. Mau heran tapi di depannya saat ini adalah Pradipta Bumi Baskara—salah satu nama yang akan sering kalian temui di buku pelanggaran.

"Mana bukunya, biar gue ajarin." Laura menyodorkan tangannya yang langsung di turuti Bumi. Cowok itu memberika buku bersampul Campus ke depan Laura, lengkap dengan buku paket yang menunjukkan tugas rumah dari nomor 15 sampai 20.

"Susah kan?"

Memajukan kursinya, Laura menarik pulpen yang berada di depan Bumi. "Sini deketan, biar gue jelasin."

Bukannya mengikuti ucapan Laura, Bumi justru beranjak dan berpindah di kursi samping Laura. "Biar makin paham, jadi gini aja," jelasnya begitu Laura menatapnya dengan bingung.

Baiklah, lagipula tak ada yang salah. Setelahnya Laura benar-benar menjelaskan rumus-rumus yang harus di gunakan dan bagaimana cara mengerjakan tugas-tugas itu dengan rumus singkat.

"Sekarang udah paham?"

"Hm," angguk Bumi. Jujur saja, walau sering bolos dan membuat namanya menjadi langganan yang selalu terukir di buku pelanggaran, jangan remehkan Bumi tentang hal seperti ini. Otaknya itu sebenarnya lumayan encer, cuma kadang kalau sudah macet, apalagi di tambah hasutan dari keempat sahabatnya, maka godaan syaitan akan lebih dia ikuti.

"Coba kerjain."

Bumi menurut. Nyaris 30 menit waktu terlewat dalam diam—Laura bermain ponsel dan Bumi masih fokus dengan buku tulisnya. Tak jarang dia kembali melihat rumus yang di ajarkan Laura tadi dan cara mengerjakannya.

"Sudah!" serunya semangat. Dia lantas memberikan buku tulisnya ke depan Laura. "Coba periksa, udah bener kan?"

"Gue lihat dulu."

Nomor 15 dan 16 terlewatkan dengan benar. Begitu nomor 17, "kok setengah caranya aja di kerjain?" tanyanya keheranan. Pasalnya Bumi memang tak menyelesaikan nomor 17 dengan tuntas.

"Gak paham, stuck sampe situ aja."

Sudah lah. Lagipula hanya nomor 17 saja, nomor 18 dan 19 bisa Bumi selesaikan.

"Kok nomor 20 cuma rumusnya aja?"

"Nah, kalau yang itu gue bener-bener gak paham," jawab Bumi lugas.

"Yaudah, sini lanjut kerjain, biar gue dikte cara-caranya."

Bumi semakin mendekatkan kursinya ke kursi Laura. Meletakkan buku tulis di antara keduanya—Bumi mulai menulis tiap kali Laura menjelaskan secara perlahan.

"Kebalik Bumi, di sini sin, bawahnya baru cos."

2 soal yang tak terjawab pun selesai. Laura kembali memeriksa, sedangkan Bumi sudah menjatuhkan kepalanya di atas meja. "Kenapa dunia ini harus ada matematika yang serumit ini?" keluhnya dengan mata terpejam. Sungguh otaknya benar-benar mengepul sekarang.

Matanya kembali terbuka, langsung tertuju ke arah wajah Laura. Cantik. Gadis yang selalu menggunakan headband itu selalu cantik mau di lihat dari sudut manapun.

"Laura,"

"Iya?" Laura masih sibuk memeriksa.

"Gue suka sama lo." Hening. Gerakan Laura yang hendak mengganti angka di buku Bumi pun terhenti. "Mau gak jadi pacar gue?"

#To Be Continued

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

SAGARALUNA Syfa Acha द्वारा

किशोर उपन्यास

3.3M 166K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
SNK ABSURD deactive द्वारा

हास्य-विनोद

54.6K 5.8K 35
[ GC ] eremika aruani levixreader #1 on AOT (8th January 2022) #1 on SNK (16th January 2022) #1 on Cht (18th January 2022) #1 on attackontitan (26th...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
6.4M 24.3K 3
Cover by @Imeldapriskila_