๐˜ผ๐™ฃ๐™ฉ๐™๐™ค๐™ก๐™ค๐™œ๐™ฎ; ๐˜๐˜ช๐˜ฏ๐˜ฅ...

Od ChimVicyo

6.1K 2.7K 2.5K

Tak lebih-kurang cerita ringan yang memuat cinta pertama bersama taruna yang sadar atau tidak, miliki benang... Viac

โœŽโ”Šgaris lakon
i. kolerasi dua asing
iii. deja vu
ii. perkenalan
iv. sampai jumpa
v. amplop cokelat
vi. manusia dan masing-masing lukanya
vii. pergi tanpa pamit selayaknya
viii. awal mula; tetangga
ix. elegi bumi
x. cerita serupa
xi. simbiosis
xii. uncle
xiii. pemuda braga; hujan
xix. simbiosis nemesis
xv. tugas semester; antologi
xiv. tentang
xvii. nemesis
xviii. siput tanpa cangkang
xix. hansa dan segala tingkahnya
xx. selangkah lebih dekat
xxi. rasa tak terkontrol
xxii. sebuah alasan
xxiii. jangan sakit lagi
xxiv. hari itu, di toko buku
xxv. arkade
xxiv. sajak di penghujung bulan lima
xxvii. teleskop; sebuah janji
xxviii. konstelasi rasa
xxix. dodgeball
xxx. sebenarnya, aku suka ...
xxxi. dawai di bawah rinai
xxxiii. perbedaan kontras yang jelas
xxxiv. patah hati bulan juni
xxxv. payung pelindung

xxxii. dilema

59 15 2
Od ChimVicyo

[🎬] xxxii. kembali di balkon kamar; prihal

𝟐:𝟏𝟏 ━━❍───── 𝟒:𝟐𝟑
⇆ㅤㅤ◁ㅤ❚❚ㅤ▷ㅤㅤ↻

“Kamu habis darimana aja jam segini baru pulang? Di mana Hujan? Kenapa kamu pulang sendirian?”

Di bawah beranda depan rumah, Jendra berdiri mendongak dalam naungan payung berwarna merah, sebagian besar bajunya basah, napas tak luput terengah. Hadirkan kepulan asap tipis dari mulutnya. Menilik raut wajah, terlukis jelas riak khawatir bercampur bumbu marah.

Khansa sekadar menatap datar tanpa beri sahut, kemudian lalu masuk ke dalam rumah. Sikapnya benar-benar dingin, buat Jendra tidak bisa sembunyikan rasa bingung.

“Khansa, kamu kenapa?” Pegang pundak yang lebih muda dari depan. Spontan hadirkan reaksi penolakan, Khansa enyahkan tangan sang paman lumayan kasar.

“Khansa, jangan bikin Uncle khawatir deh.” Terdengar suara erangan frustrasi. Jendra benar-benar tidak bisa paham dengan sikap Khansa hari ini. Ada apa gerangan?

“Ini semua gara-gara Uncle, aku malu, aku kesel, aku marah, tapi sialnya Uncle bahkan enggak bisa aku salahkan. POKOKNYA AKU KESEL!!” Khansa tekankan kalimat akhir, hadirkan suara nyaring bersama perasaan yang uring.

Kemudian, gadis itu berjongkok, sembunyikan wajah, lanjut menangis. Sempat ternetralisi sebab kehadiran Hansa buatnya bisa lupakan sebagian ingatan itu.

Khansa kira, ketika dia bersapa tatap dengan Jendra, hal memalukan yang terus hilirisasi dalam ramainya antawacana akan segera sirna dalam memori kepala. Bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Ironisnya, semua terasa sia-sia. Sebab, wajah Jendra picu ingatan itu kembali lagi. Terus berdesak-desakan secara abstrak, penuhi setiap ruang dalam benak. Sesak.

“Khansa, kamu ken—aduhh!” Jendra tak dapat rampungkan kalimat, sebab tutup panci sudah lebih dulu ambil 𝘴𝘵𝘢𝘳𝘵. Buat dahi dijalari rasa sakit. Dan pelakunya adalah ...,






Ibunya sendiri.

Sembari berkacak pinggang, wanita paruh baya itu menatap Jendra nyalang. “Kamu apain Khansa sampe nangis kaya gitu, ha?!” Dan itu bukan pertanda baik, kesalahpahaman tidak bisa terelakkan untuk terbit.

“Ampun Ambu ..., Jendra beneran enggak apa-apain Khansa!” Tiada guna, sang Ibunda terlanjur emosi. Tidak indahkan ringis melas minta pengampunan, berondongan pukulan tak manusiawi terus menghujani.

“Bohong! Ambu denger sendiri Khansa bilang semua ini gara-gara kamu, ya!!”

Hari itu, Khansa ingat bagaimana Nenek marah besar kepada Hendra karena kesalahpahaman. Bukan tak ingin menjelaskan dan melerai, hanya saja Khansa masih kesal. Pula, dia tidak tahu harus mulai dari mana. Terlalu memalukan untuk diungkit.

Langkah gontai, tinggalkan keributan. Bahu masih senantiasa bergetar, sisa segukan. Naiki tangga tak bertenaga, tutup pintu asal. Timbulkan bunyi debam kencang, kagetkan dua anak-ibu yang masih sibuk berseteru di ruang tamu.

“Jawab sejujur-jujurnya, kamu apain Khansa?” Sudah hentikan penganiayaan (bukan dalam konteks serius), desak Jendra untuk segera beri penjelasan.

Raup oksigen sebanyak-banyaknya. “Biarin Jendra napas dulu, Bu.” Angkat tangan kanan sebagai isyarat.

Dirasa sudah cukup kondusif, Jendra beber apa yang sebenernya terjadi. “Ambu tadi Magrib ‘kan nyuruh Jendra nyari Khansa?” Yang lebih tua, mengangguk, mengiyakan. Memang benar demikian. “Jendra carilah dia kemana-mana, ke sekolah, jalan-jalan kota, sampai rela nanya-nanya ke rumah temen sekelas dia bareng satpam sekolah, hasilnya nihil. Terus, pas Jendra pulang, mau bilang sama Ambu kalo Khansa enggak ketemu, dia udah ada di depan rumah aja. Sikapnya mendadak aneh, waktu Jendra tanya kenapa, dia malah nangis.”

“Oh, gitu?”

Jendra konstan ternganga. 𝘚𝘱𝘦𝘦𝘤𝘩𝘭𝘦𝘴𝘴. “Cuman ‘oh gitu’ doang, setelah apa yang udah Ambu lakuin sama Jendra?” Desah kasar penyalur perasaan menolak percaya.

“Ya udah, maaf.” Kendati suaranya kentara tidak ikhlas, buat Jendra hela napas.

Mengalah, sudah. Rumus orang tua selalu benar, tidak pernah sekali pun lakukan salah tidak akan pernah bisa dibantah. Itu sudah menjadi adat-istiadat turun-temurun.

Memilih tak menjawab, Jendra melengos begitu saja, masuk kamar. Bibirnya berkomat-kamit, bergerutu. Rupa-rupanya anak itu pundung. Tentu saja, dia adalah satu-satunya korban ketidakadilan di sini.

Sementara, Khansa kini biarkan tubuhnya terbaring meringkuk di atas ranjang alih-alih segera mandi, mengganti bajunya yang lembab. Persetan dingin dan masuk angin, pokoknya suasana hati Khansa sedang tidak baik-baik saja.

Usap kasar sisa genangan pada pelupuk. Pandangan menerawang, telusuri penjuru pelafon sewarna kelabu. Sebab, sudah lama tidak di cat ulang itu dengan sorot mengawang sayu.

Tanpa dikomando, percakapan bersama Sihan tadi sore tiba-tiba mampir dalam keruhnya kepala. Sempat menerka-nerka terlalu jauh. Hingga pada akhirnya tertampar realita sialan. Khansa terlalu cepat ambil kesimpulan.

“𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘬𝘦 𝘪𝘯𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢, 𝘣𝘦𝘴𝘰𝘬 𝘭𝘶𝘴𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘬𝘰𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘦 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘣𝘢𝘺𝘢. 𝘚𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪, 𝘢𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘫𝘶𝘫𝘶𝘳. 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶, 𝘢𝘨𝘢𝘳 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘵𝘦𝘳𝘬𝘦𝘫𝘶𝘵. 𝘖𝘬𝘦?”

“𝘚𝘦𝘣𝘦𝘯𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢, 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢 .... ”

“𝘔𝘢𝘢𝘧, 𝘭𝘰 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘱𝘦 𝘪𝘥𝘦𝘢𝘭 𝘨𝘶𝘦!”

“𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘱𝘦 𝘪𝘥𝘦𝘢𝘭 𝘢𝘬𝘶.”

“𝘛𝘦𝘳𝘶𝘴?”

“𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘤𝘰𝘸𝘰𝘬 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘯𝘨𝘢𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘵𝘪𝘢𝘱 𝘱𝘢𝘨𝘪, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘮𝘶, 𝘒𝘩𝘢𝘯𝘴𝘢. 𝘋𝘪𝘢 𝘔𝘢𝘮𝘢𝘯𝘨, 𝘬𝘢𝘮𝘶, ‘𝘬𝘢𝘯? 𝘉𝘪𝘴𝘢 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘪𝘢? 𝘈𝘬𝘶 𝘮𝘢𝘭𝘶 𝘬𝘢𝘭𝘰 𝘣𝘪𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘦𝘤𝘢𝘳𝘢 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨. 𝘛𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨, 𝘺𝘢𝘩.”

Tanpa merasa dosa (sudah buat anak orang salah berprasangka), Sihan lalu begitu saja. Tinggalkan Khansa yang mematung, tak bergerak. Bahkan lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar. Saking terkejutnya.

Reka ulang peristiwa menggemparkan itu buat Khansa mati kutu. Perasaan yang mendominasi tentu saja malu. Tidak pernah menyangka sebelumnya, bahwa Sihan akan mengatakan hal semacam itu.

Salah ‘kah Khansa merasa harga dirinya sebagai perempuan terinjak-injak sampai inti bumi?

Tolong camkan! Sihan itu laki-laki, sudah sepatutnya menyukai seseorang yang miliki gender berbeda dengan dia, bukan malah Jendra yang miliki predikat sama.

Khansa benaran kesal kepada semesta. Kenapa dia harus di pertemukan dengan manusia modelan seperti Sihan, coba?

Bukan ingin menghakimi, orientasi seksual adalah hak masing-masing setiap individu. Kendati, tetap saja Khansa tidak bisa terima begitu saja. Merasa kalah saing. Juga, Khansa tidak bisa membenarkan satu paragraf salah dan memakluminya. Seolah, hal itu tiada miliki dampak apa-apa. Ini jelas-jelas kekeliruan.

Semakin dipikirkan, semakin buat Khansa uring-uringan.

Apakah setidakmenarik itu dia di mata lawan jenis?

Gara-gara kejadian ini, Khansa mulai 𝘰𝘷𝘦𝘳𝘵𝘩𝘪𝘯𝘬𝘪𝘯𝘨 prihal hubungannya bersama Hujan. Dia takut jika perasaan tercurah sepihak tanpa timbal-balik. Hadir begitu banyak hal rancu, doktrin otak dengan berbagai hipotesa tak menentu. Buat Khansa kian resah.

“DASAR SIHAN SIALAN!!” Bergerak anarkis, tendang-tendang udara dengan wajah bersembunyi di balik bantal.

Ini adalah kenangan paling buruk, dari di tinggal Mama. Demi Tuhan!

“ARGHHHHHH!!!” Gadis itu berteriak bagai orang kesetanan. Tidak peduli suara Nenek dan Jendra bertanya keadaan di luar. Dia hanya ingin lampiaskan semua hal mengganjal malam ini. Lalu ketika bangun esok hari, dia sudah melupakan semua. Seolah, hari kemarin tidak pernah terjadi hal apapun.

“Khansa, sayang, buka pintunya. Kamu kenapa? Ada masalah? Kamu bisa cerita semua sama Nenek, jangan kaya gini, ya.” Di balik pintu kayu suara Nenek terdengar khawatir. Tentu saja, tingkah Khansa picu spekulasi macam-macam.

“Khansa enggak apa-apa. Jangan peduliin Khansa, Khansa mau sendiri.”

Meski sempat bersikukuh untuk ajak bicara, pada akhirnya Nenek mengalah saat Jendra membawanya turun ke lantai dasar. Biarkan Khansa lakukan apa yang dia inginkan. Pula, biarkan dia selesaikan apa yang menjadi problematika.

Orang dewasa hanya perlu beri ruang dan pengertian. Biarkan Khansa menyelesaikan masalahnya sendiri. Ada masanya, anak seusia Khansa ungkap cerita bila sudah merasa baik-baik saja. Dan lagi-lagi, Nenek membenarkan semua yang Jendra ucapkan.

𝟐:𝟏𝟏 ━━❍───── 𝟒:𝟐𝟑
⇆ㅤㅤ◁ㅤ❚❚ㅤ▷ㅤㅤ↻

Pukul dua belas pas, dan Khansa belum kunjung terlelap, bercengkrama bersama alam bawah sadar, hadir bunga mimpi. Dia masih betah menelanjangi langit, seperti kesukaannya. Hujan yang sempat mampir, sudah menyingkir. Kabut tak lagi nampak, barangkali rehat sejenak setelah turun bersama uap embun yang dingin.

Riuhnya sesuatu dalam kepala adalah alasan utama. Khansa tidak bisa pejamkan mata saat suara-suara fatamorgana nan berisik itu ganggu indera pendengaran. Dan opsi yang dia miliki agar kantuk hadir adalah, menatap bentang padang bintang.

Kaca balkon depan nampak gulita, pertanda penghuninya sudah beristirahat. Mungkin?

Terdapat banyak pengandaian mengakar tanpa jalur apalagi lajur, semua nampak simpang siur. Dan hal itu bermuara atas satu nama, Saskara Hujanakawija.

“Sial! Gue bahkan enggak bisa tidur gara-gara kepikiran terus. Andai aja, tadi sore gue enggak turutin permintaan Sihan, mungkin semua ini enggak bakalan terjadi. Gue bakalan tetep adem-ayem suka Hujan tanpa harus kepikiran gimana perasaan dia buat gue, tanpa harus pusing-pusing pikirin hal yang bahkan belum pernah terjadi.” Entah ke seberapa kali, Khansa menyugar rambutnya kasar.

Pula, percakapan via pesan bersama Hujan terputus. Anak itu hilang kabar, setiap kali Khansa coba hubungi, nomornya terus berada di luar jangkauan. Menandakan, dia mematikan daya sepenuhnya.

“BRENGSEK!!”

“Berisik!”

Andai refleks tidak bekerja cepat, tutup mulut yang nyaris berteriak kencang (mengumpat histeris) gunakan kedua telapak tangan, mungkin kegaduhan yang timbul akan undang kemarahan tetangga. Sebab sudah ganggu agenda rehat mereka.

Tetapi sungguhan, Khansa tidak bisa sembunyikan keterkejutan kala menemukan sosok kepala tetiba muncul dari balik gelapnya balkon sana. Dan pelakunya tentu saja Reehansa, siapa lagi?

Berjalan mendekat, wajah bantal turut membersamai. Anehnya, rambut serta baju tidur tidak nampak kusut. Rapi. Apa dia benar-benar habis bangun tidur, atau, sama seperti Khansa, tidak bisa tidur?

“Kenapa?” Hansa kemudian berdiri berhadap-hadapan dengan Khansa yang menatapnya tanpa berkedip.

Terlalu munafik bila Khansa menampik pesona Hansa yang cukup eksentrik pada situasi ini. Dia cukup menarik untuk undang ayat puji. 𝘎𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯𝘨. Apalagi, ketika teringat kejadian di beranda.

Mengerjap, sadar apa yang baru saja dia bicarakan dalam hati, Khansa maki diri sendiri. Ganteng apanya? Hansa sama saja seperti laki-laki lain, ingat! Jangan lewati batas!

“Pusing.” Hela napas hadir. Pancaran afeksi dalam obsidian itu tidak bisa berbohong.

“Udah minum obat?”

“Bukan pusing karena hal itu.”

“Lalu?”

“Banyak pikiran.”

Suara decihan terdengar bersama kekeh kecil. “Cih! Sudah seperti orang dewasa saja.”

“Hei! Setahun lagi kita memang akan dewasa, tahun depan kita sudah berusia dua puluh tahun, tahu!” Khansa menjawab sedikit sewot.

“Benar juga. Tetapi, dewasa bukan hanya tentang usia, sudut pandang dan keadaan juga mempengaruhinya. Karena tidak sedikit, orang-orang di dewasakan oleh keadaan.”

Khansa mengangguk sambil berguman. “Iya juga, sih.” Kemudian, menghela napas panjang.

“Mau cerita?”

Dara itu mengerutkan alis. “Apa?”

Sempat bertingkah seperti akan bicara sesuatu, kemudian tanpa alasan jelas, tarik kembali ucapan yang nyaris terlontar. Berganti menjadi, “Tidak jadi.”

Undang tatap julid dari Khansa untuk terpanah. “Dasar aneh!”

Sekadar gendikkan bahu. Tak ingin perpanjangan debat tak berguna. Hansa terlalu kenyang adu argumentasi bersama Khansa untuk hari ini, nanti disambung lagi esok hari. Untuk sekarang sudah cukup sampai di sini.

Hening unjuk kuasa, puan dan tuan sama-sama diam. Perhatikan bagaimana cahaya noktah pada horizon berkedip, binarnya tak terlalu jelas, sebab jarak yang terlampau.

“Hansa.” Setelah kebisuan hampir memenjarakan raga, Khansa menjadi orang pertama yang buka suara.

“Apa?”

“Menurutmu, jika kita menyukai sesuatu, sebaiknya kita jujur atau pura-pura bersikap biasa-biasa saja? Maksudku, kita menyangkal dan terus berada di zona aman.” Pertanyaan tak terduga dari Khansa buat Hansa angkat sebelah alisnya.

“Tentu saja harus jujur. Meski pun terkadang kejujuran itu menyakitkan serta tidak selalu sesuai dengan harapan, dengan bersikap jujur bisa membuat perasaanmu lebih tenang. Kamu ingin bahagia sesaat kemudian merasakan sakit yang teramat karena kebohongan, atau sakit kemudian merasa lega karena kejujuran?”

Tipiskan bibir. “Aku bingung. Kejujuran dan kebohongan serupa tetapi tak sama.” Khansa diam sejenak. “Intinya sama-sama sakit.”

“Namanya juga kehidupan, terlalu manis sebabkan diabetes.” Bukannya tergelak dengar lelucon picisan itu, Khansa malah semakin terlihat guram. Zat endorfin dalam dirinya sudah habis, dan Khansa belum mengisinya kembali dengan makan cokelat atau es krim. Selera makannya sedang tidak baik-baik saja sekarang.

“Jadi, sebaiknya aku jujur saja?” Dan Khansa mendapati Hansa mengangguk dari sebrang sana.

“Sudah malam. Sebaiknya kamu cepat tidur, besok kita sekolah, dan jangan lupakan soal tugas antologi yang akan kita kerjakan nanti.”

Memutar bola mata malas. “Tugas, tugas, tugas, terus. Lagian masih lama juga.”

“Semakin cepat, semakin bagus.”

“Terserah!”

“Ngomong-ngomong, mau menginap di rumahku? Jika kamu tidak bisa tidur, aku bisa menyanyikan Nina Bobo dan memelukmu seperti di rumah sakit.”

“OGAH!!” Suara derit pintu kaca dibanting asal buat Hansa tersenyum sumir.

“Dasar cewek pemarah, emosian.”

𝐁 𝐄 𝐑 𝐒 𝐀 𝐌 𝐁 𝐔 𝐍 𝐆

↷✦; 𝗓𝖾𝗋𝗈𝖻𝖺𝗌𝖾𝗈𝗇𝖾 𝗅𝗈𝗄𝖺𝗅 ❞

𝖬𝖾𝗌𝗄𝗂𝗉𝗎𝗇 𝗍𝖾𝗅𝖺𝗍 𝗉𝖺𝗄𝖾 𝖻𝖺𝗇𝗀𝖾𝗍, 𝗍𝖺𝗉𝗂 𝗌𝖾𝗅𝖺𝗆𝖺𝗍 𝗁𝖺𝗋𝗂 𝗄𝖾 𝟣𝟢𝟢 𝗁𝖺𝗋𝗂 𝖽𝖾𝖻𝗎𝗍 𝖱𝗂𝖼𝗄𝗒 𝖲𝗁𝖾𝗇 🥰

Pokraฤovaลฅ v ฤรญtanรญ

You'll Also Like

52.4K 4.9K 49
WARNING! 21++โœ“ YIZHAN โœ“ MAFIA โœ“ BxB โœ“ M-PREGโœ“. Terjebak dalam sarang mafia, Xiao Zhan .. seorang pemuda...
759K 54.6K 46
[Brothership] [Not bl] Tentang Rafa, hidup bersama kedua orang tuanya yang memiliki hidup pas-pasan. Rafa tidak mengeluh akan hidupnya. Bahkan ia de...
75.6K 3.5K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa๐Ÿ˜ธ (GirlxFuta)๐Ÿ”ž+++
177K 19.4K 40
Xiao Zhan kabur dari kejaran orang-orang yg ingin melecehkannya dan tidak sengaja memasuki sebuah ruangan, ruangan dimana terdapat seorang pria yg se...