The Lost Earth

נכתב על ידי Hello_LinLin

455K 27.2K 283

Kemana lagi aku dan mantan suamiku harus mencari putra kami yang hilang? ••• Shiren kehilangan putranya, Bumi... עוד

PROLOG
1. Misery
2. Sand Bed
3. Fenceless
4. Turn The Scales
5. Terra
6. Hearty
7. Twitch
8. Envisage
9. Explicate
10. Get the Wind Up
11. Kick Up a Row
12. Knick-Knack
13. Take to One's Heels
15. Put to The Front
16. Put the Finger On
17. Bring Out Into the Open
18. Sunshiny
19. Fall in Line
20. Blameworthy
21. Quandary
22. Crumple
23. Bury The Hatchet
EPILOG

14. Take a Promenade

16.6K 1K 6
נכתב על ידי Hello_LinLin

•••

Gavi

Hari ini aku begitu bersemangat dalam menutup kelas pagi. Waktu menunjukan pukul 08.30, aku harus segera menjemput Shiren di rumahnya. Aku sudah berjanji akan menjemputnya kemarin.

Bukan tanpa alasan aku mengajaknya jalan-jalan hari ini. Shiren terlihat begitu lelah dengan semua masalah yang terjadi, tubuhnya semakin kurus. Beruntungnya hari ini aku hanya masuk ke satu kelas. Shiren juga tidak ada jadwal di kursus. Semoga dengan jalan-jalan ini, wanita itu bisa sedikit melupakan masalahnya.

Ketika sampai di depan rumah Shiren, wanita itu tanpa membuang waktu segera masuk ke mobilku. Dandanannya biasa, tapi entah kenapa aku merasa dia semakin memesona. Shiren mungkin tidak tahu, meskipun tidak ada riasan berlebihan di wajah eloknya, dia tetap cantik.

"Udah siap?" Aku berbasa basi.

Shiren mengangguk kecil. "Makasih, ya. Aku nggak tahu kenapa kamu tiba-tiba ajak aku jalan-jalan gini, tapi yang jelas makasih."

"Anytime."

Jalanan waktu itu cukup renggang. Mungkin karena masih pagi dan hari ini bukan weekend. Kurang lebih 30 menit perjalanan, kami akhirnya sampai di sebuah tempat wisata yang menyuguhkan pemandangan pohon pinus sebagai objek utama.

Aku rasa tempat ini sangat cocok untuk Shiren agar dia bisa rehat sejenak. "Do you like it?"

"Of course I do." Shiren memejamkan mata lalu menghirup udara segar banyak-banyak. Dia terlihat sangat menikmatinya. "Udaranya seger banget."

Kami pun memilih untuk duduk di sebuah gazebo kecil yang disediakan pihak wisata. Untuk beberapa saat, kami sama-sama tidak bicara hanya fokus mendengarkan kicauan burung-burung.

"Kalau nanti Bum udah ketemu, aku bakal ajak dia ke sini." Shiren mulai bercerita.

Aku hanya tersenyum untuk menanggapinya. Shiren pun lantas melanjutkan, "Semalem, aku terus kepikiran kejadian di puskesmas, Gav. Hani itu deket banget sama Bum, mana mungkin dia sampai salah lihat. Aku jadi semakin yakin kalau Bum itu beneran diculik."

Dahiku mengernyit keheranan. "Kasus ini agak aneh. Penculik itu nggak mungkin buntutin kamu, kan? Lagipula, Bum ilang waktu kecelakaan. Jadi, emang sulit buat kita selidiki pelakunya." Aku menjeda sejenak. "Tapi, kamu nggak punya musuh, 'kan?"

"Musuh?" Shiren menoleh padaku. "Kayaknya nggak punya. Tapi aku nggak tahu gimana pandangan orang lain ke aku. Bisa aja sebenernya aku punya musuh, tapi aku pasti nggak sadar."

Pemaparan Shiren membuatku berpikir ulang. Satu-satunya orang yang bisa membenci Shiren hanya mama dan papa, tapi sangat tidak mungkin mereka yang menculik Bum, bukan? Keberadaan Bum pun mereka sama sekali tidak tahu menahu.

Sementara aku saja baru tahu kalau Bum ada di dunia ini. Bukankah sangat kecil kemungkinan orang tuaku yang menculiknya? Aku jadi menghela napas. Siapakah orang yang tega menculik anak gembul itu? Apa mereka tidak kasihan pada ibunya?

"Selama ini juga nggak ada yang aneh-aneh. I mean, nggak ada teror atau ancaman. Aku jadi bingung."

"Kalau di kursus?" balasku. Aku baru diberi tahu Shiren kalau dia bekerja di kursus beberapa hari yang lalu.

"Kalau di sana..." Shiren mengingat-ingat. Aku menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya akibat tertiup angin. Sementara Shiren kembali menjelaskan, "Nggak ada. Semuanya normal-normal aja."

"Berarti emang kemungkinan orang asing," sahutku.

"Hmm," gumam Shiren setuju. "Aku cuma berharap Bum nggak diapa-apain. Soalnya aku pernah denger berita penculikan yang akhirnya si korban ini dijual organ tubuhnya."

Kepalaku mengangguk ringan. Sepertinya aku harus segera mengalihkan topik pembicaraan karena Shiren kembali murung. Jujur, aku tidak suka melihatnya begitu. Jalan-jalan kali ini untuk memulihkan tenaga Shiren, bukan justru menambah beban pikirannya.

"Aku pesenin makan," ujarku. Disekitar tempat wisata ini banyak sekali penjual makanan ringan. Shiren pasti lapar.

"Eh, nggak usah. Makanannya pasti mahal."

"Nggak apa-apa. Kamu tunggu sini."
Segera saja aku beranjak dan memilih makanan yang kira-kira disukai Shiren dan pilihanku jatuh pada jagung rebus.

•••

Aku menahan senyum saat Shiren berbalik badan membelakangiku. Dia bilang ada sisa jagung yang menempel pada giginya.

"Jagungnya enak?"

"Enak." Shiren kembali menghadapku. "Makasih banyak, Gavi, udah ajak aku ke sini. I feel so much better."

Aku mengangguk saja. Itu bukan hal yang besar hingga dia harus berterima kasih dua kali. Namun, dari sini aku menyadari kebahagiaan seseorang tidak bisa diukur. Seperti Shiren, padahal aku hanya mengajaknya ke tempat wisata biasa tapi wanita dihadapanku ini terlihat lebih bahagia.

"Oh ya, Papa kamu baik-baik aja, 'kan? Udah lama aku nggak ketemu beliau."

Astaga, kenapa dia harus membahas orang tuaku disaat seperti ini, sih? "Papa baik."

"Syukur, deh. Omong-omong, Papa kamu masih jadi anggota dewan?" tanya Shiren lagi. Sepertinya dia tidak menyadari raut wajahku yang berubah jengkel.

"Nggak. Papa kalah waktu pemilihan."

Shiren menatapku cukup lama. Sepertinya dia keheranan. Wajar, dulu juga aku begitu. Papa adalah orang yang cukup mentereng diranah politik daerahku. Sebenarnya kekalahan ini sungguh tidak terduga. Hal tersebut menyebabkan papa syok luar biasa dan berakhir sakit-sakitan seperti sekarang.

Setelah mengatakan itu, Shiren menunjukkan wajah sungkan. "Oh, maaf. Aku kira—"

"Jagung kamu udah habis?" Kembali, aku membelokkan topik.

Shiren terlihat merasa bersalah. "Iya ini udah, kok."

Hari sudah siang, Shiren bilang dia tidak ingin menahanku lama-lama. Makanya dia ingin pulang sehabis makan jagung. Padahal aku tidak keberatan jika kami pulang sore nanti.

"Ayo pulang. Kamu pasti capek." Shiren beranjak dari gazebo. Kali ini dia memimpin jalan, aku memilih berjalan dibelakangnya sambil sesekali memperhatikan punggung mungil itu.

Tempat wisata ini jadi ramai setelah siang hari. Pengunjungnya juga didominasi oleh anak-anak sekolah yang tampaknya baru pulang sekolah. Ada juga rombongan ibu-ibu yang sedang menggelar tikar di sebelah pohon pinus. Tawa mereka menggelegar sampai aku yakin semua orang dapat mendengarnya.

"Bumi!" Shiren tiba-tiba berseru "— Itu—itu Bumi, 'kan, Gav?"

Aku yang terkejut segera menoleh ke arah yang Shiren tunjukan. Namun, belum sempat aku melihat Bum, Shiren sudah terlebih dahulu berlari ke arah parkiran motor. Seketika aku panik dan mulai mengikutinya.

"Bum! Bumi!" teriak Shiren. Larinya sangat kencang. Dia juga tidak memperhatikan apa yang ada disekitarnya. Bahkan dia tidak melihat sebuah motor yang melaju cukup kencang ke arahnya.

"Shiren! Shit!"

Aku menarik lengan Shiren dan membawanya kedekapanku. Namun, karena aku hilang keseimbangan, akhirnya kami jatuh ke sebuah tanah landai yang kemiringannya cukup curam. Aku terus memeluk Shiren meskipun tangan kiriku rasanya sangat sakit. Yang terpenting adalah Shiren harus selamat.

•••

Uh, badanku sakit sekali. Begitu membuka mata, aku langsung menyadari kalau sekarang ini aku sedang ada di rumah sakit. Bau obat-obatan dan pembersih lantai langsung tercium begitu saja.

Disekelilingku cukup banyak orang. Namun, tidak ada seorang pun yang berada di dekatku. Sepertinya orang yang mengantarku ke rumah sakit sudah pulang.

Aku mengernyit kebingungan karena Shiren tidak ada di ruang ini. Seorang perawat menghentikan aku ketika hendak turun dari ranjang. Padahal aku mau mencari Shiren.

"Jangan banyak gerak dulu, Pak. Lengan Bapak baru diobati."

Karena dia mengatakan begitu, aku reflek melihat lengan kiriku yang kini diperban melintang melewati dada. Astaga, bisa-bisanya aku tidak sadar. Dikepalaku saat ini hanya ada Shiren. Dia baik-baik saja, bukan?

"Saya mau cari perempuan yang ikut kecelakaan sama saya. Dia ada dimana?" Aku mencoba mengabaikan perih di lengan.

"Eum, sebentar, Pak." Perawat itu melenggang pergi. Sembari menunggunya, aku mencoba menggerakkan lengan kiriku sedikit. Namun, aku langsung menyesal karena ternyata rasa sakitnya bertambah.

Holy shit! It hurts.

Gawat, aku tidak bisa mengajar kalau begini. Bahkan sepertinya menyetir mobil saja aku tidak bisa. Decak kesal tidak dapat kutahan dari mulutku ini.

Tidak berapa lama, perawat yang sama kembali. "Dia ada di ruang sebelah, Pak. Sepertinya tadi masih pingsan."

"Pingsan?" Aku terkejut. Segera saja aku melonjak turun dari ranjang.

"Pak, jangan—"

"Saya nggak apa-apa!" Tatapanku menusuk tajam pada perawat itu hingga membuatnya pucat pias.

Sambil tertatih-tatih, aku perlahan berjalan ke ruangan sebelah. Tidak peduli dengan berbagai macam tatapan yang mengenaiku. Terlebih lagi, aku hanya mengenakan setengah kemeja, sementara setengahnya lagi hanya disampirkan ke bahuku yang terluka.

Saat berjalan di koridor, langkahku seketika berhenti saat mataku menangkap sosok Shiren. Entah bagaimana kami bisa sama-sama bertemu di koridor. Sepertinya dia juga sedang mencariku.

Gadis itu berdiri dengan tatapan cemas terutama pada lenganku. Tatapannya sangat tulus. Seperti mama yang melihatku dipukuli papa untuk pertama kalinya.

Ah, sekarang ini aku ingin sekali memeluknya dan berbisik lirih bahwa aku baik-baik saja. Aku tidak ingin melihat setetes air mata jatuh di pipinya layaknya sekarang. Wanita itu telah berhasil membuatku lebih mengkhawatirkan dia daripada diriku sendiri.

Rasa-rasanya sekarang aku mengerti perasaanku. Mau mengaku atau tidak, tampaknya aku memang jatuh cinta padanya. Perasaan itu mendorongku untuk selalu melindunginya. Aku sadar bahwa memang dari dulu, aku selalu ingin menjauhkan dia dari papa. Tidak lain agar Shiren tidak terluka. Semua hal yang kulakukan, itu demi dia. Bahkan perceraian kami pun kusetujui karena aku tidak ingin dia merasa sesak.

Sepertinya sekarang aku tahu harus melakukan apa. Persetan dengan hubungan kami, aku harus mendapatkan wanita itu lagi.

המשך קריאה

You'll Also Like

15.2K 799 18
Jaemin x All Member NCT start : 20.04.23 end : -
376K 10.3K 66
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.
113K 3.4K 30
"Kalian harus di nikahkan sekarang juga!" "Tapi ini semua salah paham!" "Saya terima nikah dan kawinnya..." Di nikahkan secara paksa dengan orang ya...
1.1K 99 6
Arneta tak menyangka menyukai Akra sama dengan bunuh diri. pria itu Menebar berita tak benar tentangnya, hanya karena Mizel. Semua akun medianya dire...