#day39
#Clue ; Zan
POV NORMAL
Ruangan yang temaram sebab cahaya matahari, kini perlahan mulai menggelap dan seseorang yang masih duduk di dalam sana seharusnya sudah beranjak sejak beberapa menit yang lalu. Mengecek jam di pergelangan tangannya, Axcel mengerutkan dahi sebab tidak ada pesan atau panggilan masuk dari Aruna.
"Gak biasanya dia begini," gumamnya seraya membereskan semua barang-barangnya dan segera pulang.
Dalam perjalanan menuju parkiran, Axcel mengecek kembali ponselnya dan benar saja masih tidak ada pesan dari Aruna. Dalam hati ia akan menghubungi Arkan atau Feyra nanti setelah sampai di rumah.
Sementara itu di waktu yang sama ada tubuh mungil menggeliat dan sedikit mengerutkan dahi sebab cahaya terang yang menyilaukan matanya. Kepalanya masih terasa pening dan bau menyengat itu masih sedikit bisa ia cium dari ujung hidungnya.
Aruna duduk seraya memegangi kepalanya, ia bisa merasakan jika dirinya berbaring di tempat yang nyaman dan memiliki bau yang khas, seperti bau seseorang yang ia kenali.
"Udah bangun ya?"
Aruna mengangkat wajahnya dan benar saja, ia mengenali siapa pemilik kamar ini. Masih dalam keadaan lemah ia berusaha untuk turun dari tempat tidur, menjauhi orang yang sedang mendekatinya dengan membawa nampan berisi makanan.
"Terakhir kali aku emang maksa kamu, tapi kali ini aku bakalan nunggu sampai kamu mau terima aku," ucap sosok itu membuat Aruna beringsut mundur sampai terpojok di antara dinding dan tempat tidur.
"Sampai saat itu datang, kamu akan tetap di sini. Aku gak akan sakitin kamu, kalo kamu nurut."
"Kamu gila!" teriak Aruna, dia sebenarnya sangat takut, apalagi terakhir kali ia melihat pria di depannya ini sangat menyeramkan, ditambah seringai saat dia mengatakan itu membuat Aruna merinding. Pria itu Felix, terlihat memandang Aruna dengan tatapan obsesi.
Aruna pikir, memberontak sekuat apapun dia tidak akan menang melawan Felix yang memiliki kekuatan aneh dan di luar nalarnya. Tapi dia juga tidak mau menuruti ucapan Felix begitu saja, dia memiliki hidupnya sendiri dan pilihannya sendiri untuk mencintai seseorang.
"Anggap aja begitu, aku udah lama suka sama kamu, tapi kamu malah suka sama orang gak jelas itu, dia juga bukan manusia, seharusnya kamu takut sama dia!" Felix meletakkan nampan di tangannya di atas meja kecil disamping tempat tidurnya. Nada bicaranya pada kalimat terakhir terdengar meninggi.
"Kamu juga gak lebih baik dari dia," protes Aruna karena Felix berkata buruk tentang Axcel.
"Terserah. Sekarang makan nih, aku gak mau kamu mati sebelum membalas perasaanku," Felix pergi setelah menatap Aruna dengan senyum tersungging di bibirnya.
o0o
Sampai di rumah, Axcel bertemu dengan seorang laki-laki dan sebuah truk pengangkut barang terparkir di pinggiran jalan dekat dengan rumahnya. Setelah memarkirkan motornya, Axcel dihampiri oleh pria itu dan ternyata itu adalah seorang kurir yang diminta ibunya untuk mengangkut barang-barang Axcel.
Axcel berdecak pelan, dia juga melupakan jika hari ini sang ibu memintanya segera pindah ke rumah baru mereka. Dan ternyata kurir itu telah menunggunya hampir 3 jam lamanya, dengan perasaan tak enak, Axcel terus meminta maaf pada orang itu dan segera membukakan pintu rumah sewanya.
Karena terlalu fokus pada pekerjaannya memindahkan barang, Axcel sampai lupa dengan niatnya untuk menghubungi Feyra atau Arkan, ia bahkan tidak sempat untuk kembali mengecek ponselnya.
Tepat setelah semuanya selesai di jam 9 malam, Axcel merogoh kembali saku celananya untuk mengambil benda persegi yang ia gunakan untuk menghubungi Aruna kembali. Namun hasilnya nihil, ponsel Aruna mati.
"Tumben ponselnya mati?"
Karena tak mendapat jawaban dari sang kekasih, Axcel memilih untuk menghubungi Feyra, yang ia tahu jika wanita itu yang terakhir bersama kekasihnya.
"Ada apa Cel?"
"Runa sama lu kan?"
"Gak lah, gue udah minta dia pulang bareng lu, gue dapet tugas dari Arkan buat cari markas besar mereka dengan ikuti Brianna diem-diem!" nampak sekali jawaban Feyra sangat meyakinkan dan Axcel mulai cemas akan hal itu.
"Cel, Runa sama lu kan? Cel jawab gue!" Feyra terdengar panik di seberang teleponnya.
"Sial! Cepat lacak lokasi terakhir Aruna dari GPS nya," perintah Axcel yang segera di patuhi oleh Feyra.
Axcel mematikan sambungan teleponnya, dia meminta kurir tadi untuk mengantarkan barangnya lebih dulu dan memintanya menyampaikan pesan pada ibunya, jika Axcel masih ada urusan dengan teman-temannya.
Di tengah kebingungan Axcel, Arkan datang dengan wajah tak kalah panik. Dia datang mencari Axcel karena Darrel sempat menelponnya, dan mengatakan jika ponsel Runa tidak bisa dihubungi juga rumahnya terlihat masih gelap saat Arkan mengeceknya seperti tidak ada tanda-tanda jika ada orang di dalamnya.
"Aruna kemana?" tanya Arkan tiba-tiba.
"Gue tadi sibuk sama tugas BEM, gue pikir dia pulang sama Feyra."
"Siapa lagi kali ini?" gumam Arkan kesal, dia mulai ikut berpikir keras di mana kira-kira Aruna jika memang Felix atau orang-orang Almeta yang membawanya.
Tak lama setelah keduanya terdiam, Axcel menerima pesan dari Feyra yang mengatakan jika lokasi terakhir dari ponsel Aruna ada di halte bus di sekitar kampus. Feyra sudah sampai di halte itu dan hanya menemukan ponsel Aruna di sana.
"Cel, gue curiga ama satu orang," Arkan mulai bicara.
Dan mereka saling pandang seolah merasa zan dengan satu-satunya manusia tamak yang terus mengejar Aruna. Seperti paham akan bahasa isyarat masing-masing, rasa zan mereka ternyata tertuju pada satu orang yang sama.
"Kita cari Felix," ucap Axcel akhirnya dan di angguki Arkan.
Mereka menaiki motor masing-masing, mencoba peruntungan mereka mencari Aruna di tempat sama pada saat Darrel di sekap, rumah yang saat itu pernah Axcel porak-porandakan.
Aruna hanya merasakan kesunyian saat ini. Membuatnya bingung sedang berada di mana dan bagaimana cara ia membebaskan diri, tidak ada suara hiruk pikuk, kegaduhan atau hal lain yang bisa menunjukkan di mana dia berada saat ini. Bahkan tak ada jendela yang bisa diintip untuk sekedar tahu keadaan di luar, hanya ada ventilasi yang bahkan tak bisa ia gapai meskipun ia memanjat benda-benda di sekitarnya.
Dalam keadaannya yang frustasi, Aruna terus merapalkan nama Axcel, berharap pria itu datang untuk menyelamatkannya lagi kali ini. Sungguh hanya itu harapan Aruna saat ini.
o0o
"Apa ini?!"
"Ini Amethyst Tuan, sesuai perintah Anda untuk membawa Amethyst sesegera mungkin," jawab Brianna kepada sosok di depannya.
"Kalian bodoh! Mana pemilik kalung ini hah?!" murka si pria kepada Brianna membuat gadis ini terkejut takut. Pasalnya ia berpikir akan mendapat pujian tapi justru malah bentakan.
"Maksud Anda, Aruna?" tanya Brianna hati-hati.
"Bawa dia padaku sekarang!"
"Tapi dia hilang Tuanku, kami belum bisa menemukannya," ujar Brianna dengan takut, dan benar saja jawaban itu membuat si Pria makin marah.
"Itu bukan urusanku, aku mau dia di bawa kehadapanku sekarang," titahnya dengan menekan kata sekarang yang membuat Brianna bingung.
Masalahnya memang sejak pagi kehilangan jejak Aruna. Mengikuti perintah memantau memang bukan hal baru dan hilangnyiia jejak Aruna sebenarnya tidak terlalu digubris oleh Brianna, karena baginya toh Amethyst sudah mereka dapatkan.
Tiba-tiba saja dia menyesal melepaskan Aruna saat itu, mengabaikan protes Felix yang sepertinya menginginkan Aruna untuk dirinya sendiri. Ah tunggu! Apa jangan-jangan Felix yang membawanya? Pertanyaan besar membuatnya segera menghubungi Felix, tapi tak seperti biasanya panggilan Brianna diabaikan oleh Felix. Hal tersebut membuat Brianna makin yakin jika Felix ada sangkut pautnya dengan hilangnya Aruna. Segera ia sampaikan kecurigaannya pada sang Ketua.
Tudung besar di kepala sang ketua menyembunyikan identitasnya karena itu Brianna sampai saat ini tidak mengetahui rupa sang ketua. Hanya jemari dengan cincin bermata batu besar berwarna gelap di tangan kanan yang bisa ia ingat dari pertemuannya kali ini. Jangan lupakan pengawal dengan setelan jas serba hitam juga.
"Tunggu apalagi? Cari Felix dan buat dia menyerahkan Aruna ke hadapanku!"
TBC