Evanescent [TERBIT]

By AnnisaMeilani2805

1K 39 3

Dipindah tugaskan ke rumah sakit yang berada di tanah kelahirannya, membuat Davian kembali dipertemukan denga... More

1. HELLO JAKARTA
3. TIGA PERMINTAAN
4. SOSOK TEMAN
5. HAPPY BIRTHDAY
6. BUKAN KISAH KASIH
7. HUJAN DAN PELANGI
8. DOKTER SAYANG
9. AMARA DAN DAVIAN
10. TERSINGGUNG
11. TEMPAT BERCERITA
12. SEBUAH SANDIWARA
13. PERIHAL KEDEKATAN
14. JARAK YANG TERCIPTA
15. DI MANA BELLOVA?
16. ABU-ABU
17. PERASAAN AMARA
18. EVANESCENT [END]
INFO PREE ORDER

2. MEMAHAMI

94 4 0
By AnnisaMeilani2805

Jangan lupa klik bintang!

Terusik dari tidur karena bising alat konstruksi, Davian dengan wajah bantalnya terpaksa bangkit dari kasur. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul tujuh pagi, perjalanan yang cukup jauh membuatnya tidur sangat tenang malam tadi.

Dengan lunglai ia menuruni anak tangga satu-persatu, berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum, sekarang bising konstruksi tidak terlalu terdengar, namun dentingan alat masak sekarang membuatnya lapar.

"Pagi anak Ibu." Kirana yang sedang mengaduk nasi goreng tersenyum saat melihat anak bujangnya sudah bangun.

"Pagi juga, Ibu."

"Hari ini kamu diantar Pak Karta, ya? Ibu sudah bilang kemarin sama beliau," ucap Karina. Lansia itu memilih untuk membuka obrolan setelah sekian lama keduanya tidak berbicara secara langsung.

"Kemarin Pak Karta juga bilang, Bu. Tapi aku lebih memilih buat bawa mobil saja, karena takut nanti bentrok dengan jadwal antar Ibu, itu 'pun kalo diberi izin," sahut Davian. Setelah menuangkan air putih ke dalam gelas, ia membawanya ke meja makan.

Sembari mengaduk nasi goreng dan memasukkan beberapa bahan, Karina tampak mempertimbangkan ucapan sang anak. "Kamu yakin mau bawa mobil? Ibu agak khawatir kalo kamu nyasar."

"Tidak akan, Bu. Mungkin aku lupa sama jalan-jalan di Jakarta, tapi ada Pak Karta sama google maps yang bisa kasih tahu aku."

"Yakin, ya? Kamu nggak akan nyasar."

"Iya, Bu. Janji."

Dengan harapan diizinkan, Davian berdoa dalam hati. Hingga akhirnya, setelah Karina terdiam dan membawa dua piring nasi goreng, wanita itu mengangguk. "Ibu izinkan, asal kamu tidak kebut-kebutan di jalan, kalo lupa jalan kamu segera telepon Pak Karta atau pakai google maps," ucap Karina memberi izin.

Sumringah, Davian mengangguk kencang, tak lupa dengan ucapan terima kasihnya. Pagi ini, hubungan antara Ibu dan anak kembali dekat setelah sekian lama saling menahan rindu, dan untuk pertama kalinya Davian akhirnya dapat merasakan sarapan bersama dengan suasana yang hangat setelah dua belas tahun.

°°°

"Selamat datang, Dokter Davian, saya berterima kasih karena Anda bersedia bergabung dan ikut merawat para pasien bersama kami."

"Saya yang seharusnya berterima kasih, senang bisa bergabung."

Jabat tangan formal itu terlepas setelah saling menggenggam beberapa saat. Ya, hari pertama bertugas di rumah sakit. Tak ada berbeda dengan rumah sakit diluar negeri, bangunan berbau obat sudah menjadi makanannya sehari-hari.

"Selamat bertugas ya, Dokter. Dan untuk semuanya saya pamit undur diri terlebih dahulu karena ada kepentingan, mertua saya hendak pulang, jadi saya harus mengantarnya." Dengan tersenyum canggung pria dengan name tag manager rumah sakit tersebut dengan terpaksa pamit untuk pulang terlebih dahulu.

"Tidak mengapa, Pak. Silahkan," sahut Davian.

"Baik, saya pamit dulu sebentar."

Setelah kepergian manager rumah sakit yang memberikan penyambutan, semua Dokter lain yang masih ada turut memberikan ucapan selamat. Hingga akhirnya saat waktu bergerak memberitahu bahwa harus segera menjalankan tugas, tersisa Davian seorang diri, menatap papan namanya yang diukir di atas kayu.

Ruangan sederhana yang kini menjadi tempat di mana ia akan berkomunikasi dengan beberapa pasien, memahami dan memberikan solusi terbaik untuk mereka. Memberikan ketenangan batin maupun fisik.

"Permisi, Dokter."

"Oh iya, ada apa?" Davian membalikkan badannya saat menyadari seseorang masuk ke ruangan.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Yolla, sebagai suster yang akan membantu Anda, saya kemari untuk memberikan data pasien yang sudah membuat janji untuk berkonsultasi hari ini, semuanya ada delapan pasien." Davian mengangguk paham, ia segera duduk di kursinya dan mengeluarkan buku catatan pribadi.

"Simpan saja, nanti kalo sudah datang langsung persilahkan masuk," sahut Davian tak lama setelah membaca nama-nama pasien di data yang diberikan tersebut.

Di jam tangannya waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, artinya hari sudah cukup matang bagi dirinya untuk beroperasi, sama seperti Dokter lainnya.

"Dokter, pasien pertama dengan janji jam sembilan sudah datang."

"Persilahkan masuk saja."

Dengan senyuman manis, Davian menyambut pasien pertama dan mempersilahkannya duduk. Awalnya hanya tercipta kecanggungan, hingga akhirnya beberapa terapi dilakukan, semuanya berjalan dengan komunikasi yang kian menghangat.

Bagi Davian, memahami orang lain itu memanglah tak mudah, tapi memberikan solusi dan menjadi pendengar yang baik, adalah hal yang membuat mereka bahagia. Membantu mereka bangun dari keterpurukan, memberikan uluran tangan agar keluar dari ruangan gelap, rasanya sangat bahagia, kita bagaikan pahlawan.

Menurutmu apa yang membuat seseorang bahagia? Jika Davian mendapatkan pertanyaan semacam itu, maka dengan mudah ia akan menjawab, dengan membahagiakan orang lain, kita akan ikut bahagia.

"Pasien dengan janji terakhir sudah datang, Dokter."

"Persilahkan masuk."

Pintu yang awalnya mempunyai celah kecil, kini membesar, seorang wanita masuk dengan ekspresi wajah datar.

"Halo, selamat sore. Boleh saya tahu nama kamu?"

"Dokter bisa lihat kertas yang ada di tangan, Dokter."

"Oke." Davian memaksakan tersenyum sembari melirik kertas yang ada di tangannya. "Bellova, Bellova Aurelya, kamu datang kemari sudah berapa kali?"

Gadis tersebut menggeleng.

"Kamu lupa?"

Pasien dengan nama Bellova tersebut menjawab dengan anggukan kepala.

"Kenapa kamu datang kemari?"

"Mama, Papa bilang supaya aku cepat sembuh."

"Apa kamu tahu kamu sakit apa?"

"Mama, Papa dan Dokter bilang aku depresi."

"Kamu tahu apa itu depresi?"

Hening.

Untuk mencairkan suasana, Davian kembali berinisiatif untuk memberikan pertanyaan.

"Apa kamu sering menangis?"

"Sering."

"Apa ada alasan dibalik itu?"

"Ada, tapi aku tidak mau berbagi cerita," jawabnya dengan wajah datar yang belum berubah, tatapan kosong yang entah terarah ke mana, meyakinkan Davian bahwa cerita dibalik terganggunya kesehatan mental gadis di depannya ini, pasti sangatlah berat.

"Supaya kamu bisa bercerita pada saya, bolehkah kita berteman?"

Dia menggeleng.

"Kenapa?"

"Aku tidak kenal kamu."

"Nama saya Davian, saya Dokter baru di sini. Bolehkah kita berteman?'

Lagi, gadis dengan wajah datar itu kembali menggeleng. Entah apa alasannya kali ini, Davian merasa harus menyiapkan kesabaran extra, dalam data riwayatnya Bellova mengidap depresi selama dua tahun ke belakang, itu cukup lama.

"Kenapa saya tidak bisa menjadi teman kamu?"

"Karena aku ingin sendiri."

"Apa sendiri itu menyenangkan?"

"Ya, aku senang jika tidak mempunyai teman. Dengan begitu aku tak mempunyai tanggung jawab untuk saling menjaga," sahutnya.

Mendengar jawaban itu, Davian terpaku. Ia paham apa maksud tersurat yang dimaksud oleh pasiennya.

"Jika kita tidak bisa berteman, bolehkah saya mempersiapkan diri untuk menjadi calon temanmu? Teman seperti apa yang kamu mau?"

"Aku tidak mau mempunyai teman seperti apapun dia, dan itu artinya tidak ada teman."

Davian menanggapi jawaban tersebut dengan tersenyum, mungkin depresi yang diderita gadis bernama Bellova itu berkaitan dengan seseorang yang bernama teman.

"Coba sebutkan apa yang kamu sukai, dan apa yang tidak kamu sukai?" tanya Davian sembari mengeluarkan kertas kosong juga menyiapkan pena.

"Aku suka bintang, dan aku tidak suka saat harus berhubungan dengan banyak orang."

"Kamu suka sendiri saat melihat bintang?"

Dia mengangguk.

"Bagaimana perasaan kamu saat sendiri?"

"Aku ... selalu merasa bersalah." Wajah datar Bellova seketika berubah suram, matanya perlahan terlihat memerah, menyembunyikan wajahnya ia menundukkan kepala.

Davian menyadari dan dapat memahami apa yang terjadi pada pasiennya, Bellova menumpahkan isi hatinya dengan mengeluarkan air mata, pertanyaan yang sempat ditanyakan membuat gadis itu menyadari semua hal yang terjadi selama dia sendiri.

Beberapa menit Davian menatap Bellova yang tengah menunduk dengan bahu bergetar, akhirnya ia beranjak dari kursi dan berdiri di samping pasiennya.

"Kamu boleh cerita, karena dengan bercerita, kamu bisa menjadi lebih tenang. Jadi, apa boleh saya mendengarkan cerita kamu, Bellova?"

"Kamu orang asing." Tanpa melirik Davian, si empu terus menahan tangis dalam diam, bahunya yang bergetar seakan memperlihatkan seberat apa luka yang dialami Bellova hingga membuatnya terkena depresi.

"Saya berjanji akan menjaga apapun yang kamu ucapkan pada saya," ucap Davian, ia benar-benar penasaran cerita dibalik tangisan pasiennya saat ini. "Saya akan tunggu kamu tenang, setelah itu, kamu boleh menjawab pertanyaan saya. Berbicara saat perasaan sedang buruk, itu tidak baik."

Memahami, semuanya hanya tentang memahami dan dipahami.

"Aku, nggak mau cerita." Belum kunjung sepuluh menit, Bellova sudah mengangkat kembali wajahnya yang memerah.

Melihat pasiennya yang sudah tenang, Davian tersenyum kecil, lalu ia berjongkok menatap wajah Bellova dari bawah yang tersirat banyak arti, entah itu kesedihan, penyesalan, atau apapun itu yang membuat pikiran terbebani. "Saya berjanji akan menjaga apapun yang kamu ucapkan, sebagai jaminan, kamu boleh lukai saya sepuasnya jika saya melanggar."

"Bahkan hingga kamu mati?"

Davian mengangguk. "Bahkan hingga kamu membunuh saya 'pun, saya akan ikhlas, karena melanggar janji artinya pecundang. Rahasia seseorang yang kita jaga, sama artinya dengan menjaga perasaan orang tersebut."

Berusaha meyakinkan agar Bellova mau bercerita, Davian rela membuat janji yang beresiko. Asalkan pasiennya mau bercerita, dan mau berbagi masalah dengan dirinya.

"Iya."

"Kamu mau cerita?"

"Iya."

Davian tersenyum senang, ia dengan segera menuntun Bellova untuk duduk di sofa, tak lupa juga meminta Yolla, untuk membuatkan minuman kesukaan pasiennya.

Sisa waktu bekerjanya sebagai seorang psikiater hari ini, Davian gunakan untuk menjadi seorang pendengar dan penasihat, melihat sorot mata coklat pasiennya, entah mengapa Davian begitu tertarik, seakan ia mengalami de ja'vu untuk pertama kalinya. Seakan otaknya mengirim sinyal bahwa dirinya pernah bertemu dengan Bellova, entah di alam mimpi atau di kenyataan.

Terima kasih sudah bersedia membaca hingga akhir part, jangan lupa komen kalo kalian suka!

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 55.9K 75
Alexander, James and Skye were triplets. They were stolen from their family at the age of 4. The family searched for them day and night never giving...
Alina By ihidethisapp

General Fiction

1.6M 40.6K 80
The Lombardi family is the most notorious group in the crime world. They rule both the American and Italian mafias and have many others bowing at the...
2.7K 61 111
~SAY THE NAME~ CARATS ARE YOU READY~~~~ 3 words: LIKE, COMMENT AND ENJOY Warning: PROCEED WITH CARE BECAUSE YOU MIGHT END UP LAUGHING SO LOUD WITH OU...
318K 23.3K 28
Avantika Aadish Rajawat Aadi, with his fiery nature, adds intensity and excitement to their relationship, igniting a spark in Avni. Avni, like the ca...