Panggilan untuk yg mau langsing! Langsung checkout mowteaslim sekarang! Lebih lembut gausah disaring & udah ada ijinnya loh🥰
Vomment ya ini lebih panjang dari biasanya
______________
Playlist ⏯️ Tikar Merah (Nia Daniaty)
"Bunda bolehkah aku berbaring di sisimu? Ingin kutuangkan rasa yang kian meronta di dada."
_______________
Tin tin!
Suara klakson di jalan utama berhasil mengejutkan Naqiya yang seketika sedikit membanting stir mobil suaminya itu ke arah kiri. Jantungnya berdegup kencang sembari melirik arah spion dan memastikan mobil ini telah sepenuhnya ia kendalikan.
Mengendalikan mobil SUV besar seperti Pajero sport ini bukan sesuatu yang mudah bagi Naqiya. Ia merasa lebih mudah limbung, terlebih pada kecepatan di atas 100km/jam seperti yang Naqiya lakukan malam ini. Belum lagi ditambah kacaunya perasaan wanita itu, sehingga cara mengemudinya semakin parah.
Air matanya lagi-lagi tumpah seirama dengan kakinya yang terus menginjak pedal gas tanpa berniat menghentikannya. Seumur pernikahannya dengan Bara, Naqiya tak pernah meminta perpisahan dari pria itu sama sekali.
Baru kali ini untuk pertama kalinya Naqiya meminta agar Bara melepasnya. Kalau memang sudah tidak sayang untuk apa dipertahankan? Tidak ada yang tahu bukan kalau niat Bara menikahinya hanya untuk bertanggung jawab atas kehamilannya itu?
Atau....
Agar Naqiya tak melaporkan dosen bejat itu kepada pihak berwajib. Dengan menikahinya, Bara lepas dari jeratan hukum.
"Hiks..." Tangan kirinya dengan kasar, "Kamu bodoh banget, Nay!" Gerutunya pada diri sendiri.
Gadis naif yang mudah diperdaya oleh pria sejuta pesona seperti Bara. Ya, itulah kiasan yang pantas menggambarkannya. "Kalo Mas Bara udah nggak sayang sama kita buat apa?" Monolognya pada diri sendiri.
Dering ponselnya kembali terdengar dan kontak Bara muncul di sana. Wanita itu memilih untuk mengabaikannya dan tetap fokus pada laju kendaraan ini.
"Sepenting apa sih cewek itu sampe Gaza aja harus dititipin?" Monolognya lagi yang tidak habis pikir dengan pilihan Bara. "Biar Gaza nggak ganggu kencan mereka apa gimana?!"
"Mas Bara jahat banget... hiks... Padahal Gaza anaknya sendiri..." Isaknya. "Aku mati-matian belain Mas Bara, bela anak aku... hiks... Saking sayangnya aku nggak suka kalian dihina..."
Wanita muda itu menangis tersedu-sedu di jalanan yang mulai sepi ini. Sesekali telapak tangannya mengepal dan memukul pelan stir mobil itu untuk melampiaskan perasaannya.
"Hiks... Tapi kenapa Mas Bara sama anaknya sendiri aja nggak sayang?!"
Naqiya tak habis pikir, siapa perempuan yang Bara temui tadi hingga mengajak Gaza ikut serta saja tidak menjadi pilihannya. Padahal, waktu Gaza bersama Papanya tidak sebanyak waktu yang Gaza habiskan bersama Naqiya.
Orangtua Gaza bukan hanya ibunya! Bara juga punya peran sebagai ayah di dalamnya.
Apakah Bara pikir Naqiya kalau di rumah tak ada pekerjaan lain? Jelas dirinya mengurus Gaza bahkan sembari membersihkan rumah, mengerjakan tugas, belajar untuk ujian, menyiapkan makanan, dan lain sebagainya.
Belum lagi amanah yang Bara titipkan padanya untuk menjaga butik Ibunya.
Kurang apa Naqiya selama ini berbakti menjadi seorang istri?
"Aku dihina jual diri... Difitnah ini itu... Tapi nggak sesakit anak aku dititipin orang lain sama Papanya sendiri, Ya Allah..." Isaknya lagi di dalam mobil kedap suara yang tak seorangpun mampu mendengar isi hati Naqiya.
Lagi, Naqiya mengusap air matanya secara kasar. Memang kata-kata yang Tsania ucapkan padanya kasar dan melukai hati. Namun, Naqiya sudah pernah merasakannya.
Dihina, difitnah, dan dizolimi seperti ini sakitnya sudah pernah ia rasakan. Padahal tak satupun dari mereka yang mengetahui bahwa dirinya di sini adalah korban. Tak ada niat sedikitpun bagi Naqiya untuk merendahkan martabatnya sebagai wanita.
Namun, saat bayinya disinggung, saat bayinya dihina, dan saat bayinya disingkirkan seperti inilah yang membuat hatinya lebih berdarah ketimbang saat harga dirinya dijatuhkan dengan cacian sedemikian rupa tadi.
Apakah setulus ini perasaan seorang Ibu diciptakan Tuhan? Apakah sebesar ini pengorbanan makhluk suci bernama Ibu untuk anak-anaknya hingga sekarang Naqiya pun tak sadar, saat ini bayinya lebih berharga ketimbang dirinya sendiri?
Air mata Naqiya semakin deras saat menyadari hatinya menjadi lembut saat Gaza sudah terlahir di dunia. Apakah Umi Zainab juga merasakan perasaan seperti ini?
"Umi maafin Nay..." Gumamnya dalam air mata mengingat-ingat raut kecewa Zainab saat mengetahui kehamilannya. Ia yakin, apabila ia di posisi Uminya pada saat itu juga akan melakukan apa yang Zainab lakukan.
Hancur hati seorang Ibu apabila anaknya dirusak. Sakitnya seorang anak adalah luka menganga untuk Ibunya.
Dan sekarang Naqiya merasakannya. Ketulusan itu murni Tuhan berikan pada manusia yang memiliki predikat 'Ibu' secara nurani.
Benar saja, saat pikirannya memikirkan sang ibu, ponselnya kini berdering kembali. Bukan, bukan nama Bara di sana, melainkan Uminya di sana.
"Wa'alaikumussalam, Umi," Jawab Naqiya menahan isakannya. Ibunya tak boleh mengetahui kondisi putrinya yang mengenaskan begini. "Tumben telfon Nay malem-malem?"
"Nay dimana?" Tanyanya dari seberang sana.
"Ehem," Naqiya berdehem untuk menjernihkan suaranya. "Di jalan ini, Umi, kenapa?"
"Oalah, yaudah bilang Mas Bara hati-hati nyupirnya," Ucap Ibunya itu. "Umi mau ada pengajian di rumah, kalo Nay nggak sibuk datang ya, sepi rumah kalo sama Abi aja. Keluarga Bang Aufar nggak bisa dateng soalnya, Nay."
Naqiya mengangguk, "Iya, InshaAllah Nay dateng."
"Alhamdullilah, sampaikan ke Mas Bara juga ya, barangkali bisa bantu-bantu hehehe..."
Entah bagaimana Naqiya mengatakan kalau dirinya baru saja meminta cerai dari Bara. Mana mungkin harus datang ke rumah Umi dengan pria itu dan berpura-pura semuanya baik-baik saja?!
"Nay?" Panggil Umi Zainab yang tak menerima balasan dari putrinya. "Nggak usah dipaksa tapi ya, kalau capek nggak usah dateng nggak papa. Yang penting jaga kesehatannya ya, dijaga makannya, Nay jangan stress lagi. Dedek Gaza emang jarang rewel, tapi Umi tau jadi Ibu muda emang nggak mudah."
Detik Umi Zainab mengucapkan itu semua, detik itu juga isakan dan air mata Naqiya kembali tumpah. Ingin ia pulang ke pangkuan ibunya dan berkeluh kesah di sana. Ingin ia kembali bercerita akan hari-harinya seperti dulu lagi.
Tapi, Naqiya sekarang bukan Naqiya remaja yang dulu lagi. Ia dituntut untuk dewasa dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Ia bukan lagi murid SMA atau sekadar mahasiswa. Statusnya sudah berumah tangga, yang apa-apa perlu didiskusikan hanya dengan suaminya.
Bolehkah Naqiya pulang pada orangtuanya?
Pernikahan tidak seperti bayangan semua orang yang setiap detiknya terasa indah. Mental dan kedewasaannya diuji di dalam ikatan suci ini untuk sama-sama mempertahankan janji pada Illahi.
Tapi, Naqiya sudah tak sanggup...
Sudut terdalam di relung hatinya masihlah anak bungsu yang rindu belaian kasih sayang orangtua. Anak bungsu yang dibanjiri simpati dari kakak tertua. Anak bungsu yang hidup berkecukupan tak memikirkan apapun selain tugas dan materi untuk ujian.
Bolehkah ia kembali ke masa itu?
Tuhan, ia begitu merindukan Abinya yang menaruh banyak perlindungan untuk putri satu-satunya. Ia merindukan Uminya yang selalu mengerti kondisi putrinya meskipun sepatah kata tak terucap dari bibirnya.
"Umi..." Isak Naqiya tak mampu lagi menahan air mata.
"Loh?" Umi Zainab di seberang sana kebingungan mendengar suara serak putrinya. "Nay? Halo? Nay, kenapa? Nay dengar Umi?"
Mendengar Ibunya yang begitu mengkhawatirkannya, justru semakin membuat Naqiya sulit menahan tangis. Giginya menggigit bibir bawah sekuat mungkin agar tangisannya tak terdengar.
Ia tahu, Uminya akan khawatir apabila ia berkeluh kesah. Maka dari itu, rumahnya dan tempatnya untuk pulang bukan lagi orangtua yang justru akan menambah beban pikiran mereka. Tempat Naqiya berkeluh kesah saat ini memang berlabuh pada suaminya, Bara.
Tapi, tidak untuk hari ini.
"Allah... Nay, jawab Umi, Nay kenapa? Nay dimana sekarang? Ada Mas Bara atau bagaimana?" Tanyanya lagi saat tak kunjung mendapati jawaban dari putri kesayangannya.
Naqiya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari semakin keras menahan isakannya. Kalau ia bicara, yang Uminya dengar hanya tangisan.
"Nay ada masalah sama Mas Bara?" Tanyanya lagi dengan intonasi yang mencoba menenangkan putrinya. Ia tahu, sebagai ibu yang dari mengandung hingga membesarkan Naqiya, ia tahu saat-saat putrinya merasa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
"Ada sesuatu sama Dedek Gaza? Nay kenapa, Nak... Umi disini, Nay nggak sendiri..."
Umi...
Jelas, kasih sayang dan kekhawatiran Ibunya bahkan disaat dirinya sudah tak ada tanggung jawab lagi pada Naqiya semakin membuat wanita itu menangis deras. Dari sekian banyak luka, rasanya ia perlu amat bersyukur dianugerahi seorang Ibu yang kasihnya besar sekali seperti Umi Zainab.
Tidak ada yang mampu mengalahkan Ibunya itu. Bahkan dirinya sendiri. Naqiya memang semaksimal mungkin berusaha menjadi Ibu yang baik untuk Gaza dengan memperbaiki pola asuh yang mungkin keliru dari yang diterapkan oleh orangtuanya dulu.
Tapi Ibu yang paling baik di dunia ini baginya hanya ibunya, Umi Zainab.
"Allah bersama Nay, malaikat terus jaga Nay dimanapun anak Umi berada, Nak..." Ucap Zainab lagi yang tentu saja khawatir karena mendengar isakan kecil dari putrinya. "Selama Nay masih di bumi Allah, Nay punya tempat untuk pulang..."
Satu yang Naqiya sanjung dari ibunya selain ketulusan. Zainab selalu tahu bagaimana bersikap tenang saat keadaan tengah genting. Ibarat Abinya yang mudah terbakar, Uminya ini selalu menjadi penawar.
"Umi..." Panggil Naqiya yang sesegukannya mulai pudar. "Nay mau pulang..."
[ B A Y I D O S E N K U 2 ]
الأم أحق الناس بحسن الصحبة
“Ibu adalah orang yang paling layak untuk mendapatkan perlakuan yang paling baik.”
TOLONG AKU NANGIS BOMBAI BGT NULIS INI SAMBIL DENGERIN TIKAR MERAH NIA DANIATY😭😭
HANYA TERSEDIA DI KARYAKARSA/PDF WA KRN DEWASA YA
KARYAKARSA = FRIDAYUKHT
WHATSAPP = 0896032104731