BARA [END]

Da AlinaAliya13

2.7K 192 27

Setiap kita adalah penyemai luka, Setiap kita adalah pemuai salah. Tetapi setiap kita adalah penawar dari s... Altro

Prolog
Luka Pertama
Dewasa
Harapan
Bumi dan Bulan
Rasi
Cinta Pertama
Luka Yang Bermuara
Seutas Angan
Jika Bahagia Itu Sederhana
Rahasia yang mulai mencuat-I
Rahasia yang mulai mencuat-II
Sebuah Penjelas
Pelampiasan
Cinta dan Benci
Sebuah Seni
Desir Sukma
Baik atau Pelik
Perencana
Kegagalan
Numpang Lewat!!!
Bahagia?
Alasan Mencintai
Rahasia (?)
Lara
Bias yang jelas
Penyelesaian
Penyelesaian-II
Usai
BARA

Epilog

24 1 0
Da AlinaAliya13

Hidup selalu berjalan sesuai takdir dari semesta. Sudah tugas manusia untuk selalu bersyukur dan menerima serangkaian masa yang dirancang oleh-Nya. Memang, semesta tidak melulu memberikan cerita yang penuh dengan suka cita, namun dibalik pilu-pilu itu pasti selalu ada pelajaran yang sangat berharga untuk bisa kita tuai. Percayalah, walau kita sering merasa bahwa duka lebih ruah hadir daripada suka, tangis lebih sering hadir daripada hal-hal manis, dan air mata lebih sering jatuh di pelupuk pipi daripada senyuman yang mengembang di sudut bibir, yakinlah bahwa ini adalah cara semesta untuk mengajarkan kepada kita bahwa dunia tidak hanya identik dengan kehancuran dan air mata.

Seperti Naira yang kehilangan sosok ayahnya dan ia merasa bahwa dunianya yang penuh canda tawa sudah hilang entah kemana dan ia perlahan kehilangan dirinya sendiri. Namun, apakah semesta membiarkannya hanya akrab pada kehilangan-kehilangan tanpa menghadirkan bahagia? Tentu tidak. Seiring berjalannya waktu, semesta menghadirkan Nayla dan Bima di sisinya. Begitu juga pada Bima, sedari kecil ia sudah dibuang dipanti asuhan dan diberi kasih sayang terbagi. Namun, apakah semesta mengutuknya untuk tak pernah mendapat sebuah keutuhan? Tentu tidak. Seiring berjalannya waktu, semesta menghadirkan sepasang orang tua baru untuknya, dan juga ia mendapat wujud bahagia yang lain, yaitu dengan adanya Naira. Hal ini juga berlaku kepada Nayla dan juga insan-insan lain di muka bumi ini, jadi sejatinya kita tidak pernah melewatkan luka-luka ini dengan sendirian.

Benar kata mereka, hidup selaiknya roda yang berputar, kadang diatas kadang dibawah. Seperti itulah hidup, kadang kita harus menjumpai lara sebelum pada akhirnya menjumpai tawa, berlaku juga sebaliknya, kadang kita menjumpai bahagia terlebih dahulu sebelum pada akhirnya mala datang dengan seizin-Nya. Namun yakinlah, Tuhan selalu memberikan cobaan kepada insan-insan yang mampu menanggungnya. Jadi percayakah kalian, bahwa kita sedari awal, sudah dilahirkan sebagai seorang pemenang? Menang dari segala halang-rintang semesta.

Jika kamu sedang bersedih, sedang merasa putus asa, sedang dipenuhi amarah. Hey, sadarlah. Kamu tidak melewati itu dengan sendirian. Angkatlah wajahmu, kembangkan sudut bibirmu dan mulailah untuk berani melangkah. Kamu sedang berlomba dengan waktu, untuk mendapatkan trophy kemenangan itu. Jika di tengah perlombaan kamu letih, beristirahatlah, karena kamu perlu jeda sebelum pada akhirnya keletihanmu akan mereda.

***

Satu tahun kemudian..

Naira membuka gorden kamarnya, hari ini ia bangun pagi dengan segar bugar. Ia membuka jendela kamar dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Ah..pagi yang indah." ujarnya berseri-seri.

Kemudian, ia bergegas untuk mandi dan bersiap pergi.

Naira akan pergi ke acara pameran yang diselenggarakan di galeri seni yang setahun belakangan ini sering ia kunjungi. Naira suka menghadiri acara-acara seperti ini, semenjak kepergian Bima pada hari itu. Sejak hari itu, mereka benar-benar tak pernah saling bertukar kabar apalagi bertukar cerita. Naira kira, ia akan baik-baik saja, namun ternyata kerinduan itu selalu datang. Pikir Naira, mungkin ia bisa bertemu dengan Bima di acara-acara seperti ini, karena ternyata sangat sulit baginya untuk melupakan Bima begitu saja. Namun, sudah puluhan acara pameran dalam setahun ini yang ia hadiri, tak pernah sekalipun ia mendapati seorang Bima disana.

"Bu, Naira berangkat ya."

"Mau kemana, Ra?"

"Ada deeh." Naira menyeringari.

"Gak mau makan dulu?"

"Belum laper, bu. Nanti aja, gampang."

"Mau ketemu cowo, ya?" tuding ibunya.

"Ih ibu..emm bener sih, doain ya bu, semoga beneran ketemu."

"Aduh, sejak kapan anak ibu jadi genit gini?"

"Baru-baru ini kok bu." Naira tertawa.

"Yaudah Naira berangkat ya, bu. Assalammualaikum."

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati."

***

Naira memasuki gedung dimana acara pameran tersebut diselenggarakan. Ia memantapkan langkahnya dengan senyum yang terus saja mengembang. Sesampainya di galeri, pandangannya langsung ia edarkan untuk mencari seorang temannya yang bernama Bayu. Naira dan Bayu bertemu di galeri seni ini enam bulan yang lalu, dan sekarang mereka sangat akrab. Ternyata benar kata ibu dan Nayla waktu itu, aku pasti bisa mendapatkan teman baru jika aku tidak lagi menutup diri pada dunia, begitu pikir Naira.

"Ah, itu dia." ujarnya ketika mendapati Bayu yang sedang asyik memandangi karya dihadapannya. Naira mendekatinya.

"Bayuuuu." Naira berbisik.

"Eh, sudah datang?"

"Asyik banget kayaknya."

"Iya. Liat deh, menurutmu lukisan ini berbicara tentang apa?"

Naira ikut mengamati lukisan itu.

"Perisai?" gumam Naira.

"Iya, laki-laki itu berkepala perisai. Sedangkan perempuan bergaun itu berkepala rumah. Menurutmu artinya apa?"

Seketika Naira terpaku. Lukisan ini mengingatkannya akan lukisan setahun lalu yang pernah Bima tunjukkan padanya sebelum kepergian Bima. Entah mengapa Naira merasa bahwa ini adalah lukisan Bima. Tanpa sadar air matanya menitik. Bayu yang tak mendengar respon dari Naira, menoleh kepadanya.

"Naira, kenapa kamu menangis?"

"Karena indah, artinya indah sekali daripada kisah trisula dan si buta."

"Maksud kamu?"

"Siapa pelukisnya?"

"Ntah, hanya ini yang tidak ada namanya. Kata mereka sih, si seniman misterius."

Tidak salah lagi, ini pasti Bima. Pikir Naira.

"Memangnya artinya seindah apa, Nai hingga kamu menangis?"

"Tidak ada."

"Maksudnya?"

"Indahnya tidak setara dengan hal apapun."

Bayu masih tidak mengerti.

"Aku gak ngerti, Nai."

"Tidak ada yang lebih indah dari dua hati yang saling mencintai." ujar Naira diiringi dengan air matanya yang terus membasahi pelupuk pipi.

"Jadi mereka berdua ini saling mencintai? Lalu maksud perisai dan rumah itu apa?"

Naira melepaskan pandangannya pada lukisan itu, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.

"Naira kamu cari siapa?"

"Cari seorang yang bisa jawab pertanyaan kamu."

"Seniman misterius itu? Kamu kenal?"

Hingga pada detik kesekian, detak jantung Naira berpacu, jari-jemarinya meremas ujung bajunya sendiri, dan air matanya semakin berderai.

"Naira-"

"Aku menemukannya."

Naira melihat Bima di sudut ruangan. Perlahan langkahnya pergi meninggalkan Bayu dan beranjak kepada Bima. Sedangkan Bayu, ia hanya memerhatikan kemana langkah Naira pergi.

"Bima." ujar Naira pelan. Namun, mampu membuat Bima menoleh.

"Naira?" Bima tak kalah terkejutnya. Ia tidak menyangka kalau Naira akan datang ke acara pameran seperti ini.

***

"Mau minum kopi apa?" tanya Bima kepada Naira saat setelah mereka beralih ke sebuah coffe shop dekat galeri seni itu.

"Terserah aja." jawab Naira sedikit canggung.

Bima tesenyum. Seketika memorinya teringat hari dimana pertama kali ia mengajak Naira ke kedai kopi.

"Jawabanmu masih aja sama, Nai."

Naira bingung. Ia mungkin tidak ingat hari itu.

"Maksudnya?"

"Haha. Latte?"

Naira mengangguk.

"Latte dua ya mas."

"Ok siap." jawab barista kedai itu.

"Aku gak nyangka bisa ketemu kamu disini, Nai."

"Aku yang seharusnya gak nyangka, Bim. Aku udah sering banget ke acara pameran di galeri ini. Kamu yang gak pernah kesini."

"Kamu? Sering ke acara pameran?"

"Iya."

"Sejak kapan?"

"Eee, itu.." Naira bingung ingin mengatakannya atau tidak.

"Kamu udah bisa terlepas dari pekerjaan sekarang?" tanya Bima lagi.

"Iya, udah."

"Syukurlah, aku senang dengarnya."

Naira tersenyum canggung, kemudian ia ingin menyesap latte yang baru saja diantarkan.

"Masih panas, Nai."

"Ah, iya." Naira menaruh kembali cangkir latte itu.

"Aku senang kalau kamu sudah sering keluar rumah." ujar Bima seraya menaruh tatapan hangat kepada Naira. Tidak bisa berbohong, Bima sangat merindukan Naira.

"Kalau kamu, kenapa kamu masih bersembunyi? Lukisan-lukisan itu serasa enggak punya identitas."

"Kalau kamu bisa mengenalinya, itu artinya lukisan-lukisan itu mempunyai identitas."

"Kenapa harus aku?"

"Karena dari awal pun, memang kamu alasan aku menggambar semua itu."

Naira tidak merespon apa-apa. Ia menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Gambar-gambar itu tercipta oleh karena kesendirianku dan karena pelampiasan atas ketenangan yang tak jua menghampiri. Rasa bersalahku kepadamu sudah teramat besar, Naira. Perbuatanku tidak pantas untuk dimaklumi. Karena itulah, gambar-gambar itu hadir sebagai wujud dari kekesalanku terhadap diri sendiri."

"Bima. Gambar-gambar itu tercipta bukan karena aku, tapi karena amarahmu sendiri."

Bima bergeming. Benarkah? Pikirnya.

"Bima, perbuatanmu memang tidak pantas untuk dimaklumi, tapi aku dan ibu sudah bisa memafkanmu. Kata ibu, jika dihati masih ada benci, maka hari tidak bisa dijalani dengan baik. Ibu yang memintaku untuk bisa memaafkanmu."

"Ibu bilang begitu? Aku sangat malu kepadamu dan ibumu, Naira."

"Manusia memang seperti itu kan? Tempatnya salah dan dosa. Jadi, akan lebih baik jika bisa memaafkan kesalahan yang sudah terjadi dan menjalani hari yang lebih baik lagi kedepannya."

"Kamu gak mau mukul aku, Nai?"

"Haruskah?"

"Setidaknya sekali aja, Naira. Dengan begitu aku bisa sedikit lebih lega."

"Kamu menormalisasi kekerasan?" tanya Naira diiringi tawanya.

"Bukan gitu, sih. Cuma ya, aku pantas untuk itu."

"Biar ibu aja yang mukul kamu."

Bima tertawa. "Kamu benar, Nai."

Naira menyesap kopinya begitu juga Bima. Obrolan mereka mengalir begitu saja. Mereka bercerita tentang kesibukan mereka setahun belakangan ini. Bagi Bima suara Naira saat ini menjadi candu tersendiri dari rindu yang telah lama tidak ditunaikan. Keduanya saling melepas rindu dengan tawa. Suasana kedai yang tidak terlalu ramai mampu membuat keduanya lebih leluasa tertawa dan mengurai bahagia.

"Oh ya. Aku ingat sesuatu." ujar Naira ditengah-tengah obrolan mereka.

"Apa?"

"Waktu itu di naskahmu, kamu bercerita tentang kedua orang tua kandungmu. Aku ingat, kamu menuliskan bahwa kamu ingin mencari dan menemui mereka, sekarang sudah ketemu?"

Bima menggeleng, "Belum."

"Sudah kamu cari?"

Bima menggeleng lagi, "Sudah, dulu. Tapi enggak ketemu. Sekarang aku enggak berniat untuk mencari mereka lagi, Nai."

"Kenapa? Kamu gak penasaran tentang mereka?"

"Udah enggak lagi, Nai. Untuk apa juga, sekarang udah enggak ada gunanya lagi. Aku sudah dewasa dan aku udah enggak butuh sosok orang tua lagi, emm ralat—maksudnya orang tua seperti mereka. Aku cuma butuh ibu, ibu yang mengangkatku saat usiaku sepuluh tahun dan ayahmu, aku hanya punya satu ayah—yaitu ayahmu, aku enggak butuh ibu dan ayah lain, karena yang menemaniku tumbuh adalah mereka, bukan orangtua kandungku."

Naira memandang Bima lekat, ia tidak berkata-kata. Hanya menaruh tatap yang takjub.

"Aku pernah dengar dari seorang podcaster bahwa yang namanya orangtua itu enggak perlu dari darah tapi dari kasih sayang. Dan mereka memberikan itu kepadaku, Naira. Kasih sayang yang enggak pernah aku dapatkan sebelumnya, kasih sayang yang sedari kecil aku mimpikan. Mereka memberikannya kepadaku. Jadi, aku sudah bahagia dengan adanya mereka. Dulu aku berfikir bahwa utuh yang aku miliki bukan sebenar-benarnya utuh yang aku inginkan, namun kini aku menyadari bahwa keutuhan dalam sebuah keluarga itu memang enggak ada,"

Kening Naira mengerut. "Maksud kamu, Bim?"

"Akan selalu ada yang pergi duluan, Naira. Entah itu ayah, ibu ataupun seorang anak. Entah dalam waktu yang singkat ataupun panjang. Keutuhan dalam keluarga itu tidak benar-benar ada. Yang ada hanyalah kasih sayang yang tak pernah lekang oleh waktu. Aku percaya, ayahmu diatas sana sedang berdiri di hadapan Tuhan dengan kasih sayang yang masih ada di hatinya untuk kamu, ibumu, ibuku dan juga aku. Ayahmu orang yang baik, karena itu ia sangat menyayangi keluargamu. Pun, ia tidak bisa membantah permintaan nenekmu waktu itu kan? Itu karena ia adalah orang yang benar-benar baik. Aku senang pernah mengenalnya, pernah menghabiskan waktu bersamanya, dan juga pernah memanggilnya dengan sebutan ayah. Naira, aku enggak butuh siapapun lagi. Maksudku, orangtua kandungku."

"Kamu juga enggak butuh aku?"

"Aku rasa, aku sudah enggak pantas untuk itu."

"Tapi aku butuh kamu dan aku rasa aku pantas untuk itu."

"Naira-"

"Aku ingin menata hidup baru. Aku enggak mau menjalani hari dengan bayangan masa lalu lagi. Kini semuanya sudah jelas dan sudah selesai, Bim. Dan kamu yang mewujudkan itu untukku, ya walau—memang aku harus hancur untuk kedua kalinya. Tapi kini, aku benar-benar menjalani hari yang baru. Aku sudah berjanji kepada ayah untuk berbahagia, maka aku akan menepati janji itu. Aku udah enggak peduli lagi tentang hubunganku denganmu di masa lalu, sekarang aku ingin hubungan yang baru.

Aku ingin kita mulai dari awal lagi. Bukan sebagai Bima dan Naira yang penuh dengan luka, tetapi sebagai Bima dan Naira yang penuh dengan cinta, cinta terhadap diri sendiri. Aku tidak akan pernah melukai diriku lagi, aku tidak akan pernah menaruh benci pada siapapun lagi, dan aku tidak akan pernah mengurung diriku lagi. Aku akan kembali menjadi Naira yang dulu, si peri kecilnya ayah bukan Naira yang penuh dengan benci dan segudang luka di hati."

Bima tersenyum. Hatinya sangat lega mendengar Naira mengatakan hal itu.

"Kamu benar, Nai. Kita harus mulai dari awal lagi. Sebagai Bima dan Naira yang penuh dengan cinta."

"Cinta terhadap diri sendiri, lho ya. Jangan salah paham."

Bima tertawa. Baginya Naira sangat menggemaskan.

"Dan kamu tahu, hal yang paling berharga di dunia ini selain waktu?"

"Emm.." Bima nampak berfikir, "cinta?"

Naira menggeleng. "Dirimu. Diri kita."

Kening Bima mengerut."Maksudnya?"

"Seringkali, setiap dari kita enggak bisa mencintai kekurangan diri sendiri dan hanya bisa memahami kelebihan yang kita miliki. Karena, kita selalu terbatas kepada mencintai kelebihan tanpa bisa memahami kekurangan. Itulah mengapa, kita sering banget enggak tahu bagaimana caranya mencintai diri sendiri. Yeah So, ketika kita sudah menemukan bagaimana caranya mencintai diri sendiri, disitulah—kita bisa lebih berharga daripada waktu."

Bima tersenyum. "Kamu benar, Nai. Dan kayaknya, aku salah satu dari mereka."

"Bukan kamu aja, tapi aku juga. Kita sudah sering memaki dan merutuki diri sendiri karena ketidakutuhan yang kita punya. Dan sekarang, sudah seharusnya kita belajar untuk lebih mencintai diri sendiri seiring kita menghargai waktu. Dengan begitu, hidup yang cuma satu kali ini, bisa kita lalui dengan penuh cinta. Bukan lagi dengan luka."

Bima tertegun oleh setiap kata yang keluar dari lisan Naira. Kini, Bima menyadari kalau Naira benar-benar sudah terlepas dari luka masa lalunya dan Bima merasa lega.

"Tetapi setidaknya, kita pernah melalui luka itu bersama, Naira. Dan pernah menciptakan kenangan oleh karenanya. Sekarang sudah cukup untuk terlalu akrab dengan luka, sudah waktunya kita menapaki waktu dengan penuh cinta. Seperti yang kamu bilang tadi, karena kita lebih berharga daripada waktu."

Naira tersenyum semringah dan penuh lega.

"Lalu kamu tahu, apa yang lebih indah dari pemandangan senja dengan laut birunya?"

Bima tersenyum. "Kamu. Kamu yang lebih indah dari hal apapun di dunia ini, Naira."

Naira tersipu. "Jiwa gombal kamu enggak pernah hilang ya, Bim. Dasar."

"Lantas, apa kalau bukan kamu?"

Naira menatap lekat manik mata Bima.

"Tidak ada yang lebih indah, dari dua hati yang saling memahami." lontarnya ringan dan tersenyum. Bima sedikit tesipu.

"Nai, kamu tahu. Hidup jadi lebih menyenangkan kalau dilalui bersama kamu."

"Kenapa gitu?"

"Enggak tahu, yang aku tahu, cuma kamu perempuan satu-satunya yang bisa aku izinin masuk ke istanaku yang sepi sunyi setelah ibuku."

"Bim. Kalau kamu cuma bisa ngizinin aku doang, istana kamu masih sepi dong, 'kan cuma ada kita berdua yang main disitu."

"Bagiku, bermain berdua denganmu sudah terasa ramai, Naira. Karena denganmu duniaku sudah terasa menyenangkan."

"Kamu yakin?"

"Aku yakin."

"Padahal saat kita bermain, lebih banyak tercipta konflik daripada cerita-cerita merah jambu."

"Itulah letak menyenangkannya, Naira."

"Maksud kamu?"

"Cerita kita jadi terasa berbeda. Sama halnya seperti rintik sedu dengan dialog-dialognya, seperti eleftheriawords dengan teori-teorinya, dan kita. Kita punya cerita sendiri dengan konflik-konfliknya."

Naira masih belum bisa memahami. Bima melanjutkan bicaranya.

"Itulah mengapa cerita tentang kita akan menjadi cerita yang sulit dikenang orang lain. Dengan begitu, cerita kita hanya bisa kita yang miliki."

Kini, Naira mengerti. Bima selalu saja bisa menang dengan segala teorinya. Naira tersenyum. Membenarkan.

"Kamu benar, Bim. Oh ya, tentang lukisanmu yang di galeri tadi, apakah masih tentang kita?"

"Itu harapanku Naira."

"Harapan?"

"Iya, apapun hubungan kita kedepannya, aku akan janji satu hal,"

Naira menatap Bima lekat, ia menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Aku enggak akan pernah bersembunyi di balik hidupmu lagi."

Naira tersenyum.

"Aku enggak akan jadi seorang yang pengecut lagi."

Kini mata Naira berkaca-kaca.

"Aku akan jadi Bima yang berani. Bima yang enggak pernah takut untuk jujur akan suatu hal. Bima yang enggak akan pernah takut akan yang terjadi kemudian."

Air mata Naira menitik diiringi dengan senyum harunya.

"Dan kalau boleh, aku juga ingin berani untuk-"

Bima terjeda. Naira masih menatapnya. Kemudian Bima mengusap air mata Naira perlahan, ia tersenyum.

"Untuk mencintaimu lagi."

-TAMAT

Continua a leggere

Ti piacerΓ  anche

Dunia Davin Da jiaaa

Storie d'amore

8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
3.7M 40.3K 32
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2M 9.5K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. πŸ”žπŸ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...