TRULY DEEPLY (REVISED)

بواسطة irfaza_faza

319 0 0

Kriteria cowok idaman Liesel adalah sederhana, biasa, dan tidak terlibat kepentingan apapun-kriteria yang ber... المزيد

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 17

Chapter 16

12 0 0
بواسطة irfaza_faza

-Galan W. Aldrich-

"Itu itu... Galan itu warungnya. Masih ada ternyata."

Aku menghentikan mobil Range Roverku di pinggir jalan. Aku melihat sebuah tenda di pinggir jalan dengan banyak asap mengepul. Tempat itu sejenis tempat yang hanya selalu aku lewati, tidak pernah aku kunjungi. Tapi kali ini bersama Liesel kali pertama aku datang ke tempat seperti ini.

"Jika nggak berubah, rasa mie ayamnya enak banget loh, Ga."

Aku hanya tersenyum tipis. Ketika memasuki tenda, ternyata tempatnya tidak sesempit yang aku pikir. Liesel memesan mie ayam biasa dan aku memesan yang sama. Kening Liesel tiba-tiba mengernyit ketika memandangku.

"Galan, jangan bilang ini kali pertama kamu datang ke tempat seperti ini."

Aku mengangguk. Mendadak merasa malu. "Iya."

"Oh my God, aku tidak tahu. Jadi gimana? Pulang aja?" Liesel terlihat panik.

"Nggak apa-apa. Kita udah pesan juga."

"Sungguh?" tanya Liesel merasa bersalah.

Aku tersenyum sambil mengangguk yakin.

"Aku merasa bertanggung jawab jika nanti kamu tiba-tiba sakit perut-"

"Aku tidak selemah yang kamu pikirkan."

"Tapi kamu tidak pernah makan di tempat seperti ini. Mungkin saja nanti malam kamu sakit perut. Kalau pulang nanti mungkin kita bisa mampir ke apotek, beli obat diare, buat jaga-jaga kalau kamu sakit perut."

Aku tertawa lepas. "Jika aku sakit perut aku akan menuntut kamu."

"Seharusnya kamu bilang dari awal-"

"Tidak apa-apa, Liesel. Aku tidak akan sakit perut. Aku suka karena ini kali pertama dan bersama kamu."

Liesel menyipitkan matanya. Ia hampir berkata sesuatu ketika seseorang memanggilnya.

"Liesel?"

Kami menoleh. Seorang laki-laki paruh baya dengan jas warna hitam berpenampilan rapi seperti orang kantoran memandang Liesel dengan kening mengernyit. Aku mengenal orang itu.

"Ayah?" kata Liesel kemudian. Agak terkejut.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Om Dennis-kalau tidak salah namanya itu. Jika aku lihat-lihat lagi wajah Liesel sangat mirip dengan Om Dennis kecuali warna matanya. Kemudian Om Dennis menatapku dengan tatapan menganalisis. Aku segera berdiri dan memperkenalkan diri.

"Saya Galan, Om. Temannya Liesel."

Aku tak menyangka akan bertemu calon mertua di tempat seperti ini. Calon mertua, Galan? Aku merasa konyol.

"Kamu anaknya Elizabeth kan? Yang kemarin datang ke pestanya Riana?"

Aku mengangguk.

"Apa yang kalian lakukan di sini?"

"Makan, Om."

Om Dennis mengamati kami berdua seakan mencoba menganalisis hubungan kami. Liesel terlihat tak nyaman sehingga aku kembali bertanya. "Om mau makan mie ayam juga?"

"Tidak. Aku ke sini karena tidak sengaja melihat Liesel."

"Kalau begitu kamu kembali saja. Lakukan apa saja yang ingin kamu lakukan sebelumnya." Liesel secara tidak langsung mengusir ayahnya.

"Aku akan pulang. Galan, tolong mampir dulu ke rumah. Aku ingin bicara."

Om Dennis ingin bicara. Entah mengapa aku merasa gugup. "B-baik, Om."

Ketika akhirnya Om Dennis pergi Liesel berkata, "Kamu tahu, kita tidak seharusnya ke rumahnya. Dan omong-omong sekarang kamu tahu kalau aku anaknya orang itu."

"Berarti kamu saudaranya Riana?"

"Saudara tiri. Kami berasal dari Ibu yang beda."

Aku mengangguk-angguk.

"Sebenarnya ini rahasia. Kamu jangan sebarkan ke siapa-siapa ya. Atau setelah kamu tahu kerumitan keluargaku kamu jadi ingin putus?"

Aku tersentak. "Kenapa kamu mudah sekali bilang putus? Kita bahkan belum mulai apa-apa, Liesel."

"Aku hanya mempertimbangkan siapa tahu kamu berubah pikiran-"

"Tidak, Liesel. Kamu bisa menceritakan lebih banyak soal dirimu, keluargamu, keburukanmu. Aku tidak akan pergi."

*****

Kami tiba di rumah Om Dennis dengan agak canggung. Liesel berkali-kali bilang tidak usah datang, tapi aku menolak. Bagaimana pun tadi ayahnya menginginkan aku datang. Mana mungkin aku menolak kan? Bisa dicoret dari daftar calon menantunya nanti aku. Kami tiba di rumah itu ketika langit sudah gelap.

Riana berada di ruang tamu saat kami masuk.

"Are you kidding me?" ucap Riana. "Bahkan aku sama Alex yang pacaran hampir 3 tahun belum pernah sekalipun aku ajak Alex ke rumah."

"Ayah nggak sengaja lihat kami di warung." jelas Liesel dengan enggan.

Aku memandang interaksi mereka dengan gugup. Mereka berdua seperti bom yang siap meledak. Tapi Riana seperti tokoh jahat yang mampu menyakiti Liesel di mataku.

"Exactly. Kayaknya hubungan kalian emang sial."

"Riana!" tegurku.

Dengan sinis Riana berkata, "Papa udah nunggu kalian dari tadi. Nggak tahu kalian mau digeprek atau gimana."

Liesel memandangku mencoba tidak gugup. "Nggak mungkin. Ayah nggak punya hak buat marah ke kita-"

"Kenapa Papa nggak punya hak?" Riana memotong. "Dia tetap Papa kamu."

Liesel menatapnya tajam. Jika saja tatapan bisa membunuh, pasti sekarang Riana sudah terkapar.

"Well, karena sekarang Galan tahu hubungan kita, gimana kalau kita sekalian aja jujur sama dia? Kamu anak haram yang baru kembali dari Paris dengan alasan belajar piano. That's totally bullshit."

Aku tak percaya Riana bisa mengatakannya dengan mudah. Sepertinya dia memang anak yang tak punya sopan santun sama sekali. Liesel terlihat tersakiti karena perkataannya. Wajahnya memerah-entah karena malu atau marah. Mungkin juga keduanya.

"Bisa kamu jaga mulut kamu, Ri?" tegurku tegas.

"Aku benar. Dia memang anak haram-"

"RIANA!" Aku mendengar seseorang berteriak. Rupanya Om Dennis. "Masuk kamu ke kamar. Nggak sebaiknya kamu bicara seperti itu ke Liesel. Dia lebih tua dari kamu-"

Oh aku baru tahu kalau Liesel lebih tua.

Dengan kesal Riana berjalan ke tangga. Dia menatap kami sekali lagi sebelum akhirnya melangkah naik. Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbanting sampai Liesel terkejut. Aku mencoba memegang tangannya-dingin. Ketika Om Dennis mendekat, aku segera melepaskan tangannya.

"Sorry, Galan, kamu jadi mendengarkan pertengkaran mereka."

Aku hanya menggeleng. Aku sudah tahu mereka tidak akur. Hanya saja yang membuatku syok adalah Riana benar-benar seorang brengsek. Dia mudah sekali mengatakan Liesel anak haram. Bukannya pagi tadi dia yang khawatir kalau Liesel akan pergi jika statusnya diketahui semua orang?

"Bisa kita bicara sebentar?"

"Berdua, Om?"

"Kenapa kamu hanya mau bicara sama Galan?" Liesel protes.

"Ayah, kamu harus memanggilku ayah, Liesel. Lagipula ada yang ingin Ayah bicarakan."

"Kamu nggak lagi pura-pura sok berperan sebagai ayah buat aku, kan?"

"Liesel!"

"That's so annoying."

Aku meringis. Rupanya hubungan keluarga ini lebih rumit dari dugaanku. Om Dennis terlihat kalah ketika memandang Liesel, kemudian beliau memandangku dengan penuh permintaan maaf. Aku hanya mengalihkan pandang. Pura-pura tak terlalu peduli.

"Ayo, Galan."

Aku mengikuti Om Dennis ke sebuah ruangan yang aku kira itu ruang kerja. Karena di sana ada laptop, rak-rak buku, dan beberapa berkas.

"Sorry, Riana dan Liesel memang sedikit tidak akur."

Sedikit? Well, perang dunia bisa pecah karena mereka berdua.

"Hubunganku dengan Liesel juga tidak akur."

Aku hanya terdiam, menunduk.

"Om ngajak kamu ke sini, karena kamu satu-satunya orang di luar keluarga kami yang tahu hubungan Liesel dengan kami saat ini. Liesel-dia agak terganggu jika ada orang tahu dia anakku."

Jadi bukan Om Dennis yang terganggu tapi Liesel?

"Jadi kumohon rahasiakan ini dari siapapun. Dan bilang ke Liesel kalau kamu tidak akan membocorkannya ke siapapun agar dia tenang."

Dia terlihat tenang tadi. Caranya menanggapi begitu tenang hanya sedikit menyinggung soal putus. Mungkin Om Dennis saja yang terlalu berlebihan.

"Baik, Om. Aku nggak akan bicara ke siapapun. Kami berteman cukup akrab."

"Akrab, ya." Om Dennis seakan ragu dengan penjelasanku. "Aku sangat senang jika Liesel benar-benar bisa akrab sama kamu. Good luck, Nak."

Kami bahkan pacaran! Aku ingin bicara seperti itu. Tapi tak jadi kulakukan. Buat apa aku memberitahu Om Dennis jika dia bahkan tak yakin kalau Liesel bisa akrab dengan aku.

"Aku hanya berharap kamu bukan batu loncatan agar dia bisa pergi lagi dari rumah ini."

Riana juga mengatakan hal yang sama tadi pagi. Sebenarnya ada apa dengan kepergian Liesel 5 tahun lalu? Aku menatap Om Dennis tak mengerti. Beliau hanya menghela nafas.

"Good luck."

*****

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

236K 7K 50
we young & turnt ho.
23.5K 101 18
naughty girl with naughty professor. story is kind of new and interesting. read it to enjoy it!
Steamy Ones بواسطة Vile Vampire

قصص المراهقين

74.7K 242 11
As the title says
after they met her بواسطة M a r y

قصص المراهقين

43.1K 2.9K 24
|ongoing| Ivana grew up alone. She was alone since the day she was born and she was sure she would also die alone. Without anyone by her side she str...